25 radar bogor

Ma’nene di Toraja, Cara Yang Hidup Tunjukkan Kasih kepada Yang Wafat

JAGA BUDAYA: Warga membersihkan jenazah kerabat mereka yang telah diawetkan saat ritual adat Ma’nene di Lo’komata, Lembang Tonga Riu, Kecamatan Sesean Suloara Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Selasa (12/9).Miftahulhayat/Jawapos
JAGA BUDAYA: Warga membersihkan jenazah kerabat mereka yang telah diawetkan saat ritual adat Ma’nene di Lo’komata, Lembang Tonga Riu, Kecamatan Sesean Suloara Toraja Utara, Sulawesi Selatan, Selasa (12/9).Miftahulhayat/Jawapos

Aturan Ma’nene atau merawat mayat berbeda di tiap kampung di Toraja Utara. Untuk membuat satu liang di batu makam, warga biasanya butuh tiga sampai enam kerbau.

DEBORA DANISA SITANGGANG, Toraja Utara

SEONGGOK batu raksasa itu berdiri megah di sudut puncak bukit. Sisi-sisinya sudah dilubangi dengan bentuk persegi dan ditutupi pintu dari kayu mahoni.

Coraknya beragam. Khas Toraja. Jumlahnya mencapai seratus lebih. Di dalam lubang tersebut ada mayat. Dan sebagian besar sudah berjajar maupun bertumpuk dalam satu liang.

Itulah batu Lo’ko’ Mata, batu makam yang ada di wilayah Lembang (Desa) Tonga Riu, Sesan Suloara, Toraja Utara. Lo’ko’ Mata merupakan sebuah batu yang paling besar di antara makam-makam batu lain di bukit sebelah utara Kota Rantepao tersebut.

Selama perjalanan dari Rantepao, ibu kota Toraja Utara, ke Tonga Riu, Jawa Pos melihat pula batu-batu besar lain dengan makam di dalamnya.
Namun, tidak ada yang sebesar Lo’ko’ Mata yang kini sudah dilubangi hingga lebih dari seratus liang. Ukurannya kurang lebih sama seperti rumah bertingkat tiga.

Makam-makam yang biasanya tertutup itu mulai dibuka Senin lalu (11/9). Warga Tonga Riu bersiap melaksanakan tradisi Ma’nene. Prosesi tersebut berjalan selama sepekan, hingga Sabtu lusa (16/9).

Ma’nene, dipahami secara harfiah, bisa punya dua arti. Orang Toraja umumnya memahami nene atau nenek, sebagaimana lazimnya di tempat lain, sebagai orang tua dari orang tua kita atau orang yang sudah sepuh.

Namun, di Tonga Riu, nene artinya mayat. Mau sudah berusia senja atau masih belia saat meninggal, panggilannya sama-sama nene. Dengan imbuhan ”ma” di depannya, Ma’nene bisa diartikan sebagai ”merawat mayat”.

Salah seorang warga yang baru saja membuka makam pada Senin pagi itu adalah Thomas Randuan. Liang milik keluarganya telah diisi empat jenazah: kedua orang tuanya ditambah dua saudara kandung. Salah satunya baru saja meninggal sekitar satu bulan yang lalu. ”Saya sudah pulang sejak Agustus. Tapi tinggal di sini sementara menunggu Ma’nene,” ungkap Thomas setelah membuka liang.

Bagi masyarakat Toraja Utara di pedesaan, Ma’nene memang merupakan tradisi untuk menunjukkan rasa kasih sayang kepada anggota keluarga yang telah berpulang. Marten L. Bumbungan, salah seorang tokoh masyarakat di Tonga Riu, menjelas­kan, kasih sayang yang dimaksud lewat Ma’nene itu ditunjukkan dengan member­sihkan atau mengganti baju dan kain jenazah. Merawatnya agar tetap bersih meski jasadnya melapuk dimakan usia.

Ditambah lagi, keluarga juga memasukkan barang atau makanan kesukaan mendiang semasa hidup, kebanyakan sirih dan kopi, ke dalam liang. ”Itu bukan untuk pemujaan. Tetapi semata-mata bentuk kasih sayang kepada keluarga yang telah tiada,” tuturnya.

Dulu tradisi tersebut dilakukan warga Toraja Utara pada umumnya. Tapi, kini hanya warga yang tinggal di pedesaan di kawasan gunung yang masih setia melakukannya. Aturan Ma’nene berbeda di tiap kampung. Di Tonga Riu, misalnya, diadakan tiga tahun sekali. Tapi, di Baruppu, kampung lain di Toraja Utara, diadakan setahun sekali.

Tiap liang yang berisi jenazah bisa dipakai untuk banyak anggota keluarga. Paling banyak rata-rata lima. Bergantung besarnya liang. Dan ukurannya bisa diatur bergantung jumlah kerbau yang dibayarkan.

Untuk membuat satu liang, warga biasanya butuh tiga sampai enam kerbau. Fungsi kerbau di sini ada dua. Sebelum ada lubang, kerbau dipakai untuk membayar tukang pahat. Tapi, saat Ma’nene, sebagai bentuk ucapan syukur. Itu pun disesuaikan dengan kemampuan keluarga. Bisa pula diganti dengan kerbau.

Di hari pertama setelah dibuka, liang dibiarkan terbuka tanpa mengeluarkan jenazah. Keluarga baru menarik keluar jenazah keesokan harinya. Meski demikian, wisatawan sudah cukup banyak mendatangi Lo’ko’ Mata untuk melihat proses dibukanya makam itu. Bahkan, salah satu makam di bagian atas bisa dimasuki wisatawan yang penasaran. Namun, warga Tonga Riu sejatinya percaya bahwa liang batu tak boleh dimasuki orang lain selain keluarga.

Saat dibuka, bisa terlihat bagaimana peti atau jenazah terbungkus kain ditumpuk di bagian dalam. Tidak semua jenazah masih tersimpan dalam peti. Yang terbungkus kain itu umumnya sudah pernah di-Ma’nene-kan. Sedangkan yang masih dalam peti rata-rata merupakan jenazah baru.

Tradisi merawat mayat baru benar-benar dilaksanakan di hari kedua, Selasa (12/9). Sejumlah jenazah yang dirasa kainnya sudah lapuk atau kusam dikeluarkan satu per satu. Sedangkan yang lainnya, yang pakaian atau kainnya masih bagus, hanya dijemur untuk menghilangkan lembapnya.

Marten Tonapa adalah salah seorang warga yang melaksanakan prosesi Ma’nene di hari itu. Dia ditemani beberapa anggota keluarga mengeluarkan peti keponakan, Samuel Saring, dari dalam liang. Peti itu termasuk yang paling pertama dikeluarkan dari batu pada Ma’nene kali ini. Sontak, semua wisatawan mengerubungi liang milik keluarga Tonapa tersebut. Ingin melihat langsung rupa mayatnya.

Bukan masalah melihat dari jarak dekat. Sebab, tak tercium bau mayat yang menyengat. Hanya pengunjung tetap berhati-hati dengan memakai masker. ”Dia sudah meninggal lima tahun yang lalu,” ucap Tonapa sembari melakukan persiapan penggantian kain.

Pada Ma’nene terakhir, jasadnya belum di-Ma’nene-kan karena kondisinya masih baik. Kini kain putih di bagian dalam peti cokelat itu mulai berjamur. Beberapa sentimeter bagian tutupnya juga lapuk dimakan rayap. Peti dengan potret Perjamuan Terakhir Yesus dan Murid-murid-Nya itu tidak lagi digunakan untuk meng­istirahatkan jenazah keponakan Tonapa.

Sebagai gantinya, jenazah berjas hitam rapi dan berkacamata tersebut dibungkus dengan kain baru. Tonapa dan familinya telah menyiapkan kain baru. Kain yang digunakan tidak tampak seperti kain khusus dengan corak-corak lokal. Kain apa saja bisa dipakai. Lebih baik lagi bila kain itu punya kenangan dengan jenazah.

Alas terpal dan anyaman bambu dibeber. Kain-kain pelapis yang baru juga dibuka di atasnya. Jenazah sang keponakan lalu digotong dan diletakkan di tengah kain tersebut. Semua pengunjung yang berdesakan berebut memotret atau sekadar melihat wajah jenazah. Badannya masih utuh, tapi sudah menghitam. Seperti mumi.

Setelah cukup lama memberikan kesempatan bagi mereka yang hidup untuk melihat, Tonapa dan keluarga lalu membungkus kembali jenazah mendiang Samuel. Kain pertama serupa seprai, kemudian dibalut kembali dengan kain yang lebih tebal. Lapisan kain terakhir berwarna merah bendera lantas dibebat kuat dengan sobekan kain-kain putih panjang.

Meski dikatakan ritual, prosesi Ma’nene tak lantas berarti sarat unsur mistis. Setidaknya untuk saat ini. Prosesi yang mereka jalankan sekarang lebih banyak dipengaruhi ajaran Kristen. ”Karena 90 persen orang Toraja adalah Kristen, maka tradisi Ma’nene itu sendiri kemudian dikristenkan,” jelas Bumbungan.

Dia menuturkan, jika dulu Ma’nene ditandai dengan upacara di tanah lapang, kini pembukaan Ma’nene diawali dengan ibadah di gereja terdekat. Begitu pula halnya saat Ma’nene selesai, masyarakat akan menunaikan ibadah syukur sebagai penutup.

Pun, semua jenazah yang dima­kamkan di dalam batu itu beragama Kristen. Bukannya yang lain tidak boleh. Tetapi, me­nurut Bumbungan, memang tidak ada warga setempat yang ber­agama Islam yang mau memakamkan anggota keluarga dalam Lo’ko’ Mata. ”Karena menu­rut kepercayaan mereka, harus (dimakamkan) di tanah,” jelas pria yang bertempat tinggal di Rantepao tersebut.(*/c9/ttg)