25 radar bogor

Tagih Guru Kembalikan ’’Kredit Palsu’’

BOGOR–Kasus kredit Bank Perkre­ditan Rakyat (BPR) yang melibatkan 345 guru dengan agunan sertifikat profesi palsu, berlanjut. Pihak bank kini menagih seratus persen kucuran kredit yang merugikan BPR hingga Rp36 M tersebut. Meskipun uang yang diterima guru jauh dari plafon kucuran kredit.
Informasi yang dihimpun, seluruh guru yang tersangkut perkara kredit itu berasal dari sejumlah kabupaten dan kota di seluruh wilayah Jawa Barat, termasuk Bogor.

Saat ini ada 14 tersangka terkait kasus kredit tersebut, tiga di antaranya guru. Kemudian tiga orang lagi merupakan pegawai BPR, serta seorang pembuat sertifikat guru palsu berinisial YY.

Di luar 14 orang itu, seluruh guru berstatus saksi. Ketua PGRI Cabang Kecamatan Kertosari, Kabupaten Bandung, Agus Derajat, tahu betul soal kasus ini. Dia mengungkapkan, untuk setiap kecamatan, ada seorang guru yang bertugas menjadi koordinator kredit. Kuat dugaan, sisa tersangka lain yang tidak ditahan adalah para guru yang berstatus koordinator.“Kalau di kecamatan saya, koordinator yang mengiming-imingi serta merekrut guru posisi­nya sedang ditahan,’’ jelasnya.

Dalam melancarkan aksinya, koordinator memberikan uang Rp5 juta kepada setiap guru yang bersedia bergabung. Selain bersedia memberikan uang pancingan, koordinator bahwa setelah mengambil kredit, para guru tidak perlu daftar cicilan pengembalian uang.

Kenapa tidak perlu mengangsur? Karena separuh dari plafon kredit diendapkan di bank sebagai tabungan beku. Kemudian program ini juga mendapatkan subsidi serta keringanan lainnya.

Tak hanya itu, untuk mendaftar menjadi peserta program kredit, para guru tidak perlu repot. Cukup menyerahkan fotokopi sertifikat profesi guru saja. ’’Siapa yang tidak tertarik. Dapat kucuran kredit tetapi tidak perlu mengangsur untuk pelunasan,’’ jelasnya.

Para guru tidak tahu ternyata foto kopian sertifikat itu digunakan sebagai sumber untuk pembuatan sertifikat palsu. Oleh koordinator, fotokopian sertifikat itu diserahkan ke oknum BPR. Kemudian oleh oknum BPR itu, diberikan kepada YY si pembuat sertifikat palsu yang beralamat di Tambora, Jakarta. Menurut Agus, BPR yang terkait kasus ini bernama BPR BMP yang berbasis di Bogor.

Setelah beberapa waktu, proses pengajuan kredit yang menggunakan sertifikat palsu itu selesai. Para guru ditelepon oleh orang BPR untuk mengambil uangnya di Bogor. Karena tahu akan mendapatkan uang segar, para guru yang berasal dari Kabupaten Bandung sampai nekat berangkat ke Bogor.

“Anehnya, pencairan uangnya itu dilakukan setelah jam 16.00. Setelah jam operasional resmi BPR selesai,’’ ungkap Agus. Sesuai dengan perjanjian awal, para guru tidak mendapatkan dana secara utuh. Misalnya, ada guru yang mendapatkan plafon kredit Rp71 juta, kemudian dipotong Rp20 juta sebagai simpanan di tabungan beku. Sampai saat ini belum jelas apakah tabungan beku itu benar-benar dikelola oleh BPR atau masuk kantong para sindikat.

Setelah dipotong untuk simpanan tabungan beku, uang yang diterima guru kembali disunat. Kali ini dipotong oleh guru yang jadi koordinator di tingkat kecamatan tadi. Sehingga akhirnya para guru tinggal menerima kisaran Rp15 juta sampai Rp19 juta saja. Meskipun uang yang diterima jauh dari plafon kucuran kredit, para guru tidak mempersoalkannya. Sebab, mereka tidak perlu membayar cicilan pelunasan.

Dia sangat menyayangkan sikap bank yang tidak mau ambil pusing. Dalam proses pendampingan kasus ini, Agus mendapatkan kabar bahwa pihak bank meminta para guru mengembalikan uang seratus persen dari kucuran kredit. Artinya, jika dalam pembukuan bank guru itu mendapatkan Rp71 juga, misalnya, guru itu harus mengembalikan utuh Rp71 juta. Padahal, menurut Agus, uang yang diterima guru tidak utuh.

Agus menjelaskan, sampai sekarang belum ada kepastian kapan kasus ini sampai ke meja pengadilan. Sebab, dari pihak bank menjanjikan mencabut laporan jika seluruh guru mengembalikan uangnya dengan utuh. Sebaliknya jika tidak, kasus ini dibiarkan sampai ke pengadilan.

Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Yusri Yunus membenarkan modus tersebut. Guru-guru itu menyerahkan fotokopian ke koordinator, lalu dibuat dokumen palsu oleh pelaku YY.

Yusri menuturkan, pada 8 Agustus 2017 jajaran Polda Jawa Barat menggerebek rumah di Jalan Tubagus Angke Siaga I, Tambora, Jakarta, terkait kasus pemalsuan sertifkat guru itu. Dia menjelaskan bahwa di rumah itulah, si YY membuat ijazah palsu. Saat ini polisi sedang mendalami. Karena diduga kuat YY tidak hanya menerima order pembuatan dokumen palsu terkait kasus kredit BPR itu saja.

Terkait perkembangan kasus sendiri, Yusri mengatakan, sementara ada 14 orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Tetapi hanya separuh yang ditahan. ’’Sisanya tidak ditahan. Ada yang guru. Karena siapa tahu itu guru dari anak kamu,’’ tutur dia.

Sementara untuk guru-guru lainnya, Yusri menjelaskan statusnya sebagai saksi. Dia belum bisa membeberkan detail proses penyidikan kasus kredit sertifikat palsu ini. Yusri berharap dari kasus ini, masyarakat tidak mudah dibujuk untuk ikut program kredit yang penuh kejanggalan.

Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (Perbarindo) Joko Suyanto mengatakan, untuk menentukan apakah para guru itu wajib membayar utangnya kepada BPR, perlu dikaji bagaimana isi perjanjian para guru dengan bank tersebut. Jika perjanjian kredit antara nasabah dengan bank menyebutkan bahwa guru menerima pinjaman Rp80 juta, maka yang harus dikembalikan adalah Rp80 juta. Itu juga harus ditambah sejumlah biaya di luar pinjaman pokok, antara lain bunga dan denda yang timbul akibat keterlambatan bayar (jika ada).

“Perkara uang yang Rp20 juta itu diterima oleh oknum bank atau oknum guru, selama itu tidak disebutkan dalam perjanjian kredit maka nasabah harus tetap membayar Rp80 juta. Ya dong, kan nasabah dalam perjanjian itu dikatakan menerima Rp80 juta secara perdata, maka penagihannya harus sesuai dengan apa yang tersurat,” papar Joko.

Soal penempatan dana sebesar 50 persen dari plafon kredit Rp80 juta, ke simpanan tabungan beku di BPR, tetap dihitung sebagai pinjaman. Artinya, para guru tersebut tetap harus mengem­balikan sebesar Rp80 juta kepada BPR. Sebab, sebagai nasabah, guru dianggap menerima pinjaman Rp80 juta, kendati sebagian dari pinjaman tersebut ditempatkan pada produk simpanan di BPR.(wan/rin)