25 radar bogor

Rohingya di Puncak Hidup dalam Gerobak

NESTAPA: Harun Ra­syid (kiri), etnis Rohingya yang kini hidup dalam gerobak di kawasan Puncak.
NESTAPA: Harun Ra­syid (kiri), etnis Rohingya yang kini hidup dalam gerobak di kawasan Puncak.

Sejak beberapa tahun lalu, ribuan etnis Rohingya menghindari konflik dan mengungsi ke negara-negara tetangga, termasuk Indonesia. Sebelum konflik berkecamuk lagi, mayoritas telah kembali ke Myanmar, dan sebagian lagi bertahan memburu suaka. Beberapa di antaranya masih tersisa di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, dalam kondisi yang sangat mengenaskan.

BERBEKAL data dari Kantor Imigrasi Kelas I Bogor, Radar Bogor menelusuri keberadaan pe­ngungsi etnis Rohingya di wi­layah selatan Bumi Tegar Beriman. Ke­marin (5/9) salah seorang pengungsi terdeteksi di Kecamatan Cisarua. Dia bergantung hidup dari uang bantuan sebesar Rp1,2 juta, hingga tidur di dalam gero­bak di pinggiran jalan desa di kawasan Puncak.

Pencarian berakhir ketika Radar Bogor bertemu dengan seorang imigran asal Bangladesh, Muham­mad Karim (32), di sebuah wa­rung, tak jauh dari kantor Keca­matan Cisarua. Pria yang kini be­kerja serabutan, menyebut se­luruh pengungsi Rohingya sudah tak ada di Puncak. Hanya ter­sisa satu, bernama Harun Ra­syid (26), yang kini menjadi teman se­nasibnya.

“Saya kenal nama-nama ini (daftar nama pengungsi dari Kantor Imigrasi, red) dan tokohnya. Tapi semuanya sudah di Jakarta, di Depok, dekat kampus (Universitas Pancasila) stasiun. Di sini Myanmar ada satu. Satu-satunya, teman saya, namanya Harun,” kata Karim dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Karim kemudian mengajak Radar Bogor menyusuri jalan kecil menembus perkampungan Batu Kasur, Batu Layang, Cisarua. Di sepanjang jalan, sesekali wajah orang asing lalu lalang. Perjalanan lantas berhenti di depan pagar rumah seperti vila. Di depannya, ada gerobak lusuh terkunci rapi seperti lapak pedagang kaki lima.
“Di sini (tempat tinggal Harun, red),” ujarnya sambil menepuk-nepuk bagian samping gerobak.

Saat itu, perhatian Radar Bogor tertuju pada rumah yang menjadi sandaran gerobak. Tapi, Karim buru-buru menjelaskan, di gerobak itulah Harun tinggal, layaknya manusia gerobak.

Namun sayang, saat itu Harun tak di tempat. Harun, dikatakan Karim, sedang menyusul keluarganya yang tinggal di Depok. Radar Bogor kemudian meminta Karim untuk mencoba menghubungi Harun melalui telepon. Sehingga terpaksa wawancara dilakukan melalui sambungan telepon.

Menggunakan bahasa Inggris bercampur Bangladesh, Harun di ujung sambungan bercerita bahwa kampung halamannya di Mondo, Myanmar, diserang militer. Seluruh permukiman kembali diporakporandakan. Terdengar Harun terisak setengah menangis, ia mengabarkan bahwa sang adik menjadi korban tewas. “Rumah saya dibakar. Adik saya ditembak tentara lalu dibakar,” ujar Harun, yang kemudian diterjemahkan oleh Karim.

Harun menuturkan, awal kedatangannya ke kawasan Puncak, pada 2010 silam. Itu setelah ia berbulan-bulan terombang-ambing di atas kapal di lautan. Pertama kali tiba di Indonesia mereka diselamatkan oleh warga Aceh. “Lalu didata UNHCR. Ada yang ke Bogor. Waktu itu ayah lebih dulu meninggal,” ucapnya.

Saat itu, Harun terpisah dengan keluarganya. Baru pada 2014, hubungan terjalin kembali, saat sanak saudara yang pulang ke kampung halaman membawa kabar keberadaan ibunya. “Dan sekarang kabar buruk,” ungkapnya.

Nestapa tak hanya dirasa saat berada di Myanmar sebelumnya. Selama di Indonesia pun, ia harus bergantung hidup dengan uang Rp1,2 juta per orang per bulan dari UNCR. Dan tahun demi tahun, jumlah uang bantuan semakin berkurang.

“Rp1,2 juta per orang dulu. Seka­rang untuk berdua, bertiga, berempat. Tak ada rumah,” tuturnya lagi, melalui penjelasan Karim.Dengan modal seadanya, Harun memutuskan membeli gerobak. Gerobak itu dipakainya untuk berjualan sekaligus tempat tinggalnya. “Saya sudah tinggal lima tahun di sini (Kampung Batu Kasur),” akunya.

Di ujung telepon, Yunus, kerabat Harun ikut bicara. Yunus menyampaikan enggan kembali ke kampung halaman. Ia menunggu negara tujuan yang lebih baik ketimbang di Myanmar. Di Indonesia, ia lebih merasa dekat. Selain mayoritas beragama Islam, juga hidup dalam ketenangan. “Kami bersedia jika sudah ada negara tujuan ketiga,” ucapnya.(don/d)