25 radar bogor

Menelusuri Jejak Rohingya di Puncak Bogor

TERUSIR DARI KAMPUNG HALAMAN: Kawasan pengungsian warga Rohingya di dekat Cox’s Bazar, Bangladesh, kemarin. Pengungsi Rohingya dari Myanmar terus mengalir menuju Bangladesh.Bernat Armangue/AP Photo
TERUSIR DARI KAMPUNG HALAMAN: Kawasan pengungsian warga Rohingya di dekat Cox’s Bazar, Bangladesh, kemarin. Pengungsi Rohingya dari Myanmar terus mengalir menuju Bangladesh.Bernat Armangue/AP Photo

Kawasan Puncak kerap sebut sebagai “surganya’’ imigran. Bukan tanpa alasan. Lokasinya yang strategis dianggap tepat untuk “menitipkan’’ para pencari suaka, sebelum mereka menuju negara tujuan. Tak terkecuali, etnis Rohingya yang terusir dari Myanmar sejak 2010 lalu.

INFORMASI yang dihimpun Radar Bogor, Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi atau UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) pernah menyewa lahan-lahan di Puncak, tepatnya di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, untuk dihuni pengungsi Rohingya. Lokasinya menyebar di sejumlah desa, tapi tetap terpusat di Cisarua.

“Total ada 251 pengungsi Rohingya di sana (Cisarua). Sejak 2012 sampai 2016. Anak-anak hingga lansia ada,” kata Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan pada Kantor Imigrasi Kelas I Bogor, Arief Hazairin Satoto.

Meski demikian, pria yang akrab disapa Toto itu, mengaku tak mengetahui keberadaan mereka sekarang. Pasalnya, para pengungsi berada dalam pengawasan langsung UNHCR. “Laporan terakhir rekan-rekan di lapangan, sudah tidak ada di Puncak,” kata Toto kepada Radar Bogor.

Menurutnya, warga negara Myanmar mulai ramai masuk ke Bogor di awal 2012. Saat itu, konflik di Myanmar sedang genting-gentingnya. “Memang ada beberapa yang asli dari Rohingya, karena ada konflik di negaranya. Mereka mengungsi ke Indonesia,” jelasnya.

Jika dikelompokkan sesuai jenis kelamin, 54 di antaranya merupakan perempuan, sedangkan sisanya sebanyak 196 laki-laki. Hasil identifikasi terakhir Oktober tahun lalu, Toto sempat menerima informasi bahwa kedatangan etnis Rohingya ke Indonesia menggunakan kapal air. Saat itu, ada sekitar 35 orang berstatus warga negara Myanmar yang ditemuinya di Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua. “Selama dia punya kartu UNHCR, selama itu juga bisa tinggal di Indonesia. Kita mengawasi kegiatannya. Dia melanggar undang-undang atau tidaknya di Indonesia,” ungkapnya.

Meski tempat yang mereka tempati terbilang lebih damai dari negara asalnya, tak lantas membuat mereka hidup dalam kondisi sejahtera. Pasalnya, berstatus sebagai pengungsi, membuat mereka dilarang melakukan aktivitas bisnis. Sehingga, untuk menyambung hidup, mereka bergantung pada bantuan PBB dan sanak saudara. “Pengungsi tidak boleh kerja. Jualan pun tidak boleh. Kebanyakan memenuhi kebutuhan hidup dari saudaranya,” kata Toto. Namun, lagi-lagi Toto menegaskan, pihaknya tidak mengetahui keberadaan mereka sekarang.

Berbekal informasi yang ada, Radar Bogor mencoba menelusuri keberadaan para etnis Rohingya tersebut. Penelusuran dimulai dari kantor Kecamatan Cisarua. Pihak kecamatan menunjukkan lokasi yang menyebar rata di sejumlah desa. Salah satunya, Desa Batu Layang, Kampung Batu Kasur, Kecamatan Cisarua. Kampung ini juga dikenal dengan sebutan ”Kampung Pengungsi’’.

Saat Radar Bogor tiba di lokasi, wajah khas ketimuran tampak lalu lalang. Raut wajah mereka tampak asing di mata awam. Tampak beberapa lelaki membawa motor, serta gadis berhijab berhidung mancung mengantre di warung.

Usai menyusuri gang-gang kecil di kampung itu, Radar Bogor bertemu dengan seorang kuncen desa bernama Undang (60). Kata sang kuncen, dahulu setiap sore hari para pengungsi Rohingya lalu lalang di dekat sebuah lapangan. Tapi itu sudah lama, sekitar dua tahun lalu. “Iya, dulu memang banyak, tapi sekarang sudah tidak kelihatan. Saya juga tidak tahu ke mana,” ucapnya.

Sepengetahuan Undang, saat datang pertama kali ke Cisarua, pengungsi Rohingya berpenampilan lusuh. Saat itu, banyak warga yang ikut membantu dengan memberi pakaian dan makanan. Bantuan pun datang dari berbagai lembaga sosial. “Warga di sini prihatin. Saat datang, benar-benar cuma bawa baju yang dipakai. Kasihan,” kenang pria sepuh tersebut.

Berdasarkan keterangan Undang, Radar Bogor melanjutkan pencarian hingga ke sebuah rumah yang dikenal sebagai lokasi penampungan. Di teras rumah itu, tiga lelaki berparas Arab berdiri dan menyapa. “Sudah lama sekali aku tidak melihat pengungsi Rohingya,” jawabnya saat ditanya soal keberadaan pengungsi Rohingya. “Terakhir kami lihat tahun lalu. Sempat cerita, ngobrol, setelah itu, mereka sudah tidak kelihatan,” kata WNA yang sudah hampir 10 tahun tinggal di rumah penampungan itu.

Salah satu dari mereka menimpali pembicaraan. Namanya, Khadir (44). Ia memberi petunjuk ke sebuah bukit. “Aku pernah lihat di Ciburial. Atas sana. Tapi masih ada atau tidak, aku tidak tahu,” akunya. Mereka menyebut, pengungsi Rohingya dirasa kurang pandai bergaul. Sebab, sering kali memasang wajah murung ketika keluar dari penampungan. “Aku pernah ngobrol dengan mereka. Katanya mereka rindu, kangen rumah dan saudara,” tutur Khadir.

Radar Bogor meneruskan perjalanan meninggalkan lokasi ini. Setelah melewati hutan pinus, terlihat sebuah rumah. Di sana ada dua pengungsi berparas Timur Tengah sedang asyik berbincang. “Kami sudah lama tidak melihat (pengungsi Rohingya). Mungkin sudah kerja di pasar,” tutur pengungsi asal Pakistan itu ketika ditanya tentang keberadaan pengungsi Rohingya.(don/rp1/d)