25 radar bogor

Pemkab Terancam Terlilit Utang

CIBINONG–Defisitnya APBD Perubahan hingga mencapai Rp1,083 triliun, menjadi perha­tian serius berbagai pihak. Koordinator Divisi Advokasi Anggaran Kopel Indonesia, Anwar Razak mengatakan, jumlah defisit tersebut sudah tidak wajar sebab mencapai 17,8 persen dari pendapatan daerah yang berarti melebih batas aturan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia No. 132 Tahun 2016.

Defisit APBD menurut PMK, kata dia, hanya pada batasan 2,5 -5,25 persen. Menurutnya, PMK tersebut mengatur kemampuan keuangan daerah dalam menanggung kebutuhan belanja.

Lebih lanjut ia mengatakan, bila lebih dari hitungan tersebut akan berimplikasi pada naiknya beban keuangan daerah. Termasuk, mengancam daerah dari lilitan utang di akhir tahun anggaran. Ia menambahkan, implikasi jangka panjang juga mengancam daerah. Defisit yang besar, berarti belanja yang jauh lebih banyak dibanding dengan pendapatan daerah. “Ini berarti, sebenarnya kemampuan pendapatan daerah terbatas,” katanya.

Menurutnya, apabila belanja sudah di luar kewajaran maka utang daerah, khususnya pada pihak ketiga, akan muncul dan tidak dapat terbayarkan di tahun anggaran ini. Anwar menegaskan, bila utang daerah besar maka akan berim­plikasi pada belanja langsung yang semestinya dinikmati masyarakat lewat pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan.

Bahkan, hal ini dapat berimplikasi pada beban berkepan­jangan hingga terjadinya keba­ng­krutan daerah. Bagai­mana­pun, implikasi riilnya bila ini dipaksakan adalah pelayanan publik yang akan semakin mem­buruk karna belanja langsung yang seharusnya ke publik malah tersedot pada belanja yang tidak terencana dan tidak prioritas.

Nantinya, akan digunakan untuk menutupi defisit keuangan daerah. Maka, sekitar 6,265 ruang kelas yang sedang rusak sedang dan berat terancam tidak selesai.

Kasus gizi buruk dan gizi kurang juga terancam tidak dapat dituntaskan. Begitu pula dengan angka kemiskinan yang ditarget RPJMD akan turun hingga 5 persen diakhir periode juga sulit untuk tercapai di akhir periode bupati. Sementara itu, serapan APBD yang rendah menjadi penyakit berulang Pemerintah Kabupaten Bogor. Menanggapi hal tersebut, Bupati Bogor Nurhayanti mengaku telah berbicara langsung dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Menurut Nurhayanti, untuk pos belanja tidak langsung, khususnya komponen belanja pegawai, telah mencapai 57 persen. Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor, Adang Suptandar menam­bahkan, anggaran akan lebih cepat terserap pada triwulan III. “Lelang sudah banyak yang selesai. Tinggal digenjot supaya mereka (penyedia jasa) mau mengambil uang termin atau uang muka,” tuturnya.

Ia melanjutkan, jika uang muka atau uang termin diambil oleh penyedia jasa, otomatis kas daerah akan keluar dengan banyaknya surat permohonan pencairan dana (SP2D) yang masuk. “Tidak ada aturan hukum kalau mereka harus mengambil uang termin. Tapi, kami hanya mengimbau saja,” tegasnya.

Adang juga meminta, satuan kerja perangkat daerah (SKPD) tidak terlalu ‘bernafsu’ untuk memasukkan program kegiatan fisik dalam APBD Perubahan 2017. Dia mengimbau SKPD fokus menyelesaikan pekerjaan yang dianggarkan dalam APBD murni.

Sebelumnya, pos belanja daerah dalam APBD Perubahan 2017 Kabupaten Bogor, membe­ngkak dari Rp6,5 triliun menjadi Rp7,7 triliun. Namun, hal itu tidak diikuti naiknya pos penda­patan daerah hingga menim­bulkan defisit Rp1,083 triliun dalam APBD Perubahan.

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bogor, Iwan Setiawan menu­turkan, kenaikan paling besar terjadi pada komponen belanja langsung yang mencapai Rp4,45 triliun, naik Rp958 miliar dari APBD murni Rp3,5 triliun.  Sementara, komponen belanja tidak langsung juga naik Rp1,39 miliar dari Rp3,063 triliun menjadi Rp3,32 triliun yang disumbangkan naiknya belanja pegawai.(rp2/c)