25 radar bogor

Ke Pulau Rhun, 350 Tahun setelah Ditukar dengan Manhattan

SEJARAH YANG TERLUPAKAN: Pulau Rhun Senin lalu (7/8). Dua bocah menunjukkan pala, hasil bumi yang dulu membuat Rhun terkenal.foto-foto: SIDIK M. TUALE KA/jawa pos
SEJARAH YANG TERLUPAKAN: Pulau Rhun Senin lalu (7/8). Dua bocah menunjukkan pala, hasil bumi yang dulu membuat Rhun terkenal.foto-foto: SIDIK M. TUALE KA/jawa pos

Saat Manhattan tumbuh jadi megapolitan dunia, Rhun tetap sebuah desa berfasilitas minim dan sangat sulit dijangkau. Pala yang dulu setara emas kini tak bisa sepenuhnya diandalkan.

SIDIK M. TUALEKA, Banda

NEIRA memang terletak sekitar dua jam perjalanan dengan mendayung perahu dari Rhun. Sebab, angin tengah tak bersahabat. Ombak juga besar.
Tapi, itu tak menghalangi Junaidi Muhammad dan tiga rekannya menuju kota kecamatan tersebut. Sebab, mereka membutuhkan solar untuk berburu tuna.

”Pergerakan ikan tuna sangat gesit dan cepat. Jadi, kami pun membutuhkan banyak bahan bakar untuk bisa mengejar,” kata Junaidi sebelum berangkat menuju Neira pada Senin pagi lalu (7/8).

Mencari tuna adalah cara mencari uang yang mudah bagi Junaidi dan warga Rhun pada umumnya di sepanjang Juli sampai Agustus ini. Itu setelah tanaman yang selama ini jadi andalan pulau tempat mereka tinggal, pala, gagal panen.

Curah hujan tinggi yang jadi penyebab. Menurut Burhan Lohore, salah seorang tokoh masyarakat Rhun, pala memang rentan dengan air. ”Kalaupun bisa panen, mungkin jumlahnya sedikit dan kualitasnya pun tidak bagus,” ujarnya.

Per kilogram, pala sekarang hanya dihargai Rp90 ribu. Itu pun untuk jenis super. Padahal, untuk hasil panen yang sangat bagus itu, pala harus masak di pohon. Sehingga terbelah dan mengeluarkan biji di atas pohon. Dan itu cuma bisa terjadi di musim panas.

Nasib mengenaskan pala tersebut seolah melambangkan merosotnya martabat Rhun, pulau tempatnya berasal. Dari sebuah pulau yang dulu jadi rebutan Inggris dan Belanda, lalu ditukar dengan Manhattan melalui Perjanjian Breda yang diteken kedua negara 350 tahun silam, jadi sebuah tempat yang kini terlupakan.

Pala yang saat Perjanjian Breda diteken pada 31 Juli 1667 dihargai setara emas adalah alasan Rhun diperebutkan. Pala dibutuhkan, antara lain, untuk bahan pengawet. Sebuah fungsi yang sangat krusial di era ketika mesin pendingin belum ditemukan.

Tapi, lihatlah Rhun kini. Statusnya hanya desa, di bawah Kecamatan Neira, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Berpenghuni sekitar 2 ribu jiwa, kebanyakan pendatang dari Sulawesi dan Jawa.

Saat Jawa Pos ke sana Senin lalu (7/8), desa yang berabad silam sudah tenar di mata dunia itu cuma punya jalan setapak kecil yang terbuat dari semen. Lebarnya kurang dari 2 meter. Panjangnya 1 kilometer. Warga Rhun bahkan baru bisa menikmati listrik dalam tiga tahun terakhir. Itu pun bukan dari negara. Warga setempat harus membayarnya kepada seorang pengusaha lokal. Besarnya tentu bergantung tingkat pemakaian.

Menjangkaunya pun tak mudah. Dari Ambon, dibutuhkan pelayaran 16 jam untuk bisa sampai Neira dengan kapal perintis. Memang ada kapal Pelni yang lebih cepat, 8–9 jam saja. Namun, harganya empat kali lipat lebih mahal. Kapal-kapal itu juga hanya melayari rute Ambon–Neira dua kali dalam sebulan.

Neira atau Banda Neira adalah tempat dua bapak bangsa, Sjahrir dan Mohammad Hatta, diasingkan. Lokasinya diapit gunung berapi dan Pulau Banda Besar. Opsi transportasi udara ke Neira memang ada dua kali dalam sepekan. Tapi, itu kalau cuaca tengah bagus. Dan hanya dengan pesawat kecil berpenumpang 16 orang.

Di sisi lain, Manhattan yang dulu ditukar dengan Rhun berubah jadi megapolitan dunia. Ibu kota budaya, finansial, media, dan hiburan. Sekaligus tempat PBB bermarkas. Betapa kontras! ”Kalau lihat kondisi Rhun sekarang ini, rasanya tak percaya kalau dulu pulau ini punya sejarah besar,” kata Burhan. Inti Perjanjian Breda itu, Inggris memberikan Rhun kepada Belanda.(*/c9/ttg)