25 radar bogor

Banyak Jalan Lewati Pajajaran

BOGOR–Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) bersikukuh mene­rap­­kan pelarangan se­peda motor di sejumlah ruas jalan di Jabodetabek. Ke­pala BPTJ Bambang Pri­hartono me­minta para kepala Di­nas Per­hubungan di masing-ma­sing daerah untuk mempersiapkan kebijakan itu.

Seperti diberitakan sebelumnya, nadi Kota Hujan yakni Jalan Pajajaran termasuk dalam sasaran kebijakan tersebut. Daerah diimbau untuk menguji coba kebijakan itu bersamaan dengan perluasan pelarangan sepeda motor di DKI Jakarta, September mendatang. “Saya minta semua bersamaan. Kami minta Dishub persiapkan diri sebulan ke depan,” kata Bambang kepada pewarta.

Lantas, bagaimana nasib pengendara motor yang hendak melintasi Pajajaran? Jika merujuk pada wacana serupa yang digagas Pemkot Bogor 2014 lalu, kendaraan roda dua dari simpang Kedunghalang menuju Pajajaran dialihkan ke dua ruas jalan. Pertama, bagi mereka yang hendak menuju kawasan Tajur, bisa melalui jalur R3 atau melintasi Indraprasta. Sedangkan pengendara yang menuju pusat kota bisa melewati jalur Warung Jambu-Ahmad Yani.

Meski begitu, jalur alternatif R3 belum sepenuhnya berfungsi. Jalur ini terhenti di kawasan Parung Banteng. Sedianya, jalur ini tembus melalui Katulampa hingga kawasan Tajur, sehingga menjadi alternatif efektif menghindari macet Pajajaran.

Bambang menilai, pelarangan sepeda motor di area itu bisa jadi solusi menekan kemacetan tanpa harus mengorbankan industri sepeda motor yang terus berkembang. Ia pun menilai, itu bakal efektif mengurangi angka kriminalitas di jalanan. “Kejahatan oleh geng motor itu kan cukup banyak. Mereka enggak bakal berani melakukan kejahatan pakai mobil, karena takut terjebak macet,” katanya.

Lantaran minimnya akses pendukung ini, Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Bogor meminta BPTJ untuk menunda dan melakukan berbagai pertimbangan. Kepala DLLAJ Kota Bogor Rachmawati menegaskan bahwa infrastruktur Kota Hujan masih belum memadai. “Belum ada rencana pembatasan sepeda motor atau roda dua di jalan protokol Kota Bogor. Bogor belum prioritas,” ujarnya kepada pewarta.

Dia menjelaskan, Raya Pajajaran yang merupakan jalan nasional tersebut menjadi jalur utama penghubung dari arah Jakarta menuju Ciawi, Sukabumi, Cianjur dan Bandung. Kendala lainnya, Kota Bogor belum memiliki layanan angkutan umum massal yang mumpuni sebagai syarat kebijakan BPTJ dalam pembatasan sepeda motor. “Ditambah lagi belum ada fasilitas park and ride di Kota Bogor,” imbuhnya.

Di bagian lain, rencana BPTJ itu terus menuai penolakan. Sosiolog dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria, menganggap wacana pelarangan motor di Pajajaran diskriminatif terhadap pengguna jalan.

“Pertama, Jalan Pajajaran tidak terlalu luas. Kalau itu hanya untuk kendaraan roda empat, itu diskriminatif terhadap kelas tertentu,” ujarnya kepada Radar Bogor, kemarin (10/8).

Arif menyebut pembatasan itu akan relevan jika ruas Jalan Pajajaran selebar ukuran jalan tol. Maka, wajar jika tidak boleh dilintasi kendaraan roda dua dengan alasan keselamatan. “Contoh, ketika motor masuk jalan tol kan membahayakan sekali, butuh kecepatan tinggi. Itu boleh (pelarangan motor), tidak apa-apa,” sebutnya.

Selain itu, Arif khawatir rencana tersebut hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat. Mengingat pengguna motor mayoritas kalangan menengah ke bawah.

Sementara, jika alasan program tersebut untuk meningkatkan perputaran ekonomi dari transportasi umum di Kota Bogor, Arif menilai belum cukup konkret. Pasalnya, angkutan umum di Kota Bogor masih semrawut. Sehingga sulit untuk diandalkan jika motor sudah dilarang lintasi Pajajaran.

“Memang sekarang kan kita belum lihat wajah transportasi umumnya seperti apa. Kalau memang transportasi umumnya sangat memadai dan bagus sekali, mungkin kita bisa pertimbangkan. Tapi, kalau dengan asumsi fasilitasnya belum terintegrasi dan orang juga masih butuh kecepatan karena menghindari macet, Pajajaran pun macetnya belum terlalu parah,” paparnya.

Arif menyarankan cara lain yang lebih efektif, yakni memperketat izin pembelian kendaraan roda dua. “Izin penjualan motor diberikan kuota per bulannya. Jangan jalannya didiskriminasi,” cetusnya.

Di bagian lain, pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor menjadi biang buruknya kualitas udara di Kota Bogor. Data Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Kota Bogor menyebutkan, kualitas udara di Kota Hujan berdasarkan sejumlah parameter, di antaranya kan­dungan hidrokarbon, oksigen, sulfur dan kandungan partikel lain sudah dalam level yang menghawatirkan.

Semisal, kadar karbon monok­sida (CO) yang telah melebihi baku mutu, yakni mencapai 1.547,9 miugram per meter kubik. Padahal, standar baku mutu yang ditetapkan 1.000 miugram per meter kubik.

Kondisi ini tidak bisa dipandang remeh. Apabila CO terisap ke dalam paru-paru akan ikut peredaran darah dan menghalangi masuknya oksigen yang dibutuh­kan oleh tubuh. Hal ini dapat terjadi karena gas CO bersifat racun metabolis, ikut bereaksi secara metabolis dengan darah.

Kasi Pengendalian Pencemaran Air, Udara dan Lahan DLH Kota Bogor, Teti, mengatakan tingginya gas CO karena meningkatnya pen­cemaran dan jumlah ken­da­raan yang makin hari kian ber­tambah. Karenanya, perlu dilaku­kan langkah radikal untuk meng­urangi pencemaran udara.

“Salah satunya dapat dilakukan dengan cara menanam pohon. Dengan giat menanam pohon, polusi-polusi itu akan tersaring. Kan ada beberapa pohon yang mengurangi zat timbal. Kemudian mengurangi zat CO juga untuk tanaman yang berdaun besar,” jelasnya.

Selain menanam pohon, pe­milihan jenis bahan bakar minyak (BBM) juga bisa menjadi upaya dalam menyelamatkan lingku­ngan. Karena dengan meng­gunakan oktan yang semakin tinggi, maka akan semakin sem­purna pembakaran yang terjadi pada kendaraan tersebut.

“Pengaruhnya sangat signifikan terhadap lingkungan. Jadi, kalau bisa jangan pakai premium. Ganti ke pertalite atau pertamax untuk pembakaran yang lebih sempurna,” tuturnya.(pkl5/rp1/c)