25 radar bogor

Founder Ilmuwan Indonesia Keliling Boyong Planetarium

LATAR SAMA: Kartika Oktorina (kiri) dan Firly Savitri yang mendirikan Ilmuwan Muda Indonesia sama-sama pernah menjadi dosen.

Merasakan kegelisahan yang sama tentang pendidikan anak dan fasilitas belajar sains yang tidak merata di tanah air, Firly Savitri dan Kartika Oktorina bersatu. Mereka menggagas Ilmuwan Muda Indonesia (IMI) pada Agustus 2014. Salah satu yang dikerjakan adalah memboyong planetarium keliling di berbagai kota se-Indonesia.

BERAPA banyak anak Indonesia yang bercita-cita menjadi peneliti, astronom, atau kosmolog? Pekerjaan itu terdengar kurang populer bila dibandingkan dengan cita-cita sebagai dokter, pilot, atau kini vlogger. Sebagai orang yang berlatar pendidikan, Firly dan Kartika menganggap bahwa salah satu penyebab kurangnya minat anak terhadap sains adalah tidak dikenalkan dengan cara fun.

Selain itu, fasilitas belajar sains yang tersedia sangat minim. ’’Berdasar pengalaman saat mengajar di Jawa dan Sumatera, serta cerita di sekitar, kok nggak adil ya fasilitas belajar antara Jawa dan pulau-pulau lain,’’ papar Kartika.

Firly mendapatkan info bahwa ada alat peraga belajar yang bisa dibawa ke mana-mana. Artinya, alat itu bisa dibawa keliling Indonesia. ’’Menariknya, alat peraga yang bisa dibawa keliling ini adalah planetarium,’’ seru Firly saat dijumpai di kantor IMI di kawasan Jakarta Selatan sepekan lalu.

Diharapkan, anak-anak Indonesia terpukau dengan alam, terinspirasi menjelajah, dan menemukan hal baru. ’’Kami pernah bertanya kepada murid SD yang cukup bagus di tengah kota, ’Laboratorium itu apa?’ Nggak ada yang tahu,’’ kata Firly, alumnus S-1 Psikologi Universitas Padjadjaran dan S-2 Administrasi Bisnis ITB.

Selama ini mereka belajar sains sebatas rumus dan hafalan tanpa ada aplikasi. ’’Kalau sejak kecil tidak terpapar dengan ilmu sains yang menyenangkan, nanti daya juang anak untuk belajar sains berkurang,’’ tuturnya.

Firly yang kelahiran Bogor, 23 Agustus 1981 ini mengingat, saat kecil, dirinya sangat tertarik mempelajari astronomi dan membaca ensiklopedia tentang dinosaurus. Ibu satu putra tersebut pernah menjadi dosen di Universitas Widyatama Bandung sebelum berfokus mengembangkan IMI. Peran IMI adalah membuat anak-anak mencintai sains sejak dini.

Targetnya, rentang usia 3-13 tahun. ’’Dan, bisa dinikmati semua anak di pelosok,’’ timpal Kartika, alumnus Ilmu Politik Universitas Parahyangan Bandung dan Master of Arts dari Maastricht University, Belanda.

Bermula dari mobile planetarium yang dibawa ke Pekanbaru, anak-anak menyambut antusias. Sekitar 700 murid sekolah itu penasaran ingin tahu isinya. Di dalamnya, diputar film-film yang diproyeksikan 360 derajat ke permukaan dome setengah lingkaran. Mereka seolah berada di antariksa, melihat gugusan planet, dan bisa menyentuh bintang.

Selama hampir tiga tahun ini, IMI sudah menjelajah 20 kota di Indonesia, termasuk Tanjung Pinang, Jambi, Solo, Subang, Kayong di Kalimantan Barat, dan banyak lainnya. ’’Jangankan daerah pelosok, di Jakarta saja kita masih menemukan sekolah dengan fasilitas minim,’’ ujar Firly.

IMI juga kerap bekerja sama dengan yayasan sosial untuk membawa mobile planetarium ke kampung pemulung atau komunitas anak jalanan. Salah satunya di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. ’’Mobile planetarium butuh listrik 2.200 watt. Semua rumah dimatikan dulu. Bukan cuma anak-anak, ibu-ibunya juga antusias datang,’’ ungkap Kartika yang lahir di Bandung pada 19 Oktober 1983. Hingga saat ini, sudah lebih dari 52 ribu anak Indonesia yang menikmati ’’angkasa luar’’ dengan mobile planetarium ini.

Dengan capaian tersebut, IMI dianugerahi Best Digital Prototype dalam Wirausaha Muda Mandiri pada 2016; mewakili Indonesia pada Jolkona Catalyst di Seattle, AS; serta diundang menghadiri Global Entre pre neur ship Summit di Silicon Valley, AS.(nor/c14/ayi)