25 radar bogor

Mengunjungi Suku Polahi dengan Tradisi Inses di Pedalaman Gorontalo

TERASING: Haris Antu (kanan) menyeberangi sungai menunjukkan jalan menuju lokasi suku  SUKA...Baca Hal 4 Polahi di pedalaman gunung Boliyohuto, Gorontalo.
TERASING: Haris Antu (kanan) menyeberangi sungai menunjukkan jalan menuju lokasi suku
 SUKA…Baca Hal 4 Polahi di pedalaman gunung Boliyohuto, Gorontalo.

Suku Polahi masih hidup terasing di dalam hutan belantara Humohulo Gunung Boliyohuto, Provinsi Gorontalo. Hingga kini mereka masih mempertahankan tradisi kawin sedarah alias inses.

Mendengar nama suku Polahi, ingatan Alim S. Niode terlempar sepuluh tahun lalu. Pada 2007 sosiolog Universitas Negeri Gorontalo itu bersama tim Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (sekarang Badan Informasi Geospasial) bertemu suku terasing tersebut. Ekspedisi itu dilakukan untuk memetakan kondisi dan suku terasing. Salah satunya Polahi.

”Polahi itu sebetulnya masyarakat kritis saat pendudukan Belanda di Gorontalo,” ujar Alim yang ditemui di Gorontalo Rabu (19/7). Merujuk catatan Alim, Belanda yang datang ke Gorontalo pada 1700-an menerapkan pajak emas yang tinggi. Warga yang tidak sepakat dengan kekejaman Belanda melarikan diri ke hutan dan beranak pinak. Itulah yang dianggap secara umum sebagai cikal bakal suku Polahi yang dalam bahasa Gorontalo berarti pelarian.

”Di buku-buku yang ditulis J.F. Riedel disebutkan tentang polahi dan emas sekitar 1879-an,” ujar pria yang juga penulis buku Abad Besar Gorontalo itu. Alim yang sekarang menjadi ketua Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Gorontalo tersebut menuturkan, untuk persebaran suku Polahi, ada yang ke timur seperti di Pegunungan Tilongkabila, Suwawa, dan Pinogu. Ada pula yang ke barat seperti di hutan Boliyohuto, Tamaela, Paguyaman, Sumalata, Kwandang, Tilamuta, dan Boalemo. Perbedaannya, Polahi yang di timur lebih sulit ditemui daripada yang di barat. Lantaran sulit ditemui itu, berkembang cerita yang lebih mistis mengenai suku tersebut.

”Polahi yang ini kata orang sudah setengah setan. Kalau jalan seperti melayang dan bisa menghilang,” kata Alim. Persamaannya, mereka juga menganggap lazim pernikahan sekandung. Baba Manio, kepala suku Polahi dari Hutan Humohulo, Panguyaman, Kabupaten Boalemo, menceritakan kebiasaan inses tersebut saat bertemu Alim dan tim dari Bakosurtanal. ”Kami tidak mengunjungi langsung tempat tinggal suku Polahi. Karena terasing di dalam hutan. Mereka turun setengah dan kami naik setengah,” ungkap Alim. Setengah yang dimaksud itu lebih dari dua jam perjalanan.

Titik nol petualangan menemui suku Polahi dimulai dari rumah Haris Antu. Pria 36 tahun itu tinggal di rumah berdinding kayu beratap seng di Desa Bina Jaya, Kecamatan Tolangohula, Kabupaten Gorontalo. Dari pusat kota sekitar tiga jam perjalanan dengan naik mobil untuk sampai ke rumah Haris yang berada di tepi hutan.

Haris dipercaya sebagai perantara orang-orang yang ingin berkunjung ke Polahi. Dia memang bisa diterima orang Polahi yang cenderung tertutup. Sebab, dia anak menantu suku Polahi. Risna Palowa, 32, istri Haris, adalah salah seorang anak Kepala Suku Polahi Baba Manio. Haris dan Risna menikah pada 2000 dan sudah dikaruniai empat putri. ”Saya dulu buruh rotan di hutan,” ujar Haris menceritakan perkenalannya dengan Risna.

Haris yang berasal dari Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo, itu tidak lancar berbahasa Indonesia. Wartawan Gorontalo Post (Jawa Pos Group) Gusran Ismail menjadi penerjemah. Sebelum berangkat, Haris menjelaskan kondisi suku Polahi. Menurut dia, Risna yang punya nama lahir Amali adalah anak Baba Manio dengan saudara kandungnya, Loonunga alias Nakiki. Sebelum menikah, Risna masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. ”Juga mandi lemon,” ujar dia. Mandi lemon itu mandi keramas dengan air yang bercampur perasan jeruk lemon.

Risna yang juga tidak lancar berbahasa Indonesia menjelaskan, ibunya, Loonunga, memisahkan diri dari kelompok Baba Manio. Loonunga memilih tinggal bersama suaminya bernama Bakiki Mani. Nah, Bakiki Mani ini adalah saudara kandung Loonunga dan Baba Manio. ”Ada cinta segitiga,” jelas Risna.

Rumit juga hubungan percintaan di suku Polahi. Sebab, Baba Manio tak hanya menikahi Loonunga, tapi juga Hasima alias Wambi’i dan Tanio alias Antuingo. Mereka semua bersaudara kandung. Lalu, bagaimana dengan Bakiki Mani? Selain kawin dengan Loonunga, dia menikahi Hasima dan dikaruniai tiga anak.

Pernikahan dalam adat suku Polahi cukup dengan satu syarat. Suka sama suka. ”Nikahnya itu dimandikan di sungai. Siang hari. Tetap pakai baju saat dimandikan,” tutur Risna. Begitu pula dengan bercerai. Bila sudah tidak cocok satu sama lain, mereka tinggal berpisah begitu saja. ”Setelah berpisah, baru boleh dinikahi yang lain,” tambah dia.

Setelah penjelasan panjang lebar itu, Haris sudah bersiap dengan tas ransel. Dia membawa oleh-oleh yang kami siapkan untuk suku Polahi. Beberapa bungkus cokelat, biskuit, dan ikan kaleng. Kami juga membawa beras yang akan dimasak untuk makan malam di Polahi. Sedangkan Gusran membawa nasi dibungkus daun pisang untuk bekal makan siang. Estimasi perjalanan sekitar enam jam.

Kamis (20/7) sekitar pukul 10.00 Wita, perjalanan menuju Polahi dimulai di bawah langit yang berawan. Kami berangkat jalan kaki ke arah barat laut dari rumah Haris menuju hutan belantara Humuhulo. Jalan lebar berbatu terhampar di antara bukit yang ditanami jagung yang siap dipanen. Sekitar 15 menit kemudian, Sungai Bongo yang dangkal berbatu tapi beraliran deras harus kami lewati. Sungai selebar 30 meter itu keruh. ”Di hulu ada penambangan emas,” terang Haris.

Setelah sungai itu, jalan relatif menanjak dan menurun. Beruntung, saat siang yang mulai berubah jadi terik tersebut ada traktor pengangkut bahan bakar lewat. Kami bertiga mendapat tumpangan dari traktor yang dipakai untuk proyek hutan tanaman industri itu. Traktor dengan ban besar tersebut mengerang saat mendaki jalan terjal yang di kiri dan kanannya ditanami jabon.

Sekitar 45 menit kemudian, traktor itu sampai di pos pegawai hutan tanaman industri. Lumayan, menurut Haris, tumpangan tersebut bisa memotong sekitar dua jam jalan kaki. Haris ingat tak jauh dari pos itu ada air terjun Tumba dengan Sungai Pamerpakua yang jernih. Karena sudah waktunya makan siang, kami beristirahat, membuka bekal, sambil melemaskan otot kaki yang mulai mengeras.

Kebetulan sekali, ada dua penambang sedang turun dan beristirahat sejenak di air terjun itu. Jalur menuju Polahi juga jalur para penambang emas tradisional. Mereka memanfaatkan orang Polahi untuk membawakan barang untuk bekal selama menambang emas di hutan. Hasan, 30, salah seorang penambang, kenal dengan beberapa orang Polahi. Menurut dia, fisik orang Polahi itu kuat. Bisa berjalan cepat.

”Kuat naik tanjakan. Lajunya cepat. Khususnya yang perempuan,” tutur pria yang sudah lima tahun jadi penambang emas itu.

Biasanya Hasan meminta orang Polahi membawa beras 20 kg dengan tarif Rp 100 ribu sampai tujuan. Sedangkan untuk bahan lainnya seperti rempah-rempah dan kecap biaya angkutnya Rp 50 ribu. Perjalanan dari kampung ke tempat tambang itu dia tempuh sehari penuh.

”Kalau orang Polahi setengah hari saja sudah sampai,” kata Hasan. (*/c10/oki)