25 radar bogor

Anak-anak Kolok Kebanyakan dari Pernikahan Sesama Warga Bengkala

SERIUS: Ketut Kanta (kiri) bercerita di hadapan warga kolok di tempat berkumpul Kawasan ekonomi Masyarakat Kolok Bengkala, Minggu (16/7).

DUA tangan Wayan Getar dilambaikan di atas dua telinga. Lantas diikuti tangan kanannya menggenggam dan diliukkan di depan dada.

Kontan orang-orang yang duduk mengelilingi Getar tertawa. Meski, suara sebagian di antara mereka terdengar agak sayup.

”Yang dia (Getar, red) maksudkan itu Gajah, nama gua di Gianyar. Ke gua itulah dulu warga biasa mengungsi di zaman penjajahan Belanda,” terang Ketut Kanta, tokoh Desa Bengkala, Buleleng, Bali.

Getar memang bicara dalam bahasa isyarat. Dia seorang tunarungu-wicara. Seperti juga mayoritas dari sepuluh orang yang pada Minggu siang (16/7) itu berkumpul di aula KEM (kawasan ekonomi masyarakat), menunggu latihan yoga bersama instruktur Pande Wayan Renawati.

Tapi, kalau kemudian Kanta dan beberapa orang lain yang bukan tunarungu-wicara bisa dengan gampang memahami yang disampaikan Getar, lingkunganlah yang membentuknya. Bengkala adalah desa dengan jumlah populasi kolok –sebutan untuk tunarungu­wicara di desa tersebut– terbanyak di Indonesia.

Dari total penduduk 2.500 jiwa, 45 orang atau hampir 2 persen di antaranya merupakan kolok. Kondisi tersebut menjadikan kolok sesuatu yang lumrah. Atau bagian dari keseharian.

Sama sekali tak ada diskriminasi. Tak ada perlakuan berbeda terhadap kolok. interaksi dan komunikasi pun berjalan tanpa kendala.

”Menurut seorang peneliti dari Kanada yang pernah meneliti di sini, kondisi harmonis seperti di bengkala ini, antara kolok dan non­kolok, hanya bisa ditemukan di tiga negara lain. Yaitu, Meksiko, israel, dan Ghana,” kata Kanta.

Harmoni di bengkala itu tercipta, antara lain, karena keberhasilan para warga tunarungu­wicara mengembangkan bahasa isyarat sendiri.

Menurut Kanta, bahasa isyarat yang umum digunakan saat ini dibuat orang nontunarunguwicara dan digunakan kalangan tunarungu­wicara.

’’Kalau di sini, orang kolok yang menciptakan sendiri bahasanya, lalu dipelajari orang nontunarungu­wicara,’’ lanjutnya.

Alhasil, bahasanya pun berbeda dengan bahasa isyarat umum. Misalnya, untuk menyebut ”aku”, orang tunarungu­wicara menyampaikannya dengan menempelkan telapak tangan ke dada. Padahal, menurut sistem informasi bahasa isyarat (Sibi), itu disampaikan dengan menunjuk ke diri sendiri dengan menggunakan dua jari.

Isyarat jenis kelamin perempuan disampaikan dengan menarik telunjuk menggunakan jari tengah sehingga membentuk bulatan oval. Sementara itu, pada Sibi, disampaikan dengan menjepit ujung bawah telinga menggunakan telunjuk dan jempol. Yang berarti melambangkan anting.

Ketika menceritakan aktivitas kesehariannya, Wayan Getar memberikan isyarat dua telunjuk di samping kepala. Maksudnya sapi. Dan, tangan setengah mengepal di depan hidung sebagai isyarat babi. Mirip ketika dia menceritakan tentang gajah tadi. Didasarkan ciri­ciri fisik si binatang.
’’Saya memelihara sapi dan babi, juga bekerja sebagai tukang pipa,’’ ujarnya.

”Sebagai tukang pipa” itu dia bahasakan dengan kedua tangan bergulung­gulung. Lalu, menyatukan kedua kepalan tangan membentuk gerakan menyambung. Ditambah dengan tangan kanan membuat gerakan meliuk di depan dada.

Jawa Pos pun memperkenalkan diri dengan menyebut nama menggunakan bahasa isyarat Sibi. Tapi, generasi senior seperti Getar rupanya tidak memahami alfabet meski menggunakan bahasa isyarat.

Jadilah pewarta hanya memperkenalkan diri sebagai wartawan. Caranya, menempelkan telapak tangan di dada, kemudian membuat isyarat menulis di telapak tangan. Dilanjutkan membuat isyarat bentuk pengait menggunakan telunjuk di atas kedua mata, sembari melakukan gerakan memotret.

Menurut Kanta yang juga fasilitator kolok di bengkala, bahasa isyarat setempat lebih mudah dipahami. Khususnya bagi mereka yang bukan tunarungu­wicara.

’’Karena mereka membuat perlambang menggunakan benda yang ada di sekitar mereka seharihari,” tuturnya.

Maka, tidak heran bila sekitar 80 persen warga bengkala, mulai anak­anak hingga dewasa, paham dengan bahasa isyarat. Sebab, bahasa itu diajarkan oleh para tetangga ataupun kerabat mereka yang kolok untuk memudahkan komunikasi sehari­hari.

Ketut Deni Aka, seusai latihan yoga, membenarkan bahwa berbicara bahasa isyarat dengan tetangga­tetangganya yang kolok sudah jadi bagian keseharian. ’’Tapi, kalau saya ini mampunya sebatas percakapan umum seharihari. Kalau sudah sangat teknis sekali, baru dibantu Pak Kanta,’’ terangnya.

Bengkala terbilang desa tua. berdasar prasasti yang dikeluarkan raja Kerajaan bali Dwipamandala, Sri Maharaja Haji Jayapangus, desa tersebut ada sejak 1103 Saka atau 1181 Masehi.

Lokasinya di perbukitan, yang juga menjadi akses ke Gunung batur. Sebagian akses menuju bengkala sudah beraspal, terutama di jalan utama. Selebihnya, jalan di desa itu masih berupa tanah berbatu dengan lebar rata­rata 1,5–2,5 meter.

Kanta bercerita, sebelum 1980an, ada lebih banyak kolok di bengkala. Hampir dua kali lipat dari jumlah yang sekarang.

Seiring berjalannya waktu, jumlahnya menyusut. Namun, masih saja ada anak yang terlahir dengan kondisi kolok.

Sampai sekarang, tutur Kanta, para peneliti dari berbagai negara yang pernah melakukan riset di sana masih mencari jawaban atas fenomena tersebut. Hanya, sejumlah periset dari Michigan University, Amerika Serikat, menyarankan warga bengkala menikah dengan warga desa lain.

Tidak dengan sesama penduduk bengkala. Secara kasatmata, menurut Kanta, anak­anak yang terlahir kolok memang banyak dari pernikahan sesama warga bengkala.

Sundani Nurono, salah seorang peneliti, juga mengaku sampai sekarang belum menemukan jawaban pasti atas banyaknya kolok di bengkala. Tapi, diduga kuat karena faktor genetika.

”Saya menduga, pada zaman dulu di desa ini banyak terjadi perkawinan inses (sedarah),’’ terangnya.

Menurut Sundani, kelainan genetik pada warga kolok tergolong tak lazim. Ada lakilaki kolok yang menikah dengan perempuan normal, anakanaknya lahir normal. Ada yang menikah dengan sesama kolok, dua anaknya kolok, tapi anak ketiga normal.

Persoalannya, biaya penelitian genetika sangat mahal. ’’Saya sedang mencoba berkomunikasi dengan Pertamina untuk mensponsori penelitian itu,’’ tutur Sundani yang sejak 2014 rutin ke bengkala dalam rangka kerja sama dengan Pertamina yang meluncurkan program KEM.

Dinas Kesehatan Kabupaten buleleng belum bisa dikonfirmasi mengenai fenomena kolok di Desa bengkala. Namun, ada satu puskesmas yang selama ini menjadi rujukan penduduk bengkala, termasuk warga tunarungu­wicara. Yakni, Puskesmas Kubutambahan 1 yang berjarak sekitar 4 kilometer dari desa tersebut.

Plh Kasubbag TU Puskesmas Kubutambahan 1 Nyoman Suendra menjelaskan, warga kolok tidak pernah memeriksakan pendengaran maupun kemampuan berbicara mereka. ’’biasanya hanya periksa kalau sakit yang lain,’’ tutur dia.

Bisa jadi, itu karena kolok di bengkala tak menganggap gangguan bicara dan pendengaran tersebut sebagai penyakit. Sebab, sehari­hari mereka diperlakukan setara di lingkungan tempat tinggal. bebas bercerita kepada siapa saja. Tentang apa saja. Mulai Gua Gajah sampai ternak sapi dan kambing. (*/c10/ttg)