25 radar bogor

Telegram Minta Maaf

JAKARTA–Blokir Telegram bukan hanya masalah keterkaitan dengan terorisme dan radikalisme. Tapi, juga secara tidak langsung ancaman bagi penyedia aplikasi lain yang tidak patuh pada pemerintah bisa saja diblokir.

Kepentingannya bukan hanya soal keamanan tapi juga keuntungan ekonomi.

Ancaman Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk memblokir situs­situs mengancam keamanan negara bukan isapan jempol semata. Telegram merasakannya sendiri Jumat (14/7) lalu.

Plt Kepala Biro Humas Kominfo Noor Iza mengatakan, proses pemblokiran tidak dilakukan serta merta. Mereka sudah menghubungi penyedia Telegram sejak Maret 2016. Sepanjang 2016, bukan hanya sekali Kominfo setidaknya empat kali mengirimkan e-mail berisi permintaan untuk meningkatkan layanan keamanan.

”Kominfo tercatat telah mengirimkan notifikasi request melalui e-mail sejumlah enam kali. Yaitu pada 29 Maret 2016, 20 Mei 2016, 8 Juni 2016, 5 Oktober 2016, 8 Januari 2017, dan 11 Juli 2017. E-mail yang dikirimkan kepada Telegram juga tidak dibalas,” kata Noor Iza kepada Jawa Pos (Grup Radar Bogor) kemarin (16/7).

Menteri Kominfo Rudiantara menyebut punya setumpuk bukti lembaran kalau telegram berisi konten propaganda radikalisme dan terorisme. Mulai dari cara buat bom, ajakan untuk masuk ISIS, hingga seruan­seruan untuk melakukan aksi terorisme.

“Ada 500 hingga 700 halaman bukti. Puncaknya akhir­akhir ini makin banyak. Kan tidak bisa menunggu jadi lebih banyak lagi. Sudah cukup,” ujar Rudi saat perjalanan kunjungan kerja bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Padang, Sabtu (15/7).

Telegram menjadi pilihan para pelaku teror dan penyebar paham radikal karena dianggap lebih aman dan susah dilacak. Dalam website­nya, Telegram bahkan mengiming­imingi hadiah USD 200 ribu (sekitar Rp2,6 miliar) bagi hacker yang berhasil menemukan celah keamanannya.

Rudi menambahkan, Kominfo punya data statistik sepanjang 2016–2017 hanya sekitar 50 persen permintaan untuk penghapusan konten radikal yang dipenuhi. Dia menyebutkan angka tersebut terlalu rendah.

”Kalau 90 persen make sense lah karena mereka mengatakan, kan kebanyakan di AS jadi harus lewat pengadilan dulu,” ujar pria yang pernah berkarier sebagai Komisaris Independen di PT Telekomunikasi Indonesia ini.

Kemarin (16/7) ada rilis resmi CEO Telegram Pavel Durov terkait pemblokiran tersebut melalui channel Telegramnya. Dia mengaku agak kecewa karena Kominfo melakukan pemblokiran terhadap Telegram. Dia juga baru menyadari bahwa ternyata Kominfo sudah beberapa kali mengirimi Telegram e-mail terkait konten radikalisme. Sayangnya, tim Telegram memang tidak bisa memproses request tersebut secara cepat. Kemudian Kominfo melakukan pemblokiran. “Hal ini yang kemudian memicu miskomunikasi dengan Kominfo,” tulis Durov.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Durov menuturkan sudah melakukan tiga hal. Yakni, menutup channel yang berkaitan dengan teroris seperti permintaan Kominfo; dia sudah membalas e-mail Menteri Kominfo yang berkaitan dengan langkah yang lebih efektif untuk memblok propaganda teroris;dan mengusulkan untuk membuat tim moderator yang memiliki pengetahuan tentang bahasa dan kultur Indonesia.

“Saat ini, kami sedang membuat tim moderator yang memiliki pengetahuan tentang bahasa dan budaya Indonesia untuk bisa memproses laporan terkait terorisme lebih cepat dan akurat,” kata Durov.

Sore kemarin (16/7), situs telegram.org yang sebelumnya diblokir sudah bisa dibuka. Tapi, tidak semua provider membuka blokir tersebut.

Rudi mengungkapkan, dia sudah menerima permintaan maaf dari Durov. Menurut Rudiantara, Durov tidak menyadari adanya beberapa kali permintaan dari Kominfo sejak 2016. Durov juga telah menindaklanjuti yang diminta oleh Kominfo dan mengusulkan komunikasi khusus untuk proses penanganan konten negatif khususnya radikalisme/ terorisme.

“Saya mengapresiasi respons dari Pavel Durov dan Kementerian Kominfo akan menindakanjuti secepatnya dari sisi teknis detail agar SOP bisa segera diimplementasikan,” kata Rudi.(and/jun/wan)