25 radar bogor

Rp7 M ’’Cari’’ Ibu Kota

JAKARTA- Pemerintah mulai serius menggarap pemindahan ibu kota. Kemarin (11/7) Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengusulkan tambahan anggaran kementeriannya dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017, kepada Komisi Keuangan DPR RI sebesar Rp26 miliar.

Dalam usulan itu, Bambang meminta anggaran Rp7 miliar untuk membuat kajian komprehensif mengenai pemindahan ibu kota. “Kami bekerja sama dengan Kementerian PUPR dan Kementerian ATR,” katanya di kompleks parlemen Senayan, Jakarta.

Bambang berujar, selain untuk membuat kajian terkait dengan pemindahan ibu kota, tambahan anggaran itu juga akan digunakan untuk implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 terkait dengan sistem aplikasi perencanaan dan informasi kinerja anggaran (KRISNA) sebesar Rp7 miliar. Selain itu, tambahan anggaran tersebut diusulkan Bambang untuk memperbaiki fasilitas KRISNA melalui peningkatan layanan dukungan operasional sebesar Rp5 miliar dan untuk peningkatan hubungan kerja sama internasional sebesar Rp7 miliar.

Menurut Bambang, pemin­dahan ibu kota ke luar Jawa dipilih mengingat ketersediaan lahan yang lebih memadai. Kendati demikian, Bambang belum menyebutkan secara spesifik di mana lokasi tujuan pemindahan ibu kota negara tersebut. Namun, kemungkinan besar di Kalimantan. Di bagian lain, Wali Kota Bogor Bima Arya menilai rencana tersebut akan membawa dampak positif bagi Kota Hujan. Sebab, selama ini terlalu banyak beban yang ditanggung Kota Bogor selama menjadi daerah penyangga ibu kota.

“Kami Bogor diuntungkan, karena bebannya sudah cukup banyak. Jadi, pertumbuhan penduduknya berkurang dan arus imigrasinya juga berkurang,” jelasnya kepada Radar Bogor kemarin.

Menurut Bima, ada dua aspek yang menurutnya jelas-jelas membuat Kota Bogor untung jika lepas dari geografis yang bersebelahan dengan pusat pemerintahan. Yakni, aspek ekonomi dan aspek politis. Aspek ekonomi tersebut, kata dia, dapat meningkatkan kualitas hidup warga Kota Bogor.
“Jadi ada dua dimensi, pertama dimensi ekonomi. Dimensi ekono­mi ini tentu saja wilayah penyangga, seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi, bebannya otomatis akan berkurang,” ujarnya.

Bima menilai, setiap daerah penyangga ibu kota selalu mempunyai beban politis. Jelas saja, pemerintah pusat berkenaan secara langsung dengan pemerintah di masing-masing daerah penyangga. Untuk itu, jika pergeseran tersebut terwujud, tentu akan mengurangi beban yang ada.

“Ibu kota negara mau bagaimanapun mempunyai muatan aspek politis. Aspek politis itu yang ditanggung daerah penyangga. Ketika bergeser ke luar Jawa, saya kira daerah penyangga akan memiliki ruang, beban politiknya akan berkurang,” papar Bima.

Namun, ada yang lebih penting dari keduanya. Yakni, realisasi perpindahan yang diwacanakan. Wacana tersebut hingga kini tak kunjung direalisasikan. Padahal, menurutnya, proses perpindahannya pun akan memakan waktu lama.

“Saya kira yang penting harus segera diputuskan, jangan hanya sekadar jadi wacana. Tapi, segera diputuskan di titik mana. Karena memang prosesnya pasti lama. Tidak sebentar, bisa lima sampai sepuluh tahun,” tandasnya.

Di tempat terpisah, Bupati Bogor Nurhayanti mengung­kapkan, rencana pemindahan ibu kota adalah kebijakan pemerintah pusat dan itu baru wacana. Ia mengira tidak dalam kapasitas untuk mengomentari hal tersebut. Namun, menurutnya, dipindahkan ke mana pun ibu kota, Kabupaten Bogor tetap saja berbatasan dengan DKI Jakarta. “DKI Jakarta-nya ini kan perkem­bangannya sangat luar biasa. Kita harus mampu menjadi penyangga,” tegasnya.

Penyangga yang dimaksud, kata Nurhayanti, bukan sekadar penyangga. Tetapi, bagaimana peren­canaan Pemerintah Kabu­paten Bogor dapat terinte­grasi. Meski pemerintah pusat di mana pun, pembangunan Kabupaten Bogor akan tetap berjalan. “Waduk Ciawi tetap jalan. Sekarang alhamdulillah berjalan lagi, kemarin kan terpotong hari raya,” pungkasnya.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappeda Litbang) Kabupaten Bogor, Syarifah Sofiah menambahkan, jika ibu kota dipindahkan, Jakarta akan fokus menjadi pusat bisnis. Hanya pusat pemerintahannya saja yang berpindah, tetapi perputaran ekonomi masih tetap berlangsung.
“Kalau pemerintahan berurusan dengan administrasi, jadi tetap saja perputaran uangnya di Jakarta,” ujarnya, kemarin.

Syarifah juga menerangkan, jika berkaca pada negara yang pernah melakukan perpindahan ibu kota negara dengan pusat bisnisnya, seperti Australia dan Malaysia, itu tidak ada masalah. Pada saat Australia memindahkan ibu kota dari Sydney ke Canberra. Akhirnya saat ini pusat pemerintahannya di Canberra dan Sydney tetap menjadi pusat bisnis.

“Sama halnya dengan Malaysia yang memindahkan ibu kota Kuala Lumpur ke Putrajaya. Kuala Lumpur tetap menjadi pusat bisnisnya. Jadi, tidak ada masalah,” tandasnya.(rp1/rp2/d)