25 radar bogor

Indonesia Makin Jauh Tertinggal

SEJUMLAH negara sudah menunjukkan antusiasmenya dalam men gembangkan mobil listrik. Tak hanya Eropa, negara-negara di Asia pun juga mulai mengambil ancang-ancang untuk melesatkan mobil listrik di negara masing-masing. Namun sayangnya, Indonesia yang menjadi salah satu basis produksi otomotif terbesar di Asia belum menunjukkan kesiapan yang signifikan akan pengembangan mobil listrik.

Indonesia belum menunjukkan kesiapan untuk menyambut beredarnya mobil-mobil listrik buatan asing di pasar dalam negeri pada 2019 mendatang. Dirjen Penguatan Inovasi Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) Jumain Appe mengakui bahwa regulasi adalah hal yang mendesak. “Sampai saat ini, aturan masih dibahas di Kemenhub (Kementerian Perhubungan, Red), Kemenperin (Kementerian Perindustrian, Red), dan di Kemenristekdikti sendiri,” katanya.

Meski demikian, menurut Jumain, akan ada beberapa kelemahan dari aturan yang dibuat tersebut. Salah satunya bahwa pembuatannya hanya mengacu pada produk teknologi luar. “Itu sebabnya mungkin ke depan kita tidak punya proteksi terhadap produk sendiri,” ungkapnya.

Sementara riset mobil listrik di dalam negeri sendiri masih stagnan. Jumain mengatakan, riset Mobil Listrik Nasional atau Molina masih berjalan dan dibiayai melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Namun, masih banyak rintangan yang harus dihadapi. Dari segi teknologi, komponen penggerak utama yakni baterai dan motor milik Molina bernilai 60 persen dari total keseluruhan harga mobil. Bahannya pun masih impor. “Kalau kita produksi, harganya bakal lebih mahal dari Tesla, BMW Jerman dan yang lain,” katanya.

Selain itu, untuk mewujudkan industri mobil listrik butuh modal besar. Investor diperkirakan masih enggan menanamkan modal jika pasar dan regulasi mobil listrik masih belum jelas. “Kecuali pemerintah menugaskan BUMN tertentu, bikin captive market, atau dinasdinas pakai mobil listrik buatan dalam negeri,” kata Jumain.

Potret tersebut mencerminkan bahwa Indonesia sangat terlambat jika melihat pergerakan negaranegara sesama Asia dalam hal pengembangan mobil listrik. Pada 2016 lalu, Tiongkok sukses mencatatkan peningkatan populasi mobil listrik sebesar 32 persen, menyalip populasi mobil listrik di Amerika. Di lain pihak, Thailand sedang menyiapkan dana insentif Rp4 trilun bagi pelaku usaha yang ingin mengembangkan mobil listrik.

”Secara kapabilitas sebenarnya Indonesia mampu memproduksi. Tergantung keseriusan pemerintah saja,” ujar pengamat transportasi Darmaningtyas. Pergerakan pengembangan mobil listrik di berbagai negara di dunia membuktikan bahwa dunia transportasi memang bergerak ke arah elektrifikasi. ”Memang mengembangkan mobil listrik butuh biaya, tapi tidak menjadi penghambat inovasi. Seperti yang kita tahu bahan bakar minyak akan terus menipis, era teknologi listrik tak terhindarkan,” bebernya.

Menurut Darmaningtyas, pengembangan mobil listrik harus seiring dengan infrastrukturnya. ”Di negara maju sudah terdapat banyak sekali public charger sehingga pengisian listriknya mudah. Sedangkan di Indonesia belum ada sama sekali. Dari sisi pemerintah juga belum ada insentif untuk mobil listrik apalagi infrastrukturnya,” tambahnya.

Padahal, jika dilihat dari potensi market, Indonesia memiliki potential buyer yang juga antusias menanti kedatangan mobil listrik. ”Sebenarnya kalau bicara respons dari sisi pembeli, mobil listrik sangat banyak peminatnya. Daya belinya juga ada karena harganya tidak jauh dari sedan premium, bahkan secara perawatan mobil listrik jauh lebih murah,” ujar Presiden Direktur Prestige Image Motorcars, importir yang mendatangkan mobil listrik merek Tesla ke Indonesia.

Semakin banyaknya pabrikan yang melirik potensi mobil listrik, diangap Rudy sebagai pertanda baik karena artinya mobil listrik akan segera massal. ”Kendaraan listrik adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari. Suatu saat di masa depan semua mobil akan menggunakan mobil listrik. Ketika pabrikan mobil sudah bisa menciptakan mobil listrik yang murah dengan jarak tempuh yang jauh seperti Tesla, bukan tidak mungkin mobil listrik akan menjadi hal yang lumrah di Indonesia,” ujar Rudy

Selain itu, Rudy juga menyebutkan tentang pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) banyak menjadi beban bagi pelaku industri otomotif di segmen premium. ”Di negara lain mobil seperti Tesla tidak terlalu dibebani banyak pajak. Karena statusnya tidak hanya premium, tetapi juga hemat dan ramah lingkungan. Kalau di Indonesia kurang lebih angkanya, PPnBM 75 persen, PIB 30 persen, PPN 10 persen, PPH 7,5 persen, itu semua buat harga dua kali lipat. Padahal di Jepang, Model X hanya dikenai 8% dari pajak dari harga kendaraan. Nah kalau itu bisa masuk akal,” ujarnya.(agf/ tau)