25 radar bogor

BIKIN PANIK, MISI TEROR TERCAPAI

BOGOR–Rentetan aksi teror di Tanah Air, melahirkan kekhawatiran berlebih di masyarakat. Ketakutan itu mengarah pada sikap paranoid.
Semisal melihat bungkusan tak bertuan, sontak langsung berpikir bungkusan tersebut berisi bom. Rabu (5/7), bungkusan plastik dengan kabel terurai keluar membuat suasana mencekam di sebuah gang kecil, di kawasan Sekolah Dasar Negeri (SDN) IV Leuwiliang, Kampung Saptamarga RT 01/03, Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Salah seorang guru, Eko Okta (50), khawatir bungkusan tak bertuan itu bom yang ditinggalkan teroris. Namun setelah tim penjinak bom datang dan memeriksa, bungkusan itu ternyata berisi sampah botol plastik. Beberapa waktu sebelumnya, warga Depok, Jawa Barat, juga dihebohkan dengan penemuan bungkusan diduga bom. Warga lantas melaporkan benda mencurigakan berbentuk tas punggung berwarna hitam yang ditinggalkan di depan ITC Depok, itu ke polisi. Namun Setelah dibongkar tim Gegana, tas tersebut berisi pakaian dan tak ada yang berbahaya. Psikolog Universitas Indonesia Imam B. Prasodjo menilai fenomena ”panik’’ tersebut wajar dirasakan masyarakat. Menurutnya, tujuan para teroris membuat masyarakat resah telah sukses tercapai. “Mungkin bisa jadi bukan sebuah kejadian sistematis atau dalam rancangan. Tapi tujuannya membuat masyarakat resah terpenuhi. Teror sendiri adalah bentuk membuat keresahan
masyarakat. Pelaku teror ini arus dikejar,” ujarnya kepada Radar Bogor kemarin (6/7). Untuk mengusutnya, Imam berharap polisi meningkatkan peralatan penyidikan seperti mendeteksi sidik jari. Selain itu, kemungkinan saksi yang melihat pelaku teror yang meninggalkan bungkusan bom palsu bisa diusut. “Kalau itu (penyimpanan tas/ bungkusan mirip bom) sengaja dilakukan dan meyakinkan tujuannya untuk meresahkan, ya, salah satu bagian dari teror juga,” cetusnya.

Meski begitu, Imam mengapresiasi bentuk kehatihatian masyarakat terhadap situasi terkini. Ketimbang gegabah dan menjadi korban, lebih baik segera melaporkan temuan benda­benda
mencurigakan diduga kepada aparat kepolisian. “Itu bukan hanya sekadar musuh terhadap polisi. Orang ini mengancam tatanan kita semua yang sudah sulit ini. Masyarakat luas tidak salah. Jadi, kalau ada melihat gerakgerik mencurigakan memang harus waspada,” tukasnya. “Sistemnya (kepolisian, red) bagaimana melakukan pengamanan di masyarakat dan kordinasi dengan kepolisian seperti apa? Itu yang harus kita perkuat,” imbuhnya.

Sementara itu, psikolog Retno Lelyani Dewi berpendapat maraknya berita hoax atau bohong juga turut melahirkan kecemasan berlebih di masyarakat. “Pembentukan konsep yang terjadi juga karena dampak dari media massa. Pada awalnya masyarakat juga bersikap biasa apabila melihat bungkusan hitam atau yang mencurigakan, tapi karena di televisi sering menampilkan berita­berita yang vulgar sehingga membentuk pola pikir masyarakat yang seperti itu,” ujarnya kepada Radar Bogor.

Retno mengatakan, ada yang bisa dilakukan untuk menghindari sikap paranoid. Yakni berpikir positif dengan tetap menjaga kewaspadaan. “Jadi bungkusan hitam itu
belum tentu selalu bom, kita harus bisa memastikan fakta terlebih dahulu, melaporkan kejadian tersebut keahlinya, sebelum membesar­besarkan dan di update ke media sosial,” tukasnya.

Psikolog Tika Bisono, menyebut teroris mencari situasi yang luput dari pengawasan dan pengawalan, sehingga banyak masyarakat yang merasakan kecemasan. Aksi mereka memang ditujukan untuk menimbulkan kecemasan sosial sehingga timbul ketidaknyamanan dalam beraktivitas.
“Seolah­olah orang seperti phobia untuk bersosialisasi, phobia bekerja, phobia keluar rumah, karena sudah tidak percaya bahwa di luar rumah itu aman,” ucapnya. Seharusnya, imbuh Tika, media turut menyosialisasikan bahwa aparat ada di manamana dan sigap mengamankan negara. “Agar masyarakat pun selalu merasa aman. Tapi aparat harus benar­benar membuat kita merasa aman juga,” tandasnya. (don/cr6/c)