Rektor: Bisa Kiamat Dunia Pendidikan!
JAKARTA–Pemerintah mulai mengantisipasi masuknya paham-paham anti Pancasila di sejumlah perguruan tinggi. Salah satu upaya yang akan ditempuh adalah memastikan rektor sebagai pucuk pimpinan setia pada ideologi Pancasila.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan, untuk mendukung visi tersebut, pemerintah sepakat mengubah pola pemilihan rektor. Menurut dia, ke depan harus ada persetujuan dari presiden terkait siapa sosok yang ditetapkan. Meski demikian, rekomendasi awal tetap melalui proses di Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek).
”Berdasar hasil komunikasi dengan Pak Mensesneg (Sekretariat Negara), presiden, dan Menristek, kami kira sudah (disepakati) keputusan terakhir harus dari Pak Presiden,” ujarnya dalam peringatan Hari Pancasila di Kantor Kemendagri, Jakarta, kemarin (1/6).
Politikus PDIP itu menjelaskan, keputusan tersebut diambil berdasar kasus-kasus yang belakangan terjadi. Salah satunya adalah ditemukannya calon rektor yang diduga penganut ISIS. ”Ada seorang dekan yang sudah mau jadi pimpinan perguruan tinggi. Saat mau pelantikan, baru ketahuan bahwa dia adalah penganut ISIS,” imbuhnya.
Sayangnya, dia enggan membeberkan kasus tersebut berlokasi di mana dan berapa banyak. Namun, Tjahjo menegaskan, sekecil apa pun kasus yang muncul harus disikapi sejak dini.
Disinggung payung hukumnya, dia menyatakan bahwa hal itu akan disiapkan Kemenristek. Termasuk hal-hal teknis lainnya, seperti apakah berlaku bagi swasta.
Dalam kesempatan tersebut, pemerintah juga menggandeng 63 perguruan tinggi dari berbagai wilayah di Indonesia untuk menyepakati internalisasi nilai-nilai Pancasila di kampus. Sebagai lembaga yang memainkan peran penting di masyarakat, kampus diminta aktif membumikan ideologi bangsa. ”Kami mengajak semua perguruan tinggi negeri dan swasta untuk ada MoU dan semua sepakat yang intinya bagaimana membumikan Pancasila,” ujarnya.
Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemenristekdikti Intan Ahmad belum bersedia mengomentari soal pemilihan rektor di tangan presiden. Aturan yang berlaku saat ini adalah tahap awal pemilihan rektor berada di kampus. Kemudian, setelah terjaring beberapa nama, diajukan ke Menristekdikti. Sebab, Menristekdikti memiliki hak suara 35 persen.
Intan lantas menjelaskan pendidikan Pancasila di kampus. Menurut dia, mata kuliah Pancasila sudah ditetapkan sebagai mata kuliah wajib untuk program sarjana dan diploma. ’’Rujukannya UU 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi,’’ tuturnya. Menurut dia, sisi pembelajaran di dalam kelas sudah cukup. Pengamalan Pancasila tinggal dikuatkan dalam Tridharma Pendidikan Tinggi. Misalnya, dalam proses pengabdian kepada masyarakat maupun penelitian-penelitian.
Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Prof Asep Saefuddin menilai, hal ini sejatinya bagian dari hak prerogatif presiden. Namun jika hanya berlaku untuk perguruan tinggi negeri (PTN).
“Pemerintah (presiden melalui kemenristek) mempunyai kewenangan dalam menentukan rektor PTN,” ujarnya kepada Radar Bogor.
Hanya, kata dia, mekanisme atau proses penjaringan calon rektor diserahkan kembali kepada pihak kampus. Kemudian, seharusnya ada minimal tiga calon rektor yang diusung untuk diserahkan kepada pemerintah. “Kemenristekdikti kemudian menentukan rektor, memilih satu dari tiga calon itu,” tukasnya.
Namun kembali lagi, tegas Asep, mekanisme ini hanya untuk PTN. Sedangkan perguruan tinggi swasta (PTS), tentunya memiliki hak tersendiri. Dalam sistem pemilihan, Yayasan Badan Penyelenggara PT tersebut yang memiliki kewenangan penuh. “Lebih tenang dari pada di PTN. Model inilah yang saya pikir cocok untuk komunitas akademik,” ungkapnya.
Pernyatan itu diamini Rektor Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor, Dr H Ending Bahruddin. Jika harus diterapkan di PTS, Ending menilainya cukup berlebihan. “Meskipun di PTN, terlalu jauh intervensinya. Menteri tidak semua tahu kondisi kampus antara satu dan lainnya,” cetusnya.
Ending mengungkapkan, sudah lebih dari empat ribu perguruan tinggi swasta dan negeri di Indonesia. Belum lagi, PTN memiliki aturan tersendiri seperti badan wali amanah, dewan alumni, dan mahasiswa. “Semua punya hak suara yang menentukan. Bagaimana mungkin ditunjuk menteri. Ini suatu hal yang berlebihan, mengada-ada,” ucapnya.
Dia mengimbuh, kampus adalah dunia akademik yang bebas mimbar. Dengan demikian, menurut Ending, tidak dapat didikte pada kebijakan prerogatif. Jika terjadi, kata Ending, perkembangan ilmu pengetahuan tidak akan berkembang. “Dunia intelektual akan mandek, stagnan, karena dibatasi program studi. Kalau sampai terjadi, kiamat sudah dunia akademi,” tandasnya.(don/far/wan/c6/fat/c)