25 radar bogor

Rokok, Kemiskinan dan Beban Kesehatan

MEMULAI menulis dengan sebuah statement dari David Byrne, seorang musisi berkebangsaan Skotlandia. “Wajah sebenarnya dari merokok adalah penyakit, kematian dan kengerian… Bukan kemewahan dan kecanggihan para pelaku industri tembakau yang mencoba untuk menggambarkannya.”

Quote di atas secara benderang membuka tabir polesan manis pada produk tembakau, membangunkan kita bahwa yang ditampilkan produsen rokok hanyalah polesan yang penuh dengan hoax yang menjerat penikmat candu
tembakau. Kita harus putus lingkaran jerat candu tembakau segera, dan segera bangkit membangun bangsa. Sesuai dengan tema Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) tahun 2017: “Tobacco Threaten Us All. Say No Tobacco: Protect Health, Reduce Proverty and Promote Development”.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di tahun 2016 mengatakan bahwa jumlah perokok di Indonesia mencapai 90 juta jiwa. Data tersebut menempatkan Indonesia sebagai Juara Merokok Sedunia, disusul Rusia ranking kedua, kemudian Tiongkok, Filipina, dan Vietnam. Beliau juga mengatakan bahwa sebanyak dua dari tiga laki-laki di Indonesia adalah perokok.

Bayangkan jika para perokok merokok di dalam rumah, anakanak dan wanita terpapar asap rokok di setiap harinya. Padahal, target untuk tahun 2015 tentang rumah tangga yang mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) adalah 75 persen. Dan, indikator tersulit untuk meraih capaian target tersebut terkendala salah satunya karena masih banyaknya perokok yang merokok di dalam rumah.

Maka tak heran, jika data Global Youth Tobacco Survey (GTYS) tahun 2014 mengatakan bahwa ada 57,3 persen anak usia 13–15 tahun di Indonesia terpapar asap rokok di dalam rumah. Ironisnya, penjahat rokoknya adalah orang tua mereka sendiri yang seharusnya bertugas melindungi derajat kesehatan keluarganya, tetapi malah mencekoki racun tembakau kepada buah hati dan istri mereka.

Informasi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2016 mengatakan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,76 juta orang (10,70%). Rokok merupakan salah satu jenis komoditas makanan yang memberikan pengaruh terbesar terhadap nilai garis kemiskinan di perkotaan maupun di pedesaan, selain beras, daging sapi, telur ayam ras, gula pasir, mi instan, bawang merah, dan tempe. Padahal, menurut BPS, ketika seseorang yang dikatakan miskin ini mengonsumsi rokok, ada kemungkinan ia menjadi tidak miskin apabila mengalihkan pengeluarannya untuk rokok menjadi pengeluaran untuk komoditas makanan yang memiliki kilokalori.

Coba kita lihat, berapa banyak penduduk yang masuk dalam kategori miskin yang merokok di depan, samping kiri kanan dan belakang kita hingga hari ini? Masih tampak banyak petugas penyapu jalan menyapu sambil merokok, para pengayuh becak menunggu penumpang dengan membakar rokok, para tukang pencari barang rongsokan menghabiskan waktu dengan memenuhi paruparunya dengan merokok, para tukang bangunan serta kenek mereka bersusah payah sepanjang hari ternyata di sore harinya sebagian uangnya lenyap bersama kepulan asap rokok, serta banyak lagi profesi lainnya yang gajinya bahkan belum mencapai standar UMR terlena dalam cengkeraman
asap rokok.

Hasil Susenas 2015, tampak bahwa penduduk berusia 15 tahun ke atas yang mengonsumsi rokok sebesar 22,57 persen di perkotaan dan 25,05 persen di pedesaan. Rata-rata, jumlah batang rokok yang dihabiskan selama seminggu mencapai 76 batang di perkotaan dan 80 batang di pedesaan. Jumlah yang sangat besar untuk dapat merobek pundi-pundi keluarga. Jika keuangan keluarga habis untuk merokok, maka akan terjadi praktik pemberian makan yang tidak sesuai dan faktor kemiskinan. Maka tak heran, kenapa masih banyak balita gizi kurang dan tumbuh stunted (pendek), yang merupakan refleksi dari kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan di masa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak.

Mengapa perokok dari kelompok masyarakat miskin ini tidak merasa terancam dengan dampak merokok. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya pun mereka terkadang harus gali lubang tutup lubang. Berutang hingga terjerat rayuan sang rentenir. Seakan rokok adalah surga dunia.(*)