25 radar bogor

WARGA BOGOR DITUDING TERLIBAT

MENCEKAM: Asap membumbung tinggi di lingkungan perumahan Marawi City usai insiden berdarah antara tentara pemerintah dan kelompok militan Maute, di Filipina Selatan, kemarin (27/5). REUTERS / ERIK DE CASTRO REUTERS
MENCEKAM: Asap membumbung tinggi di lingkungan perumahan Marawi City usai insiden berdarah antara tentara pemerintah dan kelompok militan Maute, di Filipina Selatan, kemarin (27/5). REUTERS / ERIK DE CASTRO REUTERS

BENTROKAN antara militer filipina dengan kelompok militan di kota marawi, filipina, disebut sebut melibatkan sebelas warga negara indonesia (WNI). dari 11 orang yang dituding melakukan penyerangan satu diantaranya Yusup Burhanudin asal Bogor.

Kepala Seksi Lalu Lintas Keimigrasian (Lantaskim) pada Kantor Imigrasi Kelas II Bogor Ujang Cahya mengatakan, pihaknya memang mengeluarkan paspor atas nama Yusup. Namun, menurut dia, jamaah asal Bogor atau sebelas lainnya tidak terlibat insiden tersebut.

Ujang juga mengaku sudah mendapat keterangan dari otoritas Filipina. “Ini Jamaah Tabligh dari Bandung sedang iktikaf empat bulan di Filipina. Aman dan tidak terlibat Marawi City,” jelasnya kepada Radar Bogor.

Berdasarkan informasi, kata dia, Jamaah Tabligh akan melanjutkan perjalanannya ke Jepang. Selama perjalanan, mereka dibekali dokumen dan surat lengkap dari kepolisian. “Pindah jalur sekarang ke Jepang,” terangnya.

Hal senada juga diungkapkan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan BHI (PWNIBHI) Kemlu RI, Lalu Muhammad Iqbal. Menurutnya, nama yang beredar adalah anggota Jamaah Tabligh dalam khuruz (dakwah keliling) di Marawi.

“Keberadaan mereka di sana dari awal diketahui aparat keamanan setempat. Karena pengurus Masjid Abu Bakar As-Siddiq memberitahukannya secara tertulis kepada pihak kepolisian. Jamaah Tabligh ini adalah kelompok dakwah yang tidak ada kaitannya dengan IS (Islamic State),” jelasnya.

Sementara itu, pesan berantai terkait insiden Marawi City Filipina menyebar di media sosial dan grup Whatsapp (WA). Pesan berantai itu berisi laporan yang menginformasikan bahwa 11 WNI terlibat insiden Marawi City Filipina. Sebelas WNI tersebut rata-rata berasal dari Jawa Barat.

Mereka adalah Yusup Burhanudin (Bogor), Denny Purwasubekti (Bandung), Handris (Bandung), Slamet Riyadi Winoto (Bandung), Hery Endang (Karawang), Ahmad Wahyudi (Bandung), Ahmad Saran (Tasikmalaya), Wawan Sadira (Tasikmalaya), Della Sunjaya (Bandung), Andri Supriyanto (Bandung), Wifiek Gunawan (Kendari).

Di tempat terpisah, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Armanatha Nasir mengaku, sampai saat ini belum ada informasi mengenai adanya keterkaitan anatara 11 WNI dengan insiden tersebut.

“Sejauh ini tidak ada informasi keterkaitan mereka dengan kelompok Maute atau ISIS atau kelompok teroris lain yang berhubungan dengan konflik bersenjata di Marawi,” kata Armanatha.

Dia menjelaskan, 11 WNI terdiri dan 10 WNI Jamaah Tabligh (JT) dan 1 WNI yang menikah dengan warga setempat. “Di Marawi City saat ini ada WNI JT asal Bandung dan Jakarta yang sedang khuruz, meninggalkan rumah untuk ibadah dan dakwah di masjid selama 40 hari,” jelasnya.

“Satu orang Indonesia lainnya adalah WNI yang menikah dengan orang setempat dan sudah lama tinggal di Marawi. Yang bersangkutan selama ini menjalin kontak dengan KJRI Davao,” tuturnya.

Menurut Armanatha, sejauh ini ke-11 WNI tersebut ada dalam keadaan aman. Pihak KJRI juga terus menjalin komunikasi dengan kepolisian setempat terkait kondisi mereka.

“KJRI Davao telah menyiapkan rencana evakuasi jika situasi di Marawi sudah memungkinkan,” imbuhnya.

SANDERA WARGA SIPIL

Sementara itu menghadapi lawan yang hanya puluhan jumlahnya, pendekatan militeristik Presiden Filipina Rodrigo Duterte terbukti belum membuahkan hasil. Yang terjadi justru krisis kemanusiaan.

Kekuatan kelompok militan diperkirakan hanya 50 orang. Kota pun sudah hampir kosong karena sekitar 90 persen warga mengungsi. Bombardir dari darat dan udara pun telah dilakukan hampir sepekan.

Tetapi, mengapa militer Filipina tidak kunjung bisa sepenuhnya merebut Marawi setelah berperang dengan kelompok militan Maute sejak Selasa lalu (23/5)?

Brigjen Restituto Padilla, juru bicara militer Filipina, beralasan bahwa pihaknya kesulitan karena lawan menggunakan tameng hidup dengan menyandera warga sipil. ’’Sebenarnya kami sudah berusaha maksimal menghindari bentrokan berskala besar. Tetapi, militanmilitan itu memaksa kami melakukan serangan bersenjata karena mereka menggunakan permukiman warga dan gedung pemerintah sebagai tempat bersembunyi,’’ katanya.

Manila boleh menumpahkan segala tuduhan kepada kelompok militan. Tetapi, krisis di ibu kota Provinsi Lanao del Sur, Kepulauan Mindanao, tersebut sekali lagi memperlihatkan kegagalan pemerintah menegakkan ketertiban dan keamanan. Juga sedikit memberikan gambaran mengapa Mindanao selama puluhan tahun terakhir tidak pernah bisa benar-benar reda dari konflik bersenjata.

Yang pasti, pemicu konflik di berbagai sudut Mindanao, termasuk Marawi, sangat kompleks. Di antaranya, geografi yang sulit, sentimen agama, intervensi dari luar, dan pendekatan kultural yang tidak mulus dari Manila.

Pemerintah Filipina menyatakan, sedikitnya ada lima benteng pertahanan Maute di Marawi. Di persembunyian mereka itu, militan mengibarkan bendera dengan latar hitam dan bertulisan Arab mirip bendera ISIS. Yakni, di kawasan Moncado, Guimba, Malimono, Marinaut, dan Caloocan. Di lima lokasi itu bentrokan sengit tidak terhindarkan.

Buntutnya, di Marawi, misalnya, sekitar 90 persen dari kira-kira 200.000 penduduk kota tersebut sudah mengungsi. Kendati demikian, masih ada sejumlah warga yang masih terjebak di tempat tinggal mereka.

’’Mereka yang tinggal di area terpencil atau terkepung bentrokan jelas tidak bisa ke mana-mana. Kami berharap, pemerintah bisa mengupayakan rehat pertempuran agar kami bisa mengevakuasi mereka,’’ kata Laisa Alamia, sekretaris eksekutif ARMM (Wilayah Otonomi Muslim Mindanao).

Wakil Gubernur ARMM Haroun Al Rashid Lucman mengatakan, tidak semua warga Marawi yang meninggalkan kota itu tertampung di kota sebelah, Iligan. Sekitar 100.000 di antara mereka masih telantar.

’’Saat ini yang paling kami butuhkan adalah dokter. Seluruh paramedis yang ada di Marawi sudah sibuk merawat korban sejak Selasa,’’ terangnya.
Pemerintah provinsi sudah mendistribusikan lebih dari 10 ton bantuan untuk warga Marawi. Sebagian besar bantuan tersebut berwujud makanan dan minuman.

Tetapi, bentrokan yang tidak kunjung usai sejak Selasa dan status darurat militer yang akan bertahan hingga bulan depan membuat segelintir orang mempermainkan harga. Harga bahan pangan dan bahan bakar meroket.

Krisis kemanusiaan itulah yang membuat sejumlah pihak mengkritik kebijakan darurat militer di Kepulauan Mindanao yang diterapkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Tetapi, Duterte yang merupakan presiden pertama Filipina dari Mindanao bisa dipastikan akan mengabaikan semua kritik itu.

Mantan walikota Davao itu beralasan, sebagai orang Mindanao, dirinya tahu benar siapa lawan yang sedang dihadapi. ’’Lawan kita adalah teroris Maute yang dibekingi kriminal-kriminal setempat,’’ ujarnya.

Sebagai politikus yang merintis karirnya di Mindanao, dia yakin musuhnya hanya bisa dilawan dengan senjata.

Padahal, sejarah memperlihatkan, pendekatan militeristik dari Manila tidak pernah bisa benar-benar memadamkan konflik di Mindanao. Tetapi, Duterte tidak hendak kendur. Dia akan tetap memberlakukan darurat militer di Mindanao selama 60 hari.

Jadi, bisa dipastikan pertempuran akan berlanjut. Demikian pula halnya dengan krisis kemanusiaan. ’’Jika kalian semua kalah, saya pun kalah,’’ kata Duterte saat menginspeksi pasukan antiteror yang akan diterjunkan di Mindanao.

Presiden berusia 72 tahun itu menegaskan, dirinya siap menanggung seluruh konsekuensi dari darurat militer. ’’Karena itu, jalankan tugas kalian sebaik mungkin dan percayakan yang lain-lain kepada saya,’’ paparnya.

Sementara itu pertautan darah alias hubungan saudara antarmilitan juga menjadi salah satu faktor mengapa konflik bersenjata di Mindanao demikian awet. Militer Filipina dipastikan kesulitan mengorek informasi dari warga setempat karena kebanyakan masih bersaudara dengan anggota kelompok yang diburu.

Kelompok Maute, misalnya, didirikan oleh kakak-adik, Abdullah dan Omar Maute, pada 2013. Anggota mereka sejak awal berdiri tidak pernah lebih dari 100 orang. Tetapi, hubungan di antara mereka sangat erat, masih satu keluarga besar. Baik karena hubungan darah maupun pernikahan.

’’Omar dan Abdullah adalah sepupu pertama Azisa Romato.Perempuan itu adalah istri Wakil Ketua MILF Alim Abdul Aziz Mimbantas,’’ tulis philstar.com tentang hubungan Maute dan MILF.

Kalaupun tidak ada hubungan saudara, warga juga takut membuka mulut karena bakal menjadi sasaran balas dendam kelompok militan. Tidak hanya di Marawi, tetapi juga di Pulau Basilan dan Pulau Jolo.

’’Rata-rata warga takut memberikan informasi karena tahu apa yang bakal diterima jika buka mulut,’’ ungkap Letkol Noel Detoyato, salah seorang perwira di kesatuan antiteror Filipina.(don/AFP/Reuters/ philstar/hep/c4/ttg/c)