25 radar bogor

Muhammad Nuresim, Mubaligh Muda Sang Pencerah Buruh Migran

SYIAR: Ustaz Muhammad Nuresim bersama para TKW di Hongkong saat tasyakuran khatam Alquran, beberapa waktu lalu. DEDI/LOMBOK POS
SYIAR: Ustaz Muhammad Nuresim bersama para TKW di Hongkong saat tasyakuran khatam Alquran, beberapa waktu lalu. DEDI/LOMBOK POS

BAGI para muridnya, Nurseim adalah penyejuk. Kepada Nurseim-lah para murid-murid itu selalu menoleh. Mereka bertanya. Mereka meminta pendapat. Mereka juga minta nasehat. Selain tentu saja, minta bacaan ayat sucinya Alquran-nya disimak dan dikoreksi.

Soalnya, murid-murid Nurseim adalah murid yang tak biasa. Mereka adalah para buruh migran, yang sedang merantau mencari penghidupan di negeri orang. Bukan cuma buat diri mereka. Tapi buat keluarga, buat para buah hati yang ditinggal di negeri tercinta.
Tak semua murid Nursim dari NTB. Ada banyak di antara mereka yang justru bukan dari Bumi Gora. Melainkan dari Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Dan persentuhan mereka dengan Nursim telah berlangsung lama. Tak cuma sekarang-sekarang.

Pada Maret lalu, Nurseim baru pulang dari Hong Kong. Di Negeri kaya itu, dia diundang kopi darat oleh murid-muridnya. Mereka pula yang urunan membayar segala biaya kedatangan Sang Guru ke bekas Koloni Inggris itu.

“Di Hong Kong, saya ada murid 350 orang. Seluruhnya adalah para buruh migran dari Indonesia yang bekerja di sana,” kata Nursim.

Saat ini, data terakhir menyebutkan, sedikitnya 160 ribu buruh migran Indonesia bekerja di Hong Kong. Sementara dari NTB, jumlahnya diperkirakan tak lebih dari 1.000 orang. Sebanyak 70 persen di antaranya berasal dari Pulau Sumbawa.

Selain di Hong Kong, Nurseim punya murid di Singapura, Taiwan, Tiongkok, Malaysia dan Korea Selatan. “Tiap hari kami mengaji bersama,” kata Nursim.

Bagaimana caranya? “Kami memanfaatkan kecanggihan teknologi,” kata Nurseim.

Pria kelahiran 21 Agustus 1975 ini mengatakan, dirinya memiliki grup percakapan WhatsApp yang menjadi wadah tempat belajar para muridnya. Melalui grup itulah, muridnya belajar. Mulai dari mengajari mereka mengaji Alquran, mendalami kitab kuning, Hadist, tata cara wudu, salat, berpuasa dan ajaran Islam lainnya.

Ia membuat enam grup WA. Macam orang sekolah, secara bergiliran murid-murid itu mendapat jadwal belajar. Dimulai usai Salat Subuh, hingga Magrib. Disesuaikan dengan kesibukan par aburuh migran itu di luar negeri. Begitu pula sebaliknya.

Saat ke Hong Kong 16-20 Maret lalu, Nurseim khusus datang untuk menghadiri prosesi khataman Alquran dari para muridnya itu.

Nurseim menceritakan persentuhannya dengan para buruh migran itu bukanlah suatu hal yang disengaja. Semua bermula dari kegiatannya berselancar di dunia maya. Melalui laman media sosial, Nurseim kerap mem-posting ajaran-ajaran Islam. Kemudian mereka yang berteman kemudian memberi respons. Yang kemudian berlanjut dengan diskusi.

Mungkin karena penyampaian Nurseim yang mudah dimengerti, menjadikan para teman-temannya di media sosial enak bertanya. Enak meminta nasihat. Dan satu teman buruh migran di Hong Kong, kemudian membiak menjadi ribuan yang kini tersebar di enam negara.

“Itu karena cerita dari mulut-ke mulut, berkat WA,” ujarnya ustad Nuresim sembari tersenyum. Dalam waktu dekat bahkan, Nuresim kembali diundang untuk mengkhatam Alquran murid-muridnya di Singapura, Taiwan, Tiongkok. Menyusul Malaysia dan Korsel.

“Saya dan para murid sepakat, menggunakan konsep one day one ayat,” ujarnya menggambarkan metode belajar Alquran yang dilakukannya.

Begitu khatam, ia dan para murid sepakat akan menggelar prosesi wisuda atau tasyakuran. Kini, jumlah muridnya mencapai ribuan orang. “Dari sinilah, alhamdulillah saya mendapatkan tambahan keuangan,” kata Nurseim.

Dan keuangan yang didapatnya bukan untuk diri pribadinya. Melainkan untuk membiayai operasional pondok pesantren yang didirikannya di kampung halamannya. Ponpes itu merupakan sekolah gratis bagi anak-anak yatim.

Nurseim saat ini secara resmi telah mendirikan Majelisku Majelis Tahsiinul Quro’ah (MMTQ). Sebuah lembaga yang bermula dari sebuah taman pendidikan Alquran (TPA) yang didirikan Nurseim pada September 2010 silam.

Merampungkan pendidikan di Pondok Pesantren Sukorejo, Sutibondo, Jawa Timur, Nurseim muda sempat pada 1995-1997 mengabdikan diri sebagai tenaga guru di Ponpes Darultanwir Desa Puyung. Lalu, tahun 1998-1999 krisis ekonomi mendera, ia pun mengaku sempat hidup terkatung-katung, hingga terpaksa bekerja sebagai tenaga multilevel marketing (MLM), jenis obat-obatan.

Sudah tidak terhitung, berapa kabupaten/kota di Indonesia di jelajahinya. Pria yang menikah pada 19 September 1998 tersebut, bekerja tekun, demi menyambung hidup bersama istri tercinta. Sembari menjual obat, ia menyempatkan waktu untuk berdakwah. Terkadang, ia harus mengisi ceramah agama di beberapa perkampungan warga, termasuk sebagai guru ngaji.

Seiring perkembangan waktu, kehidupannya pun berubah. Ia memutuskan melanjutkan pendidikan sarjana di Universitas Hamzanwadi Nahdlatul Wathan (NW) Pancor, Lombok Timur pada tahun 2000-2006. Begitu mendapatkan gelar sarjana, ia pun kembali mengabdi kepada masyarakat, guna menjadi guru ngaji. Setiap jumat, ia pun ditunjuk sebagai khatib.

Ia mengaku, isi ceramah di setiap jumat atau dakwah pada umumnya relatif sederhana dan mudah dicerna. Salah satunya, bagaimana umat manusia menjaga hubungan baik antara manusia, tidak membedakan pangkat, golongan, kaya dan miskin. Karena, itu semua milik Sang Maha Pencipta, sewaktu-waktu dicabut kembali.

Di tengah-tengah kesibukannya itu, ia pun prihatin melihat anakanak yatim, piatu dan miskin di sekitar rumahnya. Mereka ratarata tidak bersekolah, karena terbentur keuangan. Atas dasar itulah, ia pun memutuskan mendirikan TPA Bahrul Ulum. Ia mengajari anak-anak itu mengaji, mendalami ilmu agama dan ilmu pengetahuan.

Bapak empat orang anak ini pun, tidak menarik biaya alias gratis. Berawal dari 10 orang murid, hingga 35 orang dan terus bertambah setiap minggu, bahkan bulannya. “Saat itulah, saya mulai berpikir nekat, untuk mendirikan madrasah ibtidaiyah,” ujar ustad Nuresim.(*/r8)