25 radar bogor

DULU TAK DILIRIK, SEKARANG POPULER

Lima sampai sepuluh tahun yang lalu, profesi dokter, polisi, dan guru masih menjadi peringkat teratas profesi impian. Namun, seiring berkembangnya gaya hidup dan teknologi informasi, kini giliran profesi-profesi yang dulunya tidak dilirik, justru booming di masa sekarang. Misalnya, profesi koki, barista, barberman (tukang cukur) hingga komika Tak banyak anak yang ketika ditanyakan ingin jadi apa saat besar nanti menjawab barista. Namun siapa sangka, tukang racik kopi ini sekarang menjadi profesi yang kian tren dan bergengsi hingga mendongkrak menjamurnya kedai kopi di Indonesia, tak terkecuali di Kota Bogor. Barista sedianya bukan hanya sekadar orang yang “bertugas” membuat kopi di kedai kopi. Lebih dari itu, mereka adalah seniman.

Adalah Stevano, salah satu barista asal Kota Hujan yang tak boleh dianggap sebelah mata. Uniknya, kepiawaiannya meracik kopi didapatnya secara otodidak. Terlebih, menjadi barista sama sekali bukanlah profesi yang diharapkannya. Pria kelahiran Pagar Alam, 18 Juni, 22 tahun yang lalu ini malah bercita-cita menjadi koki atau juru masak.

Kepada Radar Bogor, Vano -sapaan akrabnya- mengisahkan bahwa menjadi barista sedianya karena tuntutan pekerjaan. Lulus SMK jurusan perhotelan pada 2012, Vano sempat terlebih dahulu bekerja di hotel tapi tak bertahan lama. Selepasnya Vano pun pernah jadi pengangguran sebulan lamanya. Lamaran sana-sini lebih sering berakhir dengan tidak adanya panggilan interview.

“Jadi, saya dapat telpon dari saudara kalau ada lowongan pekerjaan, tapi jadi barista. Enggak pikir panjang, meski enggak tahu barista itu kerjanya ngapain, tapi terima saja dulu,” katanya.

Kemudian, Vano pun datang ke kedai kopi sesuai petunjuk saudaranya. Namun sial, ia salah hari. Seketika minder, dan kala itu, aku Vano, ia tipikal pribadi yang mudah menyerah. Terlebih saat tahu menjadi barista itu diharuskan bisa membuat minuman sekaligus cekatan berinteraksi dengan konsumen.

“Sempat ragu dan berpikir untuk enggak melanjutkan melamar kerja. Pulangnya telpon sama mamah, kayaknya ditunda saja soalnya besok interview-nya. Tapi coba dulu kata mamah. Akhirnya keesokannya langsung interview. Padahal, awalnya belum pernah tuh interview yang sifatnya formal banget. Ditanya segala macem, mau enggak ditempatin di cabang di Cibubur. Terus ditanya ijazah, padahal ijazah belum diambil,” kata Vano.

Lantas, untuk meyakinkan HRD kedai kopi asal Amerika Serikat tersebut, Vano pun berterus terang bahwa gaji di tiga bulan pertamanya akan digunakan untuk menebus ijazahnya. Singkat cerita, Vano pun akhirnya diterima dan mulai menapaki kariernya sebagai barista.

Setahun lebih lamanya Vano menjadi barista di kedai kopi pertamanya. Segala sesuatu soal kopi menjadi hal baru yang dipelajarinya. Menambah pengalaman baru, kedai kopi kecil pun jadi pijakan Vano berikutnya. “Nah, barulah di Popolo (tempat kerjanya sekarang) bakat saya bisa keluar. Sampai saya ikut kompetisi kecil hingga besar,” jelas Vano.

Kompetisi latte art adalah yang paling sering diikuti Vano. Piala demi piala pun didapatkannya. Terbaru sekiranya dua minggu lalu, ABCD Latte Art Show diikutinya. Meski hanya sampai enam besar, namun untuk sampai di tingkat tersebut merupakan prestasi tersendiri. Sebab, tak banyak barista Kota Bogor yang mampu melakukannya.
Tak Sekadar Tukang Masak Profesi chef alias koki bukan lagi
sekadar tukang masak. Ia kini bisa setara dengan pilot ataupun profesi mentereng lainnya. Gajinya pun bisa selangit. Tak heran, banyak yang memperdalam ilmu secara formal demi mahir di profesi ini. Bermandikan peluh, melawan aura panas yang keluar dari api kompor, berisiko terkena irisan pisau merupakan sekian tantangan yang membuat penggiat profesi ini begitu mencintai dunia chef.

Salah satu yang sudah menggelutinya selama 18 tahun adalah Caesar Rizqie Wahyu Ismawiharda. Awal kariernya benar-benar dari nol. Meski awalnya pernah kerja di hotel tapi tidak bertahan lama, sebab akhirnya kena PHK.

“Kemudian beralih ke restoran Jepang di Jakarta Selatan tahun 1999, awalnya office boy (OB). Lama-lama ada keinginan untuk belajar, mengubah atau nambah ilmu. Dulu sih enggak boleh megang dapur oleh chef-nya, disuruh bersih-bersih. Tapi, senior di situ, dapat izin, boleh enggak sih belajar,” kata dia.

Caesar mengatakan, senior- senior di restoran Jepang itu pun kemudian membantunya. Mulai cara memotong, mengupas dan hal lainnya soal memasak. Tangan tergores pisau sudah jadi hal yang sering dialami Caesar.

“Namanya belajar masak, kemudian iseng-iseng enam bulanan belajar masak, bikin menu yakimeshi, menu pertama yang saya buat. Setelah saya buat, dibimbing senior, chef minta masakin. Dibuatlah yakimeshi, enggak ada yang ngasih tahu itu masakan saya. Dipanggil chef, ketakutan awalnya, tapi malah disuruh masak lagi,” tuturnya.
Dari situ, motivasi Caesar untuk belajar menu lainnya pun kian memuncak. Mungkin juga dipengaruhi karena saat dia duduk di bangku SMP, pernah ada pelajaran tata boga, meski tak banyak.
“Lama-lama, saya diminta untuk di depan konter sushi sashimi, ternyata memang banyakan tamunya Jepang. Dari situ mulai tebersit, kenapa enggak belajar bahasa Jepang. Milih kursus enggak maksimal hasilnya, kemudian masuk UI Sastra Jepang. Sambil kuliah, kerja juga capek, akhirnya izin dari owner fokus kuliah. Masuk tahun 2002 lulus tahun 2008,” jelasnya.

Untuk sementara dunia koki pun ditinggalkannya. Tapi, Caesar mengaku masih melampiaskan kesenangannya soal masakan di kantin yang dimilikinya. Hitung-hitung ada penghasilan lumayan.

“Kalau di kampus ada festival budaya Jepang, saya bagian bikin masakannya. Tahun berikutnya bikin stand masakan Jepang, karena memang basic-nya dari Jepang. Setelah lulus bingung mau masuk resto mana, akhirnya sempat kerja di kantoran 2-3 tahunan, tapi tetap balik lagi ke dunia dapur,” bebernya.

Kini Caesar bekerja di Padjadjaran Suites sebagai executive sous chef. Tak mau hanya menguasai masakan Jepang, ia mulai merambah ke western dan Indonesia, meski kurang lebih basic-nya sama saja. Soal jatuh bangun, menurut dia, semakin tinggi posisi semakin kena angin. Terpuruk itu dulu saat masih kuliah, jobless, pusing bukan kepalang tidak memiliki pekerjaan.

“Akhirnya saya introspeksi dari diri saya. Banyak masukan walaupun dongkol dan akhirnya harus diubah. Saya berusaha menjadi leader bukan bos. Bagaimana caranya apa yang saya konsep itu tersampaikan dengan baik ke tim. Berada di posisi sekarang enggak pernah terpikir,” katanya.(wil/c)