25 radar bogor

Heni Sri Sunadani, Mantan TKW yang Masuk Anak Muda Berpengaruh di Asia

UBAH NASIB: Heni Sri Sundani di depan taman bacaannya di Bogor. Aksinya selalu berorientasi kepada pemberdayaan kaum duafa dan petani. DINDA JUWITA/JAWA POS

Lulus Cumlaude di Hongkong Entaskan Petani di kampung

LABBAIK Allahumma labbaik, labbaika Kalimat yang tak henti menggema di Tanah Suci tersebut membuat Heni Sri Sundani hanyut dalam kekhusyukkan ibadah umrah awal tahun lalu. Kekhidmatan beribadah bersama sang suami, Aditia Ginantaka, itu membuat Heni tak menghiraukan belasan dering panggilan telepon di ponselnya. ”Lalu tiba-tiba ada SMS perkenalan dari orang yang mengaku dari majalah Forbes Indonesia,” ujar Heni di rumahnya di Desa Lemah Duhur, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor.

Kala itu Heni bergeming. Dia tak menanggapi SMS tersebut dan tetap fokus menjalankan ibadah umrah. Dia belum tahu maksud dan tujuan Forbes ngotot menghubunginya. Meski begitu, Heni sempat memberikan alamat e-mail-nya kepada orang itu. Sepulang dari ibadah haji kecil di Makkah dan Madinah tersebut, Heni kembali dihubungi pihak Forbes. Saat itu ganti Forbes. Hongkong yang mengontaknya via e-mail. ”Mereka (Forbes) ternyata sedang mencari anak- anak muda di Asia dan Australia yang dinilai berpengaruh serta berdedikasi gitu,” ujar Heni dengan logat Sunda yang kental. Tak sampai sebulan, Heni terperanjat saat namanya dimasukkan sebagai salah satu di antara sedikit anak muda berpengaruh di Asia versi majalah yang berkantor pusat di New York, Amerika Serikat, tersebut. ”Semula saya kira itu hoax. Kan Forbes keren banget. Isinya orang-orang sukses semua. Waktu saya jadi TKW (tenaga kerja wanita, red) di Hongkong, bos saya sering langganan itu,” ungkapnya.

Kegembiraan Heni bertambah saat mengetahui foto dirinya terpampang di tautan yang ada dalam surat elektronik yang dikirimkan Forbes tersebut. Perempuan 29 tahun itu disejajarkan dengan anak-anak muda dalam kategori social entrepreneurs di majalah bisnis bergengsi tersebut. Dia dinilai sebagai anak muda berpengaruh di Asia lewat gerakan anak petani cerdas, Smart Farmer Kids In Action & AgroEdu Jampang Community.
Terlahir sebagai anak dari keluarga miskin di Ciamis, Jawa Barat, Heni sejak kecil memang ingin mengubah nasib. Bukan hanya suratan takdir keluarganya, tapi juga lingkungan di sekitarnya. ”Orang tua saya buruh tani, tapi mereka divorced ketika saya masih kecil. Saya nggak pernah ketemu dengan ayah. Saya ikut nenek,” cerita dia.
Kehidupan susah dijalani Heni di rumah nenek. Untuk pergi ke sekolah, misalnya, dia mesti menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Saat masih SD, Heni berjalan kaki pergi pulang (PP) ke sekolah dalam dua jam. Kala SMP lebih jauh lagi. Dia harus jalan kaki empat jam PP.

Kendati begitu, Heni tidak patah arang. Buktinya, dia tetap juara kelas hingga lulus SMK. Dia juga doyan baca buku. ”Saya sering menghabiskan waktu ke gudang buat baca buku. Sehari satu buku,” kenangnya.
Sayang, nenek Heni tak kuat membiayai kuliah cucunya. Maka, selulus SMK, Heni memutuskan untuk mencari pekerjaan. Tak tanggung- tanggung, dia langsung terbang ke Hongkong sebagai TKW. Hidup di wilayah yang kini menempati peringkat ke-9 terbaik secara global dalam hal keunggulan daya saing ekonomi menurut World Economic Forum tersebut, membuat mata Heni terbuka lebar. Banyak peluang yang bisa didapatkannya untuk mengubah nasib menjadi lebih baik daripada bekerja sebagai babysitter di Hongkong.

Kala itu, tanpa sepengetahuan sang majikan, Heni menghabiskan jatah hari libur dengan kuliah di Diploma 3 IT Saint Mary’s University. Dia juga belajar di perpustakaan yang merupakan fasilitas umum di Hongkong dan bisa diakses siapa pun secara gratis. Selain itu, dari hasil tabungannya, Heni mampu membeli laptop.
Diam-diam Heni mulai sering mengirimkan berbagai tulisan ke koran, majalah, atau tabloid berbahasa Indonesia di Hongkong. Dia juga mengikuti berbagai lomba. Dari situ, bukan hanya kemampuannya menulis yang terasah, tetapi uang kuliahnya juga terbayar.

Dua tahun bekerja di majikan pertama, Heni memutuskan untuk mencari majikan baru yang lebih baik. Sebab, selama dua tahun bekerja di rumah majikan pertama, hak-haknya tak terbayarkan sebagaimana mestinya.
Beruntung Heni mendapat majikan yang sangat baik. Bahkan, keluarga Lam majikan kedua Heni menyemangatinya untuk terus menimba ilmu. Keluarga Lam menjadi inspirasi Heni karena mereka juga berangkat dari latar belakang orang miskin yang gigih sehingga sampai mendapatkan beasiswa ke Amerika.

Akhirnya Heni pun memutuskan untuk kuliah S-1 di Saint Mary’s University. Dia mengambil bidang bisnis di jurusan manajemen wirausaha. ”Waktu bekerja yang fleksibel membuat saya juga lebih produktif untuk menulis. Enam tahun di Hongkong, saya berhasil melahirkan 17 buku dan puluhan tulisan yang dipublikasikan di berbagai media di sana maupun di Indonesia,” ungkap anak keempat di antara lima bersaudara itu.
Dari ketekunannya belajar tersebut, Heni akhirnya sukses menyandang gelar sarjana dengan predikat cum laude. Gelar itu sudah cukup untuk modal dirinya pulang ke kampung. Dia ingin mengubah kampung halamannya menjadi lebih baik. Maka, pada 2011 mulailah Heni dengan gerakan anak petani cerdasnya.
Perempuan yang berulang tahun bersamaan dengan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) itu memulai kegiatan komunitas tersebut dengan dua program, yakni pendidikan dan sosial. Program pendidikan dilakukan dengan mendirikan taman baca Gudang Ilmu di Ciamis, sedangkan program sosial dengan membantu seorang guru mengaji untuk menjalani operasi penyakit fibrum. Penyakit itu membuat sekujur tubuh penderitanya dipenuhi daging kecil. Selain itu, Heni membantu menangani balita yang lahir tanpa anus serta membantu para duafa di sekitar kampung halamannya.

Program tersebut berlanjut ketika Heni menikah dengan Adit dan kemudian tinggal di Bogor pada 2012. Keduanya menghabiskan akhir pekan dengan membuka les gratis untuk anak-anak petani yang kemudian diberi nama Gerakan Anak Petani Cerdas. ”Waktu itu saya sering berboncengan naik motor dengan suami. Kami membawa buku banyak ke pelosok desa,” imbuhnya. Selain itu, Heni dan Adit mengajak keluarga petani untuk membuat program wisata pendidikan pertanian yang menjadi wadah untuk bekerja sama dan membangun kemandirian desa.
Tak cukup hanya mengajak para buruh tani dan para petani duafa, Heni dan Adit juga mengumpulkan para petani sukses untuk bermitra dengan mereka. Kegiatan itu memiliki 12 destinasi wisata dengan program yang berbeda. Targetnya mulai anak-anak sekolah, mahasiswa, kalangan umum, hingga para pensiunan. ”Semangat dari kegiatan itu, kami ingin menumbuhkan generasi agropreneur dan agropreneur junior,” tuturnya.

Dia juga berharap warga kampung menekuni sektor pertanian dan siapa pun yang memiliki uang mau menanamkan modal di bisnis pertanian. Begitu juga generasi muda. Setahun berjalan, kegiatan dan program yang dilakukan Heni semakin banyak dan menggurita. Mendapati respons positif dari seluruh penerima manfaat, akhirnya Heni dan suami memutuskan untuk membentuk komunitas Agroedu Jampang. Komunitas tersebut berfokus membantu keluarga petani, keluarga TKI, keluarga penambang pasir, dan keluarga duafa pada umumnya. Agroedu Jampang memiliki empat lingkup kegiatan. Yakni pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan social emergency.

Dalam menjalankan program- program itu sejak 2013 hingga kini, komunitas tersebut dibantu para donatur untuk urusan operasional. Heni memerinci, 20 persen donatur berasal dari dalam negeri dan 80 persen berasal dari luar negeri. Komunitas tersebut juga bermitra dengan ratusan organisasi, kelompok, maupun perusahaan. Saat ini Agroedu Jampang telah memberikan manfaat kepada ribuan keluarga yang tersebar di 40 kabupaten di Jawa dan Lombok.
Sejalan dengan hal itu, Heni dan Adit kini tengah menjalankan bisnis sosial seperti mengelola toko online yang bernama Bangjampang. Toko itu menjual aneka produk pemberdayaan para TKI, petani, dan para janda.(*/c11/ari)