25 radar bogor

Paledang-Rajeg Perketat Penjagaan

BOGOR-Setelah kaburnya 200 napi Rutan Pekanbaru, lembaga pemasyarakatan di Bogor meningkatkan pengamanan. Terlebih, peristiwa kaburnya napi juga pernah terjadi di Kota hujan.

Kepala Lapas Kelas II Paledang, Gunawan Sustrinadi, mengaku menerapkan kewaspadaan khusus saat ibadah salat Jumat yang dilaksanakan di dalam lapas. Sebab, muslim yang berada di dalam lapas keluar untuk melaksanakan ibadah. Untuk itu, strategi yang diterapkan satu-satunya hanya memanfaatkan petugas di luar muslim untuk tetap berjaga.

“Kami maksimalkan penjagaan- nya sebagai antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Semua petugas, staf yang tidak menjalani (ibadah Jumat) itu kita kerahkan semua. Petugas yang beribadah pun kadang ditempatkan di barisan atau saf paling belakang,” jelas Gunawan kepada Radar Bogor kemarin (5/5).

Artinya, menurut dia, pen- jagaan terus tanpa meng ganggu berjalannya ibadah di dalam lapas. Namun, dia tak menampik, momentum ibadah sering dimanfaatkan para napi untuk mencari kesempatan kabur.

Lapas Paledang memiliki total 885 warga binaan dengan total kapasitas yang ada hanya 350. Jumlah kapasitas yang tak sampai setengahnya itu memang banyak terjadi pada lapas-lapas yang ada di Indonesia. “Kekhawatiran ada, tapi kan kita mencegah dengan pendekatan lebih ke warga binaan,” katanya.

Gunawan menambahkan, pendekatan persuasif yang saat ini dijalani petugas Lapas Paledang dinilai mampu menjadi benteng pelapis pada bangunan lapas. Sebab biasanya, banyaknya kasus napi kabur dari lapas tak lepas dari penyebab utama. Salah satunya kedekatan antarpetugas dan para napi.

Melihat kasus yang terjadi di Riau, Gunawan akan tetap mengkonsistensikan kewaspadaan dalam lapas. Dengan jumlah petugas penjaga yang hanya enam orang, sistem teknologi akan membantu di kondisi seperti itu.

“Petugas dengan jumlah segitu memang belum ideal. Kekurangan petugas sudah menjadi masalah nasional, hampir semua lapas. Yang ada kita maksimalkan saja dulu,” tukasnya.

Hal senada diungkapkan Kepala Lapas Pondok Rajeg, Anak Agung Gede Krisna. Kaburnya napi di Riau dianggap musibah yang menjadi bahan pelajaran semua lapas di Indonesia.
“Kalau sistem pengamanan, memang setiap Jumat itu seluruh umat muslim mengikuti kegiatan di masjid. Beberapa strateginya adalah soal penempatan waktu. Sebelum salat Jumat usai dipastikan petugas harus standby,” terangnya.

Pintu-pintu yang ada di Lapas Pondok Rajeg juga dilengkapi sistem elektronik sehingga memastikan pintu-pintu tersebut terkunci, terutama pada pintu utama. Namun, menurutnya, hal itu bukan solusi dan jaminan napi tidak bisa kabur. “Minimal menghambat,” tegasnya.

Gede memastikan seluruh pintu pada Lapas Pondok Rajeg selalu terkunci. Begitu pula akses lainnya yang memungkinkan menjadi akses napi untuk kabur. “Jadi, kami buat seperti safety box. Karena semuanya ada SOP,” tegasnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, saat ini jumlah napi di Lapas Pondok Rajeg mencapai 1.378 dengan kapasitas 930 kamar di 4 blok. “Kalau itu memang sudah terjadi semuanya. Tapi kita coba, berusaha dengan peningkatan pelayanan dengan pemerataan kamar. Artinya, bisa membantu mengamankan situasi, mereka akan tenang,” bebernya lagi.

Di bagian lain, sanksi sosial untuk pengguna dan pecandu narkotika sempat disuarakan oleh Kepala BNN Komjen Budi Waseso. Namun, sampai saat ini belum ada tindak lanjut. Padahal, gagasan tersebut bisa menjadi solusi persoalan overkapasitas di rutan maupun lapas.

Berdasar data BNN, sebagian besar narapidana dan tahanan kasus narkotika adalah pengguna serta pecandu barang terlarang tersebut. Tidak heran, BNN optimistis sanksi sosial dapat mengurangi baban rutan dan lapas.

Kabag Humas BNN Kombes Sulistiandriatmoko menjelaskan, gagasan itu muncul lantaran dominasi narapidana dan tahanan kasus narkoba adalah pengguna dan pecandu. ”Persentasenya memang dari 100 persen tahanan narkotika, 7 sampai 10 persen bandar dan pengedar. Sisanya adalah penyalahguna,” kata dia kepada Jawa Pos (Grup Radar Bogor) kemarin (5/5). Lebih dari itu, sambung Sulistiandriatmoko, 70 persen dari seluruh tahanan dan narapidana di Indonesia mendekam di balik jeruji besi lantaran berurusan dengan narkotika.

Pria yang akrab dipanggil Sulis itu menyebutkan bahwa pengguna dan pecandu narkotika adalah salah satu biang persoalan overkapasitas di rutan dan lapas. ”Kalau mereka itu memang benar- benar pengguna (narkotika) kemudian dipenjarakan, itu yang menyebabkan penjara sekarang menjadi over crowded,” ungkap dia. Untuk itu, BNN menggagas dan mengusulkan sanksi sosial terhadap pengguna dan pecandu narkotika. Di samping dapat mengurangi beban rutan dan lapas, sanksi tersebut dipandang cukup memberi efek jera.

Khususnya bagi pengguna dan pecandu narkotika yang tidak biasa menjalani sanksi sosial. ”Misalkan, menyapu di jalan selama sebulan. Bagi pengusaha atau anak orang berada itu berat dilakukan,” ujar Sulis. Belum lagi, apabila disanksi membersihkan fasilitas umum seperti terminal dan pasar. Dia yakin efek jera terhadap pengguna dan pecandu narkotika lebih terasa. Tentunya sanksi tersebut dibarengi upaya penyembuhan. Sehingga yang bersangkutan tidak lagi berurusan dengan narkotika.

Lebih lanjut Sulis meng- ungkapkan, gagasan memberi sanksi sosial kepada pengguna dan pecandu narkotika muncul lantaran instansinya percaya itu tidak hanya menyelesaikan masalah overkapasitas di rutan dan lapas. Melainkan juga menjauhkan pengguna serta pecandu narkotika dari bandar serta pengedar. ”Karena di lapas itu ada bandar, ada pengedar,” ucap Sulis.

Apabila disanksi serupa dengan mereka, pengguna dan pecandu narkoba malah semakin dekat dengan narkotika. ”Keluar dari situ (rutan atau lapas) malah jadi pengedar,” imbuhnya.

Potensi itu ada lantaran pergaulan di dalam rutan atau lapas tidak sepenuhnya terpantau oleh petugas. Sehingga tidak menutup kemungkinan pengguna dan pecandu narkotika malah dekat dengan bandar serta pengedar yang seharusnya mereka hindari. Karena itu, sanksi sosial dipandang cocok untuk diterapkan. ”Di luar negeri sudah banyak. Sanksi sosial itu dilakukan. Hanya di Indonesia belum ada payung hukumnya,” kata Sulis. Karena itu, Budi Waseso sebagai pimpinan di BNN mengusulkan implementasi sanksi tersebut kepada Kemenkumham.

Menurut Sulis, gagasan itu sudah lama disampaikan kepada Kemenkumham. ”Itu kan penanganan sepenuhnya ada pada Kemenkumham,” ucap dia. Namun, sampai saat ini belum ada tindak lanjut. Dia memastikan, BNN siap apabila gagasan yang mereka usulkan digarap serius. Instansi yang diberi mandat khusus menangani berbagai persoalan berkaitan dengan narkotika itu sangat setuju apabila pemerintah menyiapkan payung hukum. Dengan demikian, sanksi sosial untuk pengguna dan pecandu narkotika dapat diimplementasikan.

Senada, Peneliti Institue for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A. T. Napitupulu berpendapat bahwa pengguna dan pecandu narkotika memang tidak seharusnya ditahan. Baik di rutan maupun lapas. ”Saran kami dekriminalisasi untuk pengguna dan pecandu,” ungkap Eras.

Sanksi sosial bisa menjadi salah satu solusi. ”Pokoknya jauhkan dari penjara,” tambahnya. Menurut dia, sanksi penjara lebih baik diberikan kepada pelaku tindak pidana yang betul-betul harus dirampas kemerdekaannya. Misalnya, pelaku pembunuhan.
Dengan demikian, persoalan overkapasitas di rutan dan lapas tidak lagi memberatkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham. Kejadian serupa kaburnya ratusan tahanan dan narapidana dari Rutan Klas IIB Pekanbaru, Riau kemarin tidak lagi terjadi.

Demikian pula kerusuhan di Lapas Klas IIA Jambi yang terjadi dua bulan lalu. Itu berlaku di wilayah rawan seperti Riau. ”Riau salah satu yang terburuk. Peneitian kami, salah satu lapas dengan over crowded terburuk ada di Riau,” ungkap Eras. (syn/ ang/dka/d)