25 radar bogor

Pengamat: Posisi Menkumham dan Jaksa Agung Jangan Politikus Lagi

JAKARTA – RADAR BOGOR, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengungkapkan komposisi menteri dalam kabinet mendatang atau Kabinet Kerja Jilid 2. Untuk jabatan menteri dari partai politik (parpol), Jokowi memberi jatah 45 persen, sedangkan menteri dari kalangan profesional 55 persen.

Pakar politik Pangi Syarwi Chaniago menyarakan, pos Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) dan Jaksa Agung diharapkan bukan dari kalangan politikus. Menurutnya, Jokowi harus berani untuk tidak mengakomodasi kepentingan partai politik pada periode kedua.

Pak Jokowi harus berani berkonfrontasi dengan kepentingan partai yang mengakomodir untuk memasukan kader-kadernya pada dua pos strategis ini. Alasannya sederhana, jabatan ini tidak pantas diberikan kepada politisi. Ini semestinya diisi oleh pejabat karier profesional supaya tidak bias kepentingan benturannya tidak terlalu kuat,” kata Pangi kepada JawaPos.com, Rabu (9/10).

Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebut, posisi Menkumham dan Jaksa Agung harus diisi oleh orang-orang profesional. Karena pada periode pertama, sangat kental nuansa politis di dua lembaga tersebut.

Kita sudah merasakan sepak terjang mereka, di mana geng politiknya cenderung menguat dibanding geng penegakan hukum,” terang Pangi.

Hal ini terjadi karena posisi Menkumham dan Jaksa Agung diisi oleh kader partai politik. Menurut Pangi, partai politik bisa mengakomodasai kepentingannya melalui aparat penegak hukum. Karena pada dasarnya, dia merupakan kader partai politik.

Walaupun dalam tanda petik mereka sudah mundur dari partai, tetapi tetap jadi kader partai. Di satu sisi mereka juga harus tunduk kepada presiden dan loyal kepada presiden. Tetapi biasanya hubungan mereka dengan partai tetap garis putus-putus, walaupun tidak garis komando,” ucap Pangi.

Akibatnya, kata Pangi, penegakan hukum di Indonesia ini menjadi tumpang tindih oleh kepentingan partai. Hal ini pun berdampak pada citra Jokowi yang dinilai buruk dalam sistem penegakan hukum.

Karena Menkumhamnya dari kader partai, bekerja tidak bisa lepas dari kepentingan partai begitu juga dari Jaksa Agung yang kita paham bagaimana Jaksa Agung dipakai untuk kepentingan elektoral salah satu partai politik yang berasal dari partainya. Kita bisa lihat saling sandera, saling mengancam dan saling memainkan kartu masing-masiny. Itu sudah rahasia umum. Bagaimana bupati, gubernur yang bermasalah misalnya ditakut-takuti dengan jaksa pakai kekuatan penegak hukum untuk bisa masuk ke salah satu partai, itu tidak baik. Banyak mudaratnya,” sesal Pangi.

Pernyataan senada juga dilontarkan oleh pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya, posisi Menkumham dan Jaksa Agung merupakan strategis karena bertanggungjawab pada aturan Undang-Undang dan penegakan hukum. Dia memandang, Menkumham dan Jaksa Agung hendaknya diserahkan kepada orang-orang profesional.

Menkumham hendaknya diserahkan pada para profesional yang berintegritas, bukan pada politisi yang cenderung melakukan kerja kerja kementrian yang menguntungkan parpolnya,” ujar Fickar.

Akademisi Universitas Trisakti ini pun mencontohkan, dampak dari posisi Menkumham diisi dari kalangan politisi adanya revisi UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Hal ini pun hingga kini menjadi polemik di tengah masyarakat.

Kerja Menkumham yang paling ironis justru revisi UU KPK yang melemahkan KPK, tapi disebut sebagai menguatkan,” ujar Fickar.

Fickar menyebut, posisi strategis itu harus diisi oleh orang-orang yang punya integritas. Jika nantinya lagi-lagi diisi dari kalangan politisi, ini akan kembali memperburuk aturan dan penegakan hukum di Indonesia.

Akan ada kemunduran dalam legislasi nasional. UU lebih banyak mengakomodasi kekuasaan ketimbang memberi akses yang luas bagi masyarakat,” urainya.

Fickar pun kembali mencontohkan terkait terkait polemik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang hingga kini menjadi perdebatan. Dia menyebut, RKUHP itu lebih justru merugikan masyarakat.

Substansi RKUHP yang justru kembali mengakomodasi nilai nilai kolonial dan yang terjadi justru rekonolidasi bukan dekolonisasi dalam penyusunan RKUHP. Terkait munculnya pasal penghinaan Presiden, ujaran kebencian pada lembaga negara yang semuanya sudah dibatalkan MK. Namun kembali dihidupkan dalam RKUHP,” sesal Fickar.

Terlebih posisi Jaksa Agung, kata Fickar, jika Presiden kembali menunjuk Jaksa Agung maka akan menggunakan kekuasaannya dengan dalih menegakan penegak hukum

Kedudukan Jaksa Agung dimanfaatkan secara politis dengan cara menggunakan kekuasaan memperluas pengaruh partainya,” ungkap Fikhar.

Oleh karenanya, Fickar menyarankan agar posisi Menkumham dan Jaksa Agung tidak diisi oleh politisi. Jika hal ini terulang, maka akan berdampak pada sistem demokrasi yang mengakomodir kekuasaan partai politik.

Jadi kesimpulannya ini justru memundurkan kualitas demokrasi Indonesia,” pungkasnya.(JPG)