25 radar bogor

Jejak Kawin Kontrak di Puncak (3): Besarkan Anak dari Suami Kontrak

Ilustrasi Pernikahan sesama jenis
Ilustrasi Pernikahan sesama jenis
Ilustrasi Pernikahan.

Menelusuri jejak kawin kontrak di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, tentu tidak akan ada habisnya. Sebab, kondisi ini sudah lama berlangsung dan sulit diberantas.

Penulis: Muhamad Arifal Fajar

——-

Wajahnya sedikit oval. Hidungnya bangir. Matanya belo dengan alis yang tebal. Parasnya persis keturunan Timur Tengah. Namun saat diajak berbincang, bahasa sunda yang dominan. Pun dengan gaya busananya. Seperti anak-anak Indonesia pada umunya. Anak berusia tiga tahun itu mengenakan kaos, celana dan sandal jepit.

Begitulah fisik Husein (bukan nama sebenarnya red). Seorang anak lelaki hasil kawin kontrak yang ditemui Radar Bogor, Rabu malam (18/9). Dia adalah anak semata wayang Sri Lestari, wanita yang pernah melakukan kawin kontrak. Hasil dari nikah Mutah yang ia jalani empat tahun silam.

Namun, meski anak hasil dari pernikahan kontrak perempuan Indonesia dengan laki-laki ekspatriat. Status Husein lebih jelas. Ia sudah mempunyai akte kelahiran.

Sri sudah mengurusnya sejak satu tahun silam. Agar anaknya tersebut mendapatkan hak-haknya. Sandra belajar dari temanya yang memiliki anak hasil nikah mutah itu.

Kesulitan untuk mendapatkan pendidikan lantaran tidak memilik akte kelahiran. “Sudah punya (akte kelahiran, red). Dibuatkan teman saya. Jadi tenang kalau nanti sekolah sudah ada akte,” tuturnya.

http://www.radarbogor.id/2019/09/18/jejak-kawin-kontrak-di-puncak-2-sempat-jatuh-cinta-pada-suami-kontrak-2/

Sri mengaku untuk mendapatkan akte kelahiran menggunakan data pernikahan dengan mantan suaminya. “Saya sempat nikah betulan di KUA, lasngung saya buat akte anak. Dan saat itu mantan suami saya juga yang mengurus,” tuturnya.

Menurutnya, saat ini masih bayak anak-anak eks kawin kontrak yang belum memiliki akte kelahiran. Bahkan status tiga anak rekannya saat ini masih menggantung. Sehingga anaknya tidak masuk ke sekolah formal karena tidak ada akte. “Dipesantrenin anaknya. Soanya gak ada akte kelahiran,” akunya.

Kondisi ini merupakan dampak yang ditimbulkan dari hasil kawin kontrak. Hal itu dikatakan oleh Ketua MUI Kabupaten Bogor KH.Ahmad Mukri Aji. Kepada Radar Bogor ia menuturkan bahwa secara hukum, anak-anak yang lahir sebagai buah hasil kawin kontrak ini dikategorikan sebagai anak di luar pernikahan.

Mengingat kawin kontrak bukanlah bentuk ikatan perkawinan yang sah berdasarkan hukum agama dan tidak tercatat berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

http://www.radarbogor.id/2019/09/16/jejak-kawin-kontrak-di-puncak-1-sewa-tiga-hari-plus-vila-bayar-main-selesai/

“Iya selain wanita jadi objek. Juga berdampak pada anaknya. Baik secara administratif maupun secara sosial. Mereka (anak hasil kawin kontrak, red) terlantar,” katanya kepada Radar Bogor, Kamis (19/9).

Hukum kawin kontrak ini sudah sangat jelas diharamkan. Mukti Aji menjelaskan, praktik kawin kontrak sudah diharamkan sejak 25 Oktober 1977 melalui fatwa yang dikeluarkan oleh MMUI. Para ulama yang mendudukkan peristiwa kawin kontrak pada konteksnya, pertimbangan kemudharatannya lebih banyak dibandingkan kebaikannya.

Sementara perkawinan hanya dinyatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum agamanya.“Kitapun sudah jelas menegaskan untuk kawin kontrak di kawasan puncak itu sangat diharamkan,” tuturnya.

Iapun menjelaskan, nikah mut’ah dengan menyebutkan syarat di dalam akad nikah dengan batasan waktu tertentu. Pernikahan seperti telah disepakati keharamannya. Diantara dalil yang menyebutkan keharamannya adalah sabda Rasulullah, “Shahih Muslim juz 2 hal, 1025 nomor 1406, sudah jelas,” tegasnya.

Lebih lanjut, Tokoh Agama Kabupaten Bogor itu memaparkan, dari ketentuan hukum positif, kawin kontrak bukanlah ikatan lahir dan batin. Serta dilakukan bukan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan.

“UU Perkawinan juga mewajibkan pencatatan perkawinan untuk mendapatkan akta perkawinan,” tambahnya.
Akta perkawinan merupakan sebuah bukti telah terjadinya atau berlangsungnya perkawinan. Meskipun keberadaan akta perkawinan tidaklah untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan, karena sah atau tidaknya perkawinan di Indonesia disesuaikan dengan hukum agamanya. (all/c)