25 radar bogor

Datangkan Rektor Asing, Tiga Kompetensi ini Harus Dipenuhi

Menristekdikti M Nasir

JAKARTA-RADAR BOGOR, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) terus mematangkan rencana mendatangkan rektor asing. Mereka kini menyusun syarat dan kualifikasinya. Sebab, belum tentu rektor asing memiliki kualitas baik.

“Kami akan lakukan global bidding untuk mencari rektor asing,” ucap Menristekdikti Mohamad Nasir saat ditemui di kantornya kemarin.

Setidaknya, lanjut dia, ada tiga kompetensi yang harus dipenuhi warga negara asing untuk menjabat rektor di perguruan tinggi negeri (PTN) tanah air. Yakni, memiliki jejaring dengan komunitas peneliti luar negeri, berpengalaman mengelola perguruan tinggi, dan mempunyai inovasi untuk meningkatkan mutu riset.

Menurut Nasir, selama ini tantangan untuk seorang rektor sangat rendah. Syarat yang ditentukan juga sangat minimal. Di antaranya, pernah menjabat ketua jurusan.

Tidak ada syarat memiliki jejaring yang kuat dengan komunitas peneliti di luar negeri. Mayoritas PTN mencari rektor hanya dari kalangan internal akademisi maupun guru besarnya.

“Syarat itu kan terlalu kecil. Kalau standarnya kita naikkan, malah tidak ada yang mendaftar. Tapi, jika kita buka lebih luas (rekrutmen rektor, Red), ternyata ada potensi yang lebih besar,” terang mantan rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang tersebut.

Sementara itu, Kemenristekdikti harus mengkaji dan memperbaiki peraturan dan regulasi untuk memuluskan program rektor asing. Sebab, setiap kampus negeri memiliki statuta yang disahkan dalam beberapa peraturan pemerintah terkait syarat dan ketentuan rektor.

Universitas Indonesia, misalnya. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 disebutkan bahwa syarat utama rektor adalah warga negara Indonesia.

Kemudian, PP 52/2015 tentang Statuta Undip menyatakan bahwa seorang rektor harus WNI, dosen Undip, dan berstatus pegawai negeri sipil. Begitu pula dengan statuta Universitas Gadjah Mada. “Ini masalah. Karena itu, harus kita perbaiki peraturan pemerintah itu,” ujar Nasir.

Di sisi lain, menteri 59 tahun tersebut mengaku pernah di-bully oleh forum rektor saat kali pertama memaparkan wacana program rektor asing pada 2016. “Dianggap nanti kita inlander (ejekan orang Belanda untuk kaum pribumi, Red), dijajah, dan sebagainya,” ungkap dia. Tapi, cercaan itu tidak menyurutkan semangatnya. Justru tahun ini dia lebih galak.

Nasir berpedoman, kalau tidak ada kompetisi, tidak ada daya saing. “Ini era di mana kita harus berani berkompetisi,” imbuhnya.

Sementara itu, wacana impor rektor memantik perhatian para guru besar (gubes) di Indonesia. Salah satunya Prof Kacung Marijan, gubes ilmu politik Universitas Airlangga (Unair).

Menurut dia, rencana impor rektor tersebut adalah implikasi dari kompetisi yang kuat antar perguruan tinggi (PT) dunia.

Menurut dia, rektor memang salah satu hal penting dari keseluruhan sistem pengelolaan PT. Namun, ada yang lebih penting dari itu. Yakni, pengelolaan ekosistem di dalam PT.

“Yang penting ekosistemnya dulu. Kalau ekosistem sudah bagus, baru memungkinkan untuk berkompetisi dengan yang lainnya,” kata Kacung kemarin.

Kacung menyatakan, saat ini pemerintah baru membangun ekosistem. Itu pun belum cukup bagus untuk pertumbuhan PT yang baik. Bisa saja ketika mendatangkan rektor asing dan ekosistemnya tidak bagus, PT tetap tidak berkembang. “Sekarang pemerintah itu mau ekosistem yang seperti apa? Apakah kita mau mengikuti Jerman, Singapura, Malaysia, Eropa, atau Belanda?” ujarnya.

Di Jerman seluruh biaya PT ditanggung pemerintah. Mulai riset hingga perkuliahan. Kemudian, di Australia biaya pendidikan untuk warga lokal lebih kecil dan warga asing lebih mahal. “Jadi, harus membangun ekosistemnya dulu. Seperti kebijakan program pendidikan mau dibuat seperti apa,” katanya.

Saat ini banyak orang Indonesia yang kuliah di Malaysia dan Singapura jika dibandingkan dengan sebaliknya. Sangat mungkin itu terjadi karena kualitas yang ditawarkan Malaysia lebih bagus.(pin/JPC)