25 radar bogor

Satu Zonasi Masih Gagal Lolos, 9.489 Siswa di Kota Bogor Beralih ke Sekolah Swasta

Ratusan orang tua/wali murid mendaftarkan anaknya pada PPDB SMAN 1 Bogor, Senin (17/6). Nelvi/Radar Bogor.

BOGOR – RADAR BOGOR, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA/SMK di Kota dan Kab Bogor menuju fase akhir.

Jelang penutupan pendaftaran pada Sabtu (22/6/2019), posisi sementara calon siswa yang berhasil mendapatkan bangku sekolah negeri sudah mulai terlihat.

Jika merujuk pada perbandingan jumlah lulusan siswa SMP dengan daya tampung SMA dan SMK negeri. ada ribuan siswa yang berpotensi gagal lolos ke negeri.

Total jumlah SMA/K negeri di Kota Hujan berjumlah 14 sekolah. Dengan perincian, 10 SMA Negeri dan 4 SMK Negeri.

Dengan rata-rata daya tampung setiap sekolah 324 siswa, maka kuota yang disediakan hanya 5.256 kursi. Padahal tahun ini jumlah lulusan SMP mencapai 14.745 siswa. Maka ada 9.489 siswa yang tidak berpeluang masuk ke sekolah negeri.

Merujuk hasil tersebut, sebagian besar orang tua murid kini mulai mencari alternatif ke sekolah swasta.

Seperti yang dilakukan Ratna Malingka (39). Kepada wartawan, Ratna mengaku, anaknya sulit lolos ke SMA negeri karena berada di urutan yang sudah melebihi kuota siswa yang diterima.

Dia mendaftar melalui jalur zonasi di SMAN 3 Bogor. Rumahnya memang cukup jauh dari sekolah yang berlokasi di Jalan Ciheuleut, Kelurahan Baranangsiang, Kota Bogor itu.

Meski belum keluar hasil finalnya anaknya diterima atau tidak, Ratna sudah berinisiatif mencari sekolah swasta. Dia menilai peluang mendaftar ke sekolah negeri lainnya sangat kecil.

“Solusinya ya hanya sekolah swasta yang masih buka pendataran,” ujarnya.

Pada kesempatan itu, dia mengaku kecewa dengan adanya sistem zonasi dalam PPDB 2019. Pasalnya, siapa yang daftar duluan dan tempat tinggalnya dekat sekolah peluangnya lebih besar diterima.

Alhasil bagi anak-anak yang memiliki hasil ujian nasional (UN) tinggi akan kalah dengan anak yang tempat tinggalnya dekat dengan sekolah.

“Seharusnya aturan zonasi dievaluasi kembali. Karena bukan hanya anak saya. Mungkin banyak anak-anak lain di luar sana yang juga bernasib sama,” bebernya.

Senada diungkapna Jospan. Salah seorang walimurid itu mengatakan, PPDB harus menghargai hak anak yang bersangkutan.

Namun, kenyataannya, proses PPDB berdasarkan jarak yang berlangsung sejak Senin (17/6) itu dinilai sudah banyak makan korban. Muncul berbagai permasalahan dan komplain.

”Ada yang tidak bisa akses, ada yang kurang tahu tentang pengaksesan. Dan muncul masalah-masalah baru orang tua yang mengeluhkan putra-putrinya terdepak dari pendaftaran. Sehingga banyak keluhan dan merasa tidak bisa lagi masuk ke SMA negeri,” ujarnya,

Dia mencontohkan, jarak rumah 600 meter dari sekolah. Nilai ujian nasional memang tidak tinggi, meski rata-rata nilai masih 8,5. Namun siswa tersebut tidak bisa masuk karena tergeser oleh siswa lain yang jaraknya lebih dekat.

”Dengan semangat pemerataan, mestinya siswa tersebut bisa masuk karena jarak hanya 600 meter,” tuturnya.

Kondisi itu banyak dialami oleh siswa lainnya. Tentu tidak sedikit walimurid yang resah dan merasa tidak adil

Sejatinya protes mengenai pemberlakuan sistem zonasi memang sudah terjadi di awal-awal PPDB dibuka 17 Juni lalu. Zonasi yang secara penuh diberlakukan pada tahun ini menyisakan berbagai masalah mulai dari perhitungan jarak dari tempat tinggal ke sekolah serta pemetaan antara jumlah sekolah dengan penduduk yang belum imbang. (cr2/mer/nal/jpg/c)