BOGOR-RADAR BOGOR,Banyak pilihan ketika menjalankan proses kehidupan di dunia ini. Kerasnya kehidupan di jalan seolah bukan hambatan bagi kelompok pemulung yang terus mengais rezeki di tengah hiruk pikuk Kota Hujan, penyangga ibu kota ini.
Ketika warga Kota Bogor sedang disibukan dengan berbagai aktivitas yang mengikis waktu keseharian dengan beragam kegiatan demi mendapatkan rupiah. Tampak pemandangan yang meluluhkan lubuk hati terdalam.
Tamparan keras seolah mengaungi rasa syukur ini. Ternyata, masih banyak orang-orang yang nasibnya jauh kurang beruntung dibandingkan dengan kehidupan sosial yang berada di pusat Kota Bogor.
Pelajaran berharga ini didapat ketika melintasi salah satu ruas jalan yang berada tak jauh dari gedung tempat para pimpinan kota berkantor. Jalan yang menjadi sejarah para pejuang Kota Bogor, yakni Jalan Veteran. Tampak sering dihiasi oleh para gelandangan pemulung yang bertahan hidup dibeberapa sudut kawasan tersebut.
Pandangan ini menilik ke salah satu titik jembatan, tepat di bawah jembatan itu ada kehidupan yang semakin memperkuat rasa syukur ini.
’’Mau gimana lagi mas, mungkin ini sudah suratan takdir kami untuk menjalankan hidup seperti saat ini. Sudah bisa bertahan hidup saja kami sangat bersyukur,” ujar Nurzaman (31), salah satu yang bertempat tinggal di lokasi tersebut.
Ketika berkunjung, tak sedikit keluhkesah yang diceritakan oleh Nurzaman.
Hari ke hari, detik demi detik dihabiskannya untuk sekadar beristirahat dan bermalam dengan beralaskan kardus yang diteduhkan oleh tenda berukuran kurang lebih 4 x 5 meter.
Riuhan aliran sungai seakan menjadi sahabat bagi Nurzaman, isrti dan kawan-kawanya.
Pria yang berasal dari Ciwalen, salah satu kampung di daerah Cipanas, Jawa Barat tersebut mengaku bahwa dirinya memilih mengadu nasib di jalan demi menghidupi istri dan dua orang anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan balita.
’’Sudah belasan tahun saya mengadu nasib di jalan dengan memulung limbah dari masyarakat seperti kardus, botol minuman, dan sampah plastik. Daripada kami mencuri, mending kami begini saja, yang penting halal,” ungkapnya kepada Radar Bogor, akhir pekan lalu.
Sang Istri, Eni (30) mengatakan, walau ia dan suami seperti ini, tapi sebisa mungkin anak-anaknya tidak seperti mereka.
’’Kelak mereka harus sukses menjadi kebanggan orang tuanya. Bagaimanapun anak saya harus bersekolah,” ujar wanita yang berasal dari Sukamakmur, Ciomas tersebut.
Saat ini, sambung Eni, anaknya sedang dititipkan ke orang tuanya, namun sesekali Ia mengajak anaknya ke lokasi tempat berdiam ibu bapaknya tersebut.
Lebih dalam, Eni menjelaskan kehidupan sehari-harinya memang dibaluti dengan taraf kehidupan yang jauh dari kebanyakan orang.
Pasalnya, dikatakan Eni, untuk makan sehari-hari saja, ia dan suami beserta teman seperjuangannya yang berada di kawasan tersebut harus berusaha keras memulung agar mendapatkan hasil timbangan yang berat dan bisa menghasilkan upah yang sekadar cukup untuk bertahan hidup.
’’Kami berangkat pagi untuk berkeliling mencari barang-barang bekas, setelah terkumpul lalu akan kami jual ke pengepul di daerah Pasar Merdeka, barulah kami bisa membeli makan,” katanya.
Terkadang, lanjutnya, itu pun tak menentu karena untuk mendapatkan banyak kardus mesti keliling seharian, bahkan juga bisa hingga berhari-hari.
Hasil kerjanya dan suaminya, kata dia, kadang hanya mendapatkan Rp30 ribu dan jika lagi banyak barang bisa mencapai Rp50 ribu per hari.
’’Beginilah hidup di jalanan, untuk bertahan hidup saja mesti berjuang keras. Kami berharap ada kerjaan yang lebih layak lagi, namun kenyataannya memang mencari pekerjaan zaman sekarang sulit, suami saya pun sudah berkali-kali mencoba untuk ikut kerja sama orang tapi ujungnya selalu mengecewakan, daripada kami tidak bertahan hidup lebih baik ikhlas menjalankan hidup seperti ini,” ungkapnya lagi.
Pilihan hidup yang dijalankan mereka hanya sebagian kecil dari kehidupan jalanan yang keras. Pantauan Radar Bogor, masih ada beberapa orang yang mengais rezeki menjadi pemulung dan ikut bertahan hidup di bawah jembatan tersebut, yakni Haikal Lovli (14) bocah kecil berasal dari Margonda, Depok Baru, serta Zaenal (31) warga Pasir Eurih, Tamansari, Ciapus, Kabupaten Bogor, dan lain-lain.(cr2/c/ysp)