25 radar bogor

Gaet Investor Asing, Pemerintah Harus Turunkan Tarif PPh Badan

Ilustrasi
Ilustrasi Pajak

JAKARTA-RADAR BOGOR, Tarif pajak penghasilan (PPh) badan di Indonesia yang mencapai 25 persen dianggap masih terlalu tinggi.

Tarif itu juga lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata tarif PPh badan di kawasan.

Misalnya, di Asia, tarif PPh badan 21,2 persen. Khusus di Asia Tenggara, tarif PPh badan adalah 22,35 persen.

Di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tarif PPh badan mencapai 23,5 persen.

Karena itu, wacana penurunan tarif PPh badan perlu segera direalisasikan.

’’Kami menunggu. Semoga bisa segera,’’ kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno, Selasa (9/4).

Benny menjelaskan, Indonesia harus mempunyai pembanding. Misalnya, membandingkan kondisi dengan Vietnam dan Thailand.

Dua negara tersebut cukup bersaing dengan Indonesia mengenai menarik investasi asing.

Tarif PPh badan di dua negara itu mencapai 20 persen, lebih rendah daripada Indonesia.

Artinya, Indonesia perlu menurunkan tarif PPh badan jika ingin lebih banyak investasi asing yang masuk.

Dari sisi daya saing, Indonesia berada di peringkat ke-45, Thailand ke-38, dan Vietnam ke-77.

Bila dapat menarik dari sisi tarif pajak dan daya saing, tentu Indonesia akan lebih memikat lagi bagi investor.

Di samping itu, usaha-usaha yang sudah ada di dalam negeri bisa tumbuh lebih cepat.

’’Tarif listrik dan logistik sama pentingnya seperti tarif PPh,’’ tegas Benny.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, tarif PPh badan di Indonesia memang cukup tinggi, tetapi bukan yang tertinggi.

Negara lain di Asia Tenggara seperti Filipina mempunyai tarif PPh badan 30 persen.

Ada pula negara-negara maju lainnya yang menerapkan tarif PPh badan lebih tinggi.

Misalnya, Swedia yang tarif PPh badan 61,85 persen dan Denmark 55,8 persen. Namun, jika Indonesia ingin mengejar pertumbuhan, tarif PPh badan memang perlu dikoreksi.

Sementara itu, local currency settlement (LCS) atau penyelesaian transaksi perdagangan antara dua negara dengan mata uang lokal diharapkan bisa menjaga kestabilan keuangan.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) hanya menjalin kerja sama dengan Thailand dan Malaysia. Namun, setelah ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (AFMGM) di Thailand, BI juga bekerja sama dengan Filipina.

Direktur Departemen Internasional BI Wahyu Pratomo menuturkan, transaksi menggunakan local currency menjadi alternatif penyelesaian pembayaran. Selama ini transaksi perdagangan memakai USD. (rin/nis/c14/oki)