25 radar bogor

Kaget Dengar Saya Operasi

 

Oleh Hazairin Sitepu

Sakitnya minta ampun. Mulai kira-kira pukul 11:00 di hari Minggu 24 Februari itu. Malamnya demam sampai Senin pagi. Minum parasetamol. Sembuh. Tetapi siangnya demam lagi. Minum parasetamol lagi.

Bagian atas selangkangan sebelah kanan tampak bengkak. Agak menonjol. Sedikit mengeras. Makin sakit. Sakit sekali pada saat batuk atau pun bersin. Tetapi pada saat di kantor saya pura-pura sehat. Apalagi ketika berpapasan dengan karyawan. Atau pun pada saat meeting. Seolah-olah sehat.

Senin siang saya terpaksa minta tolong seorang staf mencarikan rumah sakit yang memiliki teknologi laparoscopy. Ini adalah teknologi bedah modern yang meminimalisir sayatan. Hanya 0,5-1 cm saja. Kalau bedah konvensional minimal 10 cm. Tetapi penyakit apa gerangan di atas selangkangan kanan dalam saya itu?

Saya mencari tau melalui jasa Om Google. Senin paginya sudah mendapat konfirmasinya bahwa kemungkinan besar hernia. Usus turun menjebol dinding otot lemah membentuk rongga di area yang sakitnya minta ampun itu: bagian atas selangkangan kanan dalam.

Sejak Minggu siang area itu memang tampak agak bengkak. Semakin bengkak, semakin parah sakitnya. Sampai-sampai jalan pun terasa sulit. Sebisa mungkin tidak batuk. Tidak bersin. Karena itu akan menimbulkan rasa sakit luar biasa. Kemungkinan akibat usus yang terperangkap dalam rongga itu terjepit di antara dinding otot.

Senin sore saya menemui dokter ahli bedah di RS Elang Medika Corpora (EMC) Sentul. Dokter Wendell, SpB. Dialah dokter yang disarankan oleh staf saya. EMC juga disarankan karena memiliki laparoscopy. Tepat pukul 16.00 saya berada di ruang praktek dokter Wendell. “Positif hernia. Harus operasi,” kata Wendell. “Ya sudah, operasi. Kapan?” kata saya. “Besok sore,” kata dokter bercambang itu sambil menulis resep obat anti nyeri untuk kebutuhan satu hari.

Hari Minggu 24 Februari saya memang membersihkan kamar tidur, juga kamar mandi. Menyapu, mengepel dan merapikan. Termasuk mengganti sprei dan sarung bantal. Itu kerja rutin hampir tiap hari Minggu. Anak-anak dan keluarga yang lain membersihkan kamar masing-masing. Ada pula yang membersihkan sampah dan merapikan tanaman di taman rumah.

Ketika mengangkat ujung-ujung kasur untuk menyarungkan sprei itulah, otot bagian selangkangan kanan terasa ketarik. Sakit. Sakit sekali. Tidak berhenti sampai malam. Demam sampai pagi. Minum obat penyembuh demam. Sembuh. Senin pagi masuk kantor seperti biasa. Siang sakit lagi.

Jika penyebabnya lantaran angkat beban berat, hernia saya mungkin saja sudah ada sejak lama. Sejak saya masih kecil. Atau sejak remaja. Sejak menjadi petani. Sejak pernjadi nelayan. Bukan baru hari Minggu itu.

Waktu kecil sampai dengan usia 16 atau 17 tahun saya tinggal di desa terpencil di sebuah pulau di Maluku Tengah. Sambil sekolah di ibtidaiyah (madrasah ibtidaiyah), saya harus bertani, membantu ibu saya. Juga menjadi nelayan: mencari ikan di laut lepas.

Pada saat bertani, saya harus memikul penggalan-penggalan kayu dalam ukuran besar dari hutan untuk memagari kebun supaya tanaman tidak dimakan babi hutan. Begitu pula ketika hendak mencari ikan ke laut lepas, harus mendorong perahu dari tepi pantai ke laut, dan menariknya kembali ketika pulang. Mungkin saja kerja berat itu yang memicu munculnya embrio hernia saya. Dan puncak perkembangannya di hari Minggu 24 Februari itu.

Selasa pagi saya datang ke EMC untuk menyelesaikan semua persyaratan operasi. Periksa darah ke laboratorium, foto rontgen, timbang berat badan, cek tekanan darah. Termasuk memastikan kamar perawatan yang akan saya tempati setelah operasi. “Bapak boleh masuk kamar setelah pukul duabelas. Nanti langsung diinfus,” kata seorang asisten Dokter Wendell.

Saya berfikir, kalau langsung diinfus berarti sudah tidak bisa keluar rumah sakit lagi. Padahal harus ke kantor dulu. Ada meeting dengan GM Keuangan Radar Bogor. Harus ke pethshop dulu, mau beli makanan kucing. Harus ke tukang cukur dulu, mau potong rambut yang sudah panjang.

Saya mencoba usul ke sang asisten supaya masuk kamarnya agak sore. Diperbolehkan, dengan syarat pukul limabelas sudah harus di kamar. Maka pergilah saya ke tukang cukur. Abis itu ke pethshop, lalu ke kantor untuk meeting, setelah salat dzuhur di rumah.

Tidak satu pun keluarga yang tau, kecuali Supari. Ponakan saya. Dua jagoan saya; Fauzan dan Nauval sedang di sekolah. Waktu mengantar ke sekolah Selasa pagi, mereka sangat ceria, semangat. Fauzan kelas XI di SMA Negeri 2 Bogor dan Nauval kelas VII di SMP Bina Insani. Kalau mereka diberitahu khawatir belajarnya bisa terganggu.

Supari pun sebenarnya tidak tau. Dia hanya disuruh ikut menemani di mobil. Saya menyetir sendiri. Supari duduk diam di joke depan, di samping saya. Mungkin saja dia mengira kita hendak belanja ke pasar swalayan di Sentul.

Masuk halaman parkir EMC, lalu ke meja perawat. Bertemu asisten dokter Wendell. Menandatangani beberapa pernyataan. Termasuk pernyataan siap dioperasi, dll, Supari tampak mulai menengok sana-sini. Apalagi, waktu dari mobil, saya menyuruhnya membawa ransel berisi pakaian. Dia mulai curiga.

Dari loby, oleh asisten dokter, saya diantar ke kamar di lantai empat. Lalu diperkenalkan ke dokter jaga dan para perawat di lantai itu. Begitu masuk kamar, saya diminta naik ke atas ranjang. Mau diinfus. Saya menawar lagi. “Boleh gak, infusnya setelah saya shalat ashar. Waktu ashar tinggal 10 menit lagi,” kata saya ke asisten dokter. Ia membolehkan.

Kami diberi sajadah. Begitu suara azan selesai terdengar, saya bersama Supari salat ashar berjamaah di samping ranjang perawatan. Setelah itu, disuruh naik ke atas ranjang. Langsung diinfus, setelah rekam jantung. Beberapa menit sebelum saya didorong ke kamar operasi, barulah saya bilang: “Supari… di dalam ransel itu ada uang. Kamu boleh gunakan untuk bayar-bayar, untuk beli-beli keperluan di sini. Ini handphone. Abang sama Ade (Fauzan dan Nauval) sepulang sekolah suruh diantar ke sini. Sekarang saya mau operasi.”

Infus itu ternyata sangat penting beberapa jam sebelum operasi. Karena beberapa obat yang diperlukan harus dimasukkan ke dalam tubuh saya melalui selang infus itu. Obat-obat itu sudah harus bereaksi atau berfungsi baik pada saat operasi dan setelahnya. Jadi bukan sekadar untuk memasukkan cairan ke dalam tubuh. Saya saja yang bandel.

Agak kaget. Terdiam. Supari hanya memandang saya tanpa sepatah kata pun. Beberapa menit menjelang pukul 17, ranjang didorong oleh perawat dari dalam kamar menuju ruang operasi. Tampak Hety , GM Keuangan dan Umum Radar Bogor, dan Aswan Achmad, GM Produksi Radar Bogor, berdiri dekat pintu. Meraka bersama Supari mengantar saya sampai ke pintu ruang operasi di lantai dua.

Hety akhirnya tau karena dialah yang saya minta tolong mencari rumah sakit yang ada laparoscopy-nya. Dia lalu memberi tahu Aswan dan Nihrawati, GM Bisnis Radar Bogor, setelah saya sudah siap-siap masuk kamar operasi. Dan mereka semua baru tahu kalau saya dioperasi setelah berada di rumah sakit.

Saya mengira operasi hanya sebentar. Kan cuma membelah sedikit perut bagian bawah. Usus yang terjebak itu diangkat. Dipindahkan ke posisinya yang sesungguhnya. Lalu lubangnya dijahit, ditutup. Luka pada bagian perut yang dibedah itu dijahit. Dikasih obat. Dan setelah itu bisa nonton sepakbola antara Timnas Indonesia U23 vs Timnas Thailand pada pukul 19.00. Toh Dokter Wendell bilang biusnya hanya setengah badan.

Sebelum masuk ke ruang operasi ternyata harus transit dulu beberapa saat di satu ruangan. Di situ segala hal yang diperlukan dicek kembali, termasuk mencocokkan identitas saya dengan apa yang tertera di administrasi rumah sakit.

Sudah itu ranjang didorong ke ruang operasi sesungguhnya. Sangat dingin. Tampak tim ‘eksekutor’ berjubah hijau berjejer di sekitar satu meja kecil berukuran panjang. Kira-kira sama panjangnya dengan ranjang perawatan. Para dokter dan para asistennya itu menyambut. Saya lalu dipindahkan ke meja itu. Ternyata itu meja operasi.

Sebelum dibius saya masih bertanya: “Dok, kira-kira saya bisa nonton sepakbola timnas Indonesia melawan Timnas Thailand pukul 19.00 nanti?” Seseorang — entah dokter, entah asisten dokter, karena seragamnya sama: hijau– mengatakan, “Pak, liat dokter-dokter sudah siap. Semua peralatan sudah siap. Tidak mungkin Bapak dikeluarkan dari ruang operasi untuk nonton sepakbola.” Saya memang melihat para dokter dan para asistennya sudah sangat siap. Peralatan: ada gunting-gunting, pisau, dll juga tampak sudah siap dalam wadahnya. “Bapak hobi nonton sepakbola ya,” lanjutnya. Setelah itu saya sudah tidak mengetahui apa-apa lagi.

Baru sadar setelah kira-kira empat atau lima jam kemudian. Menjelang pukul 23.00. Ketika sudah berada dalam kamar perawatan. Samar-samar tampak jagoan saya Fauzan dan Nauval berdiri di sisi ranjang bagian kaki. Tampak pula banyak orang lain dalam kamar. Mereka para keluarga di Bogor, para GM dan manager, juga beberapa karyawan. Alhamdulillah.

Rabu siang keesokaan harinya, berita operasi tersebar di media sosial, lengkap dengan foto saya yang masih terbaring di ranjang perawatan. Entah siapa yang menyebarnya. Sontak keluarga kaget. Yang di Ambon, di Ternate, di Makassar, di Bogor. Teman-teman di berbagai kota di Indonesia juga kaget.

Adalah Aidir Amin Daud, “Jangan paksa diri untuk keluar rumah sakit. Bila perlu bed-rest seminggu.” Irjen Kemenkumham yang baru pensiun beberapa bulan lalu itu memang rekan kerja saya 20 tahun yang lalu. Hampir 10 tahun saya menjadi bawahan Aidir. Dia pernah menyebut saya super people.

Staf Khusus Wakil Presiden HM Alwi Hamu juga menelepon. Saya bilang baik-baik saja. Tidak ada masalah. Hanya operasi hernia. Salam saja buat Pak JK. Sahabat-sahabat baik saya dari Bogor dan Sahabat: Harlan Bengardi, Guntur Santoso, Gatut Susanta, Arifin Himawan, Muzakkir Abdullah, Radjab Tampubolon dan banyak yang lain datang menjenguk. Juga teman baik saya Fadli Zon dan sahabat baik Abraham Samad.

Selama hidup saya baru dua kali dirawat-inap di rumah sakit. Pertama waktu masih sekolah di PGA Negeri Ambon. Tahun 1982. Dua hari di rumah sakit, entah mengapa saya kabur. Kedua, ya operasi hernia di EMC Sentul itu.

Hernia banyak jenisnya. Potensi lebih banyak terjadi pada anak-anak. Saya adalah satu dari banyak orang dewasa yang terkena hernia. Dalam istilah medisnya: hernia inguinal. Hernia ini muncul pada selangkangan bagian dalam. Penyebabnya, katanya, akibat sering mengangkat beban berat sehingga terjadi kontraksi dan usus bagian bawah menerobos otot lemah.

Waktu kecil saya memang kerjanya mengangkat yang berat-berat. Memanjat pohon kelapa, pohon kenari. Mungkin saja embrionya sudah sejak itu, dan baru muncul sebagai hernia sesungguhnya setelah dewasa. Februari kemaren adalah puncaknya. Dan operasi adalah cara terbaik untuk mengatasinya. Operasi konvensional. Dibedah kira-kira 11 centimeter, alias tidak menggunakan laparoscopy. Alhamdulillah. Saat ini saya sudah bekerja sepertia biasa. Sudah menyetir sendiri. Sudah bisa olahraga (joging) lagi. Terima kasih Dokter Wendell. (*)