25 radar bogor

Pengadaan Soal Ulangan di Kota Bogor, Kepsek : Sekolah Hanya Wajibnya Bayar

Ilustrasi Siswa SD Ulangan

BOGOR-RADAR BOGOR, Adanya dugaan praktik korupsi melalui biaya pengadaan soal ulangan Rp27.500/siswa, tak ditampik beberapa kepala sekolah di Kota Bogor.

Seperti yang diutarakan Kepala SDN Cimanggu Kecil, Niniek Setiati Pusporining. Menurut dia, biaya sebesar itu lantaran proses pembuatan soal ulangan yang cukup panjang.

Dimulai dari menganalis soal, membuat kisi – kisi yang sesuai, baru dilakukan pengeditan oleh pengawas.

Proses edit pun tidak mudah. Karena meliputi pengecekan tulisan, gambar (jika ada), dan segala kebutuhan lainnya. Setelah seratus persen rampung, baru diserahkan kepada K3S dan pengawas Disdik.

“Kalau orang lain tidak mengerti melihatnya Rp27 ribu banyak banget. Apalagi dikalikan se-Bogor, bener gak? Tapi untuk menciptakan satu eksemplar soal yang dibagikan ke murid. Itu perjalananya panjangnya. Dan semua perjalanan itu tentu saja berbiaya,” ujarnya kepada Radar Bogor.

Namun Niniek mengaku tak tahu detil peruntukan biaya Rp27.500 itu digunakan untuk apa saja. Setahu dia, setelah semua proses pembuatan selesai, soal yang sudah tercetak langsung diberikan ke sekolah yang bersangkutan.

“Yang pasti rincian itu saya tidak tahu. Sekolah hanya wajibnya bayar berapa. Setiap kepala sekolah pasti sama jawabanya,” ucap dia.

Senada juga diungkapkan Kepala SDN Kedung Badak 2, Siti Nurmi. Dia membenarkan bahwa penyusunan dan pembuatan soal dilakukan hanya oleh guru – guru pilihan dari setiap sekolah di setiap kecamatan. Namun biaya pengadaan soal semua dicover oleh dana BOS.

“Setiap siswa tidak dikenakan biaya karena sudah dialokasikan dari BOS. Alokasi dana diperuntukan untuk pengetikan atau pencetakan soal,” akunya.

Tapi, Siti enggan menjabarkan berapa nomimal alokasi dana pengadaan soal. Akan tetapi, kata dia, peran disdik sangat besar sebelum pelaksanaan ulangan. Termasuk memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan soal tersebut.

“Dari kisi – kisi soal sampai menjadi soal dibuat oleh perwakilan guru – guru. Apakah soal yang dibuat oleh guru sudah sesuai belum dengan kaidah nanti dicek oleh pembina,” jelasnya.

Dari penulusuran Radar Bogor, tidak semua sekolah SD di Kota Hujan ”membeli” soal ulangan dari K3S. Misalnya salah satu SD negeri di kecamatan Bogor Barat ini.

Menurut kepala sekolah yang enggan namanya dikorankan itu, dia memilih membuat soal secara mandiri karena berbagai pertimbangan.

Salah satunya harga pembuatan soal ulangan yang dibuat oleh K3S terlalu tinggi.

“Ngapain saya beli yang mahal. Padahal bisa buat sendiri. Dan juga tidak ada untung bagi sekolah,” ucapnya.

Dia menjelaskan anggaran untuk pengadaan soal di sekolahnya hanya Rp17 ribu/siswa atau lebih murah Rp10.500 dari soal ulangan yang dibuat K3S. Itupun sudah ditambah PPN 10 persen.

Jika anggaran pengadaan memiliki kelebihan karena jumlah halaman yang berbeda-beda, maka akan menjadi saldo kas.

“Jadi yang masuk di pos UTS/UAS hanya Rp17 ribu karena untuk kegiatan pengembangan alat tes masuk ke pos yang lain,” imbuhnya.

Pada prinsipnya kata dia, setiap sekolah mampu membuat soal ulangan secara mandiri. Asalkan ada kemauan.

Dia biasanya pada satu hingga dua semester pertama akan menyiapkan guru terlebih dahulu agar bisa menyusun alat tes secara mandiri. Berikutnya baru mengadakan kegiatan secara mandiri.

“Setelah dilakukan ternyata guru-guru kami mampu. Jadi kuncinya asal ada kemauan dan bimbingan,” bilangnya.

Dia menjelaskan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 23 tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan telah jelas menyampaikan bahwa ada tiga kewenangan penilaian.

Yakni: penilaian oleh guru, oleh satuan pendidikan dan oleh pemerintah. Ranah guru, kata dia, berada pada ulangan harian, ulangan tengah semester dan ulangan akhir semester.

Lalu ranah satuan pendidikan yaitu dalam bentuk ujian sekolah yang diperuntukkan kelas enam saja. Terakhir ranah pemerintah yakni dalam bentuk ujian nasional atau ujian sekolah berstandar nasional.

“Jadi UTS, UAS itu adalah kewenangan guru, full tidak darimanapun, baik kepala sekolah, pengawas, K3S atau pemerintah, tidak bisa di intervensi oleh siapapun, harga mati,” tegasnya.

Dia juga menilai, secara teknis penyajian soal UTS atau UAS buatan K3S kurang tepat. Karena tidak sesuai dengan juknis penilaian yang dikeluarkan oleh Kemendikbud. Sebab, pembelajaran Kurikulum 2013 menyaratkan harus tematik maka penilaiannya pun harus dibungkus tema. Bukan parsial seperti yang disajikan dalam soal yang dibuat K3S.

“Ini kemudian berdampak pada dua hal. Guru kesulitan menganalisis dan siswa kesulitan untuk fokus dalam mempersiapkan ulangan karena harus membaca semua tema setiap harinya,” bebernya.

Karena tak mengikuti soal yang dibuat K3S, maka soal penilaian yang dibuat oleh para guru di sekolahnya juga berbeda. Seharusnya, kata dia, sekolah lain pun demikian. Sebab kriteria ketuntasan minimal masing-masing sekolah itu berbeda tidak bisa disamaratakan.

Sebelum melakukan sendiri, dia mengaku sudah meminta izin kepada K3S dan pengawas untuk tidak ikut dalam pengadaan soal. Permintaannya itu diizinkan sebab pengawas tahu bahwa apa yang dia lakukan tidak menyalahi aturan.

“Jadi kepala sekolah berkewajiban untuk membina guru-gurunya agar mampu dan tugas guru mulai dari merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi hingga melakukan penilaian,” pungkasnya. (gal/dka/d)