25 radar bogor

Sepak Bola Harus Bebas dari Politik, Junjung Tinggi Netralitas

BOGOR – RADAR BOGOR, Sepak bola dan politik merupakan dua panggung berbeda. FIFA sebagai organisasi sepak bola dunia tegas melarang masuknya politik di sepak bola. Berdasar itu, munculnya fenomena berbau politik di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung, saat Persib menjamu Arema FC, Senin (18/2) sore WIB, diharapkan tak lagi terjadi. Tentunya diharapkan netralitas tetap dijunjung tinggi di dalam stadion.

Setiap orang, termasuk suporter sebuah klub sepak bola di Indonesia, memang memiliki kebebasan untuk memilih capres-cawapres di pilpres April mendatang. Pilihan itu pun wajib untuk dihormati. Namun, ketika sudah masuk ke stadion dan mengatasnamakan suporter sebuah tim sepak bola, diharapkan untuk bisa menahan diri dan tetap menjunjung tinggi netralitas di stadion saat memberikan dukungan kepada klub kesayangan.

Seperti diberitakan Jabar Ekspres (Jawa Pos Group), teriakan Prabowo kepada Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil oleh suporter dalam laga Persib kontra Arema FC di Stadion Si Jalak Harupat menjadi preseden buruk bagi netralitas dan sportivitas olahraga, khususnya sepak bola.

Terkait hal itu, pengamat sepak bola Sarman El Hakim atau akrab disapa Bang Sarman menilai munculnya fenomena politik bukan kali pertama. Beberapa saat lalu, teriakan Prabowo dan 2019 Ganti Presiden juga muncul di Stadion Gor H Agus Salim Padang. Bang Sarman meminta PSSI untuk lebih aktif menjaga agar hal-hal berbau politik tak lagi muncul di sepak bola.

“Bukan kegagalan, tapi PSSI sebagai pengelola sepak bola Indonesia tidak punya visi memproteksi netralitas sepak bola. Tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat tentang isu yang berkembang. Akhirnya terjadilah seperti itu,” beber Bang Sarman kepada Jabar Ekspres (Jawa Pos Group), Senin (18/2).

Bang Sarman menambahkan, “Sebab, kondisi saat ini, sepak bola tidak hanya digiring ke politik, namun netralitas sepak bola juga sempat digiring ke isu agama, Save Palestine,” sambung Ketua Umum Masyarakat Sepak Bola Indonesia (MSBI) itu.

Menurut Bang Sarman, aksi suporter tersebut menjadi bukti belum profesionalnya bahwa PSSI perlu bekerja keras untuk menjaga netralitas. Pastinya, berusaha agar hal-hal berbau politik tak masuk ranah sepak bola. Pria yang mengaku sudah 11 tahun mempelajari sepak bola di dalam dan luar negeri tersebut menilai kompetisi di Indonesia terbilang aneh. Sebab, hal-hal yang tidak terbayangkan bisa terjadi di lapangan.

“Suporter itu ada koordinatornya. Seharusnya bisa diantisipasi, dicegah. Sebab, utamanya, suporter di mana pun bukan orang sembarangan,” paparnya.

Bang Sarman mengharapkan PSSI bisa memiliki perencanaan yang jelas tentang sepak bola Indonesia. Tentu saja terkait suporter untuk tetap disiplin menjaga netralitas. “Ketika faktor kesengajaan sudah terjadi sekali, saya yakin akan terjadi lagi, nanti. Jika itu terjadi, sepak bola Indonesia sudah jauh dari harapan,” tandasnya.

Sementara itu, pengamat Politik Unpad, Muradi mengatakan dalam euforia pesta demokrasi di Indonesia saat ini semua hal bisa terjadi. Sayangnya, hal tersebut kadang diungkapkan tidak pada tempatnya.

“Jika masalah olahraga dicampur politik, maka penyelenggara bisa kena sanksi. Bahkan, paling keras, jika tim tuan rumah menang, bisa didiskualifikasi,” ungkap Muradi.

Muradi menerangkan, jika memang terbukti ada kesengajaan beberapa pihak harus terlibat untuk menginvestigasi hal tersebut. Salah satunya Bawaslu. “Ini yang akan mengikat, jika terulang, maka manajemen dan panpel bisa disanksi atau denda oleh Bawaslu karena tidak menertibkan suporter. Itu bisa dilaporkan,” urainya.

Menurut Muradi, sanksi bisa bermacam-macam. “Suporter didisiplinkan dengan cara larangan menonton. Paling keras jika terulang ya itu tadi, timnya didiskualifikasi,” sambungnya.

Dia menilai, memang perlu ada edukasi jangka panjang kepada suporter. Dia mencontohkan saat menonton laga kandang Liverpool pada 2015. Meski umumnya suporter berasal dari partai buruh, namun tidak ada teriakan, ejekan atau intimidasi kepada tokoh dari partai konservatif ketika sama-sama menonton di dalam stadion.

“Porsinya jelas, olahraga, netral. Kalau (teriakan, Red) itu terjadi di Persib, seharusnya ada niatan baik dari manajemen PT PBB (Persib Bandung Bermartabat) untuk meluruskan itu agar tidak terjadi dinamika politik berkepanjangan,” pungkasnya.