25 radar bogor

Kasus Kekerasan Anak Masih Terjadi, Kota Bogor Dinilai Belum Layak Anak

Ilustrasi Kekerasan Terhadap Anak

BOGOR-RADAR BOGOR, Kota Bogor telah mendapatkan predikat sebagai Kota Layak Anak. Namun, predikat itu dipertanyakan sebagian pihak usai dibeberkannya jumlah kasus kekerasan anak selama tiga tahun belakangan ini. Keraguan muncul lantaran Pemerintah dinilai hanya fokus pada fasilitas dan ruang terbuka untuk anak saja tanpa memperhatikan aspek lainnya.

Psikiater dan Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Tedi Hidayat mengaku, selama ini dirinya belum melihat ada kota yang sudah layak anak di Indonesia. Sebab Kota di Indonesia belum ada yang memperhatikan perkembangan kepribadian anak sejak kecil, perkembangan moral, spiritual, perasaan, emosi.

Jikapun ada, lanjut dia, kota yang dinobatkan sebagai kota layak anak, dia menilai karena fasilitas-fasilitas untuk anak-anaknya saja. “Kalaupun Bogor mau dikatakan kota layak anak, barangkali baru sekadar fasilitas-fasilitas umum untuk anak-anak, belum masuk pada substansi yang anaknya sendiri,” jelas dia.

Terkait kasus kekerasan anak yang terjadi di Kota Bogor, dia mengakui angkanya memang masih cukup tinggi bukan hanya di Kota Bogor saja, bahkan di Indonesia.

Terkait itu, Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bogor tidak mengelak jika kekerasan anak di Kota Bogor banyak terjadi di lingkungan sekolah.

Sekretaris Disdik Kota Bogor, Jana Sugiana mengakui kekerasan pada anak sebagian ada di lingkungan sekolah, namun persentasenya tidak sampai mencapai angka 40 persen.

“40 persen belum ada datanya. Memang ada sebagian di lingkungan sekolah. Tapi di sekolah-sekolah yang tertentu, tidak di semua sekolah yang memang pembinaan karakternya masih kurang,” ujarnya kepada Radar Bogor.

Menurutnya, Disdik sudah berupaya untuk memberikan pembelajaran sesuai dengan kurikulum dan pendidikan berkarakter.

Kendati begitu, pihaknya akan memberikan pelatihan kepada guru-guru untuk melaksanakan sekolah ramah anak. “Nanti Disdik akan meminta datanya, lalu sekarang sudah diwajibkan anak-anak yang inklusif itu belajar di sekolah umum atau formal,” katanya.

Sementara itu, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Bogor melihat adanya perbedaan data yang dimiliki mereka dengan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAI) Kota Bogor.

P2TP2A mencatat di tahun kasus kekerasan dan pelecehan seksual kepada anak di tahun 2016 sebanyak 37 kasus, 2017 sebanyak 39 kasus dan 2018 sebanyak 37 kasus. Sementara di 2019 sebanyak 4 kasus.

Konselor P2TP2A Kota Bogor Wiwit Liftiani menerangkan bahwa perbedaan data itu karena pelapor yang melapor ke KPAID Kota Bogor belum tentu melaporkan juga ke P2TP2A. Sehingga merupakan hal yang biasa.

Kendati demikian, KPAID Kota Bogor dengan P2TP2A tetap bersinergis. Bahkan jika membutuhkan pendampingan atas suatu kasus maka akan saling melengkapi.

“Tidak semua kasus, hanya kasus tertentu yang butuh penanganan tertentu, biasanya bentuknya rujukan,” ujarnya, kemarin (14/2).

Terkait kasus kekerasan kepada anak yang cukup tinggi, kata Wiwit, memang dilatarbelakangi banyak faktor. Namun berdasarkan pengalamannya, hal itu harus berawal dari keluarga. Sehingga perlu edukasi yang baik untuk menekan angka kasus pada anak. “Bisa dari internal keluarga inti, keluarga dekat bahkan juga pihak luar, sangat beragam,” terangnya.

Wiwit menerangkan, pendampingan, perhatian dan perlindungan keluarga terhadap anak menjadi faktor utama untuk menekan angka kekerasan. Orang tua yang teredukasi juga masuk di dalamnya. “Kita juga punya program P2TP2A goes to school, kalau ini target sasaran kita untuk anaknya yang sudah cukup lama juga kita lakukan,” katanya.

Dari beragam kasus tersebut, P2TP2A juga terus melakukan pendampingan terhadap anak. Karena itu di tahun 2018 dari 109 kasus yang masuk, 40 diantaranya masih berjalan. Sementara di Januari 2019 ini dari 12 kasus empat diantaranya masih berjalan.

“Masih berjalan itu artinya masih dalam penanganan P2TP2A, biasanya penyebabnya seperti bila masuk ranah hukum masih berjalan kasus hukumnya atau kalau masalah psikis masih kita lakukan pendampingan dan terapi nya masih berjalan, atau yang lain,” bebernya.(gal/rp3/c)