25 radar bogor

Penjelasan Pengamat Pajak Soal Janji Prabowo Tax Ratio 16 Persen

JAKARTA-RADAR BOGOR, Pasangan Calon Presiden nomor urut 02 Prabowo – Sandiaga Uno berjanji akan mengembalikan tax ratio kembali menjadi 16 persen. Pernyataan tersebut disampaikan dalam debat Presiden pertama, Kamis (17/1) malam.

Pengamat pajak Yustinus Prastowo mengatakan, pajak merupakan nadi pembangunan karena berkontribusi 74 persen terhadap pendapatan negara. Pajak juga penting karena selain menjadi sumber penerimaan, juga menjadi alat demokratisasi dan instrumen kebijakan fiskal yang efektif.

Yustinus menjelaskan, Tax Ratio adalah perbandingan antara penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto. Nisbah ini yang sering dipakai untuk mengukur kinerja pemungutan pajak. Meski demikian, tax ratio bukanlah satu-satunya alat ukur bagi kinerja institusi pemungut pajak lantaran ada beberapa faktor dan kondisi yang perlu diperiksa dan dibandingkan.

“Misalnya, besaran insentif pajak, besarnya sektor informal (underground economy), insentif untuk menghindari pajak, kehandalan sistem, tingkat kepatuhan pajak, dll,” imbuhnya.

Tax Ratio Indonesia 2017 sebesar 8,47 persen dalam arti sempit, penerimaan pajak yang dikelola Ditjen Pajak saja dan 10,58 persen dikelola termasuk bea cukai dan PNBP SDA. Dalam arti sempit, berturut-turut tax ratio kita 9,70 persen (2012), 9,65 persen (2013), 9,32 persen (2014), 9,19 persen (2015), dan 8,91 persen (2016). Pada 2005 tax ratio 10,76 persen, 2001 sebesar 9,63 persen.

Pelacakan dari Nota Keuangan dan APBN (Kemenkeu), diperoleh informasi bahwa tax ratio 1990-1998 berturut-turut 6,19 persen (1990), 6,72 persen (1991), 7,31 persen (1992), 7,30 persen (1993), 7,68 persen (1994), 8,20 persen (1995), 7,86 persen (1996), 8,03 persen (1997), dan 6,05 persen (1998). Ditarik mundur ke belakang, tax ratio kita 7,33 persen (1972), 6,70 persen (1980), 5,25 persen (1984).

Yustinus menyimpulkan, tax ratio kita perlu ditingkatkan, benar belaka. Dan inilah yang ingin dicapai melalui reformasi perpajakan. Data menunjukkan, era Orde Baru (kurun 1990-1998) dan sebelumnya, tax ratio kita tidak pernah lebih tinggi daripada tax ratio selama era Reformasi, bahkan lebih rendah dibanding tax ratio 2017.

“Ingin mencapai 16 persen tentu sah dan baik, tapi tanpa peta jalan dan strategi yang tepat, justru berpotensi menciptakan ketidakadilan baru,” tandasnya.

Menurutnya, diskursus kebijakan pajak akan produktif jika diletakkan dalam konteks bahwa, siapapun rezim yang berkuasa tak sepenuhnya dapat mengontrol corak dan arah kebijakan karena sistem dan kelembagaan pajak sudah cukup matang dan mapan.

“Reformasi Pajak secara teknokratik dan politik lebih sebagai sebuah continum, sejak 1983, 1994, 2000-2001, 2007-2009, hingga 2016-2018,” ucapnya.

Tax Ratio, kata Yustinus, juga bukan satu-satunya ukuran bagi sebuah sistem perpajakan yang baik karena pajak adalah dialektika hak dan kewajiban negara terhadap warga negara, yang mengandaikan komitmen bersama.

“Uang pajak yang besar harus diikuti redistribusi yang baik sehingga berdampak bagi kemakmuran masyarakat, termasuk menjadikan penurunan kemiskinan dan ketimpangan sebagai keberhasilan sebuah sistem perpajakan,” imbuhnya.

Lugasnya, Yustinus menambahkan, agenda membangun sistem perpajakan yang kokoh, mantap, dan berkeadilan menjadi panggilan bagi semua kontestan. Maka politik anggaran di APBN misalnya, akan menjadi cermin yang baik.

“Di sektor perpajakan, Pemerintahan Jokowi jelas melanjutkan corak dan orientasi fiskal Pemerintahan SBY, dan kini mengawali penyusunan paradigma baru politik APBN yang lebih sehat, adil, dan mandiri,” tegas Yustinus.

Lebih jauh, Yustinus menambahkan, proses reformasi perpajakan yang sekarang dilakukan juga sebagian besar disumbang dan dikerjakan para teknokrat dan birokrat, lintas-rezim dan melampaui silang sengkarut politik. Perubahan UU Perpajakan agar lebih berkeadilan dan selaras dengan dinamika ekonomi politik kontemporer harus terus dilanjutkan. Pengembangan ‘core tax system’ yang akan jadi pilar adminsitrasi baru yang handal, juga harus dituntaskan.

“Salah satu pencapaian penting era ini, dan telah dirintis secara terus-menerus sejak era sebelumnya, adalah UU No. 9/2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, yang menjadi penanda era baru perpajakan yang lebih transparan dan akuntabel. Ini medan kontestasi sesungguhnya. Para kontestan diuji bukan atas apa yang bisa mudah diucapkan tetapi atas apa yang akan dikerjakan, misalnya komitmen pada Single ID dan law enforcement yang kredibel,” jelasnya.

Yustinus menambahkan, kekurangan era Jokowi adalah kurang dapat memanfaatkan momentum kepercayaan publik yang tinggi pasca amnesti pajak untuk mengakselerasi reformasi pajak agar tuntas sebagai proyek politik nasional, sehingga ke depan kita lebih ringan dalam melangkah.

“Sejarah dunia mencatat, baik kekuasaan yang memeras maupun yang sama sekali tak memungut pajak, akan runtuh ditelan zaman. Kita meyakini pajak sebagai perwujudan spirit gotong royong khas Indonesia. Tak ada gunanya berbuih busa saling menuding dan menyalahkan, karena yang dibutuhkan adalah otokritik dan sinergi,” pungkasnya.

Editor : Saugi Riyandi
Reporter : Romys Binekasri