25 radar bogor

Peneliti Asal Kota Bogor Temukan Alat Deteksi DBD

Irvan Faizal menunjukan alat deteksi DBD yang berhasil mereka temukan.

BOGOR-RADAR BOGOR, Salah seorang warga Kota Bogor, Irvan Faizal bersama timnya berhasil menemukan alat deteksi peyakit deman berdarah dengue (DBD). Irvan Faizal yang dipercaya sebagai ketua tim peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menciptakan sebuah alat yang bisa mendeteksi penyakit mematikan itu lebih awal.

Pria kelahiran Tajur, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor ini adalah molecular biotechnologist BPPT. Peneliti lulusan universitas di Herosima, Jepang ini bersama timnya sukses membuat alat deteksi DBD yang sangat inovatif dengan harga terjangkau.

Sepintas alat ini mirip test pack. Demikian juga cara kerjanya. Bedanya test pack menggunakan urine sebagai media. Sedangkan alat yang diberi nama kit diagnostik DBD ini spesimennya darah.

Cara pengujiannya sangat mudah. Pasien diambil darahnya kemudian teteskan ke alat deteksi dalam posisi datar. “Alat ini saya temukan bersama tim dan kebetulan saya ketua timnya,” ujarnya.

“Alat ini harus diletakkan mendatar agar darah mengalir pelan. Kalau alatnya berdiri, darahnya cepat mengalir sehingga mengurangi keakuratan deteksi,” kata Irvan saat ditemui wartawan dalam pamaren rapat kerja nasional (Rakernas) Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang belum lama ini.

Untuk mengetahui apakah pasien positif DBD, bisa dilihat dari garis merah yang muncul pada alat deteksi. Bila alat menunjukkan dua garis merah, tandanya positif DBD. Sedangkan satu garis merah tandanya negatif.

Yang menarik dari alat ini adalah, deteksi DBD bisa diketahui lima jam pascadigigit nyamuk. Namun, bagi yang tidak tahu bila kena gigitan nyamuk Aedes Aegypti, diagnosis bisa dilakukan saat penderita mengalami demam. Tidak perlu menunggu demam di atas tiga hari tapi sehari panas langsung bisa dideteksi.

“Jadi alat ini lebih efektif dipakai sehari atau dua hari demam. Kalau demam tidak turun-turun meski sudah minum obat penurun panas, langsung pakai alatnya,” ucapnya.

Menurut Irvan, alat ini sengaja dibuat untuk mendeteksi DBD sejak dini. Sebab banyak masyarakat yang terlambat menyadari bila kena DBD. Mereka datang di masa kritis, karena deteksi DBD yang digunakan dunia kedokteran, bisa terlihat setelah demam lebih dari tiga hari.

Deteksi di atas tiga hari, lanjut Irvan, terlalu lama. Padahal sehari demam, bisa diketahui apakah pasien positif DBD atau tidak.

Irvan mengklaim, alat deteksi DBD temuannya, memiliki tingkat keakuratan 98 persen. Lantaran menggunakan virus-virus nyamuk Aedes aegypti di seluruh Indonesia.

“Virus nyamuk dari Sabang sampai Merauke ini diambil kemudian dibuat anti DNA. Setelah itu dimasukkan ke dalam mikroba yang menghasilkan anti DNA,” tuturnya.

Butuh tiga tahun bagi Irvan untuk menciptakan Kit Diagnostik DBD. Selain membuat alat deteksi DBD (antigen), Irvan juga berhasil meneliti antibodi untuk penderita DBD yang diberi nama IgG/IgM. Alat ini digunakan setelah pasien mengalami lima hari demam.

Dia menceritakan, latar belakangnya menciptakan alat tersebut karena prihatin melihat wabah DBD di Indonesia masih sangat tinggi. Pada 2017, pasien yang meninggal 126 orang meninggal dunia dari total 12.600 penderita.

Angka kematian ini bisa dikurangi dengan penerapan deteksi dini dan penanganan tepat. Uji laboratorium digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi DBD.

Irvan menjelaskan, uji-uji tersebut dilakukan dengan melakukan isolasi virus dalam kultur sel, identifikasi asam nukleat atau antigen serta deteksi antibodi spesifik terhadap virus. Oleh sebab itu deteksi dengue yang spesifik tapi murah sangat dibutuhkan.

“Kit Diagnostik DBD berbasis teknik imunokromatografi dengan menggunakan anti-NS1 mAb (antibodi monoklonal) bisa mendeteksi dalam waktu dua sampai 10 menit. Harganya pun murah tidak sampai Rp 50 ribu,” ucapnya.

Rencananya alat ini akan dipasarkan lewat Kimia Farma pada April mendatang. Masyarakat bisa membelinya dengan harga terjangkau sehingga bisa menghemat biaya pengobatan ke dokter yang mencapai jutaan rupiah.

“Sebagai peneliti akan sangat membanggakan bila hasil penelitian kami bisa membantu masyarakat. Sebenarnya di luar negeri, alat deteksi serupa ini juga ada cuma tidak seakurat temuan kami karena kami menggunakan bahan baku lokal,” tutupnya.(pin/esy/jpnn)