25 radar bogor

Layanan BPJS Kesehatan 8 Rumah Sakit di Bogor Dihentikan, Ini Penyebabnya

Ilustrasi Pasien BPJS.

BOGOR –  RADAR BOGOR, Mengawali tahun 2019, kabar tidak mengenakan datang dari Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Asuransi kesehatan milik negara itu menghentikan layanannya di delapan rumah sakit (RS)  Bogor. Penghentian layanan tehitung mulai dilaksanakan pada 1 Januari 2019. Keputusan itu cukup kontras mengingat mulai tahun ini semua orang wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Delapan RS di Bogor yang menghentikan layananan BPJS-nya antara lain, RS Citama, RS Bina Husada, RSIA Annida, RS dr. Sismadi, RSIA Permata Pertiwi, dan RS Asysyifaa. Enam rumah sakit ini berada di Kabupaten Bogor. Sedangkan dua rumah sakit lagi, yakni RSIA Bunda Suryatni dan RSIA Sawojajar berada di Kota Bogor.

Berdasarkan Perpres Nomor 82 Tahun 2018, pendaftaran peserta mandiri ke BPJS Kesehatan paling lambat per 1 Januari 2019. Lalu mengapa BPJS justru menghentikan kerja sama dengan delapan RS Bogor ? Ternyata, alasan utamanya yaitu soal akreditasi.  Rumah sakit ini belum memiliki sertifikat akreditasi.

Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, RS harus memenuhi syarat akreditasi jika ingin bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 99 Tahun 2015 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.

“Artinya tahun 2019, syarat terkait akreditasi menjadi mutlak harus dipenuhi apabila bekerja sama dengan BPJS kesehatan,”  ujar Iqbal.

Dengan begitu RS yang belum mengantongi sertifikasi akreditasi harus segera mengurusnya. Akreditasi itu bukan berdasarkan atau tidak dipengaruhi oleh tipe RS seperti tipe A, B, dan C.

“(Tipe RS) tidak terpengaruh sebenarnya. Di Permenkes 71 Tahun 2013 dulu disyaratkan wajib setelah tiga tahun. Tapi, kemudian direvisi menjadi lima tahun pada Permenkes 99 Tahun 2015, jatuhnya di 2019,” tegas Iqbal.

Maka seharusnya, kata Iqbal, waktu lima tahun cukup bagi RS untuk mendapatkan sertifikasi akreditasi. Tujuannya, sertifikasi akreditasi menjadi indikator jaminan pelayanan pada pasien.

“Ini soal standar layanan kesehatan, yang berhubungan dengan keamanan pasien. Bukan sebab lain. Waktu lima tahun itu cukup lama,” jelasnya.

Iqbal menjelaskan untuk menyeleksi fasilitas kesehatan yang ingin bermitra dengan BPJS antara lain sumber daya manusia (tenaga medis yang kompeten), kelengkapan sarana, dan prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan. Makanya adanya akreditasi merupakan cerminan dari kriteria tersebut.

Dalam melakukan seleksinya, BPJS Kesehatan melibatkan dinas kesehatan kabupaten/kota setempat dan asosiasi fasilitas kesehatan. ”Dengan demikian rumah sakit yang dikontrak BPJS Kesehatan harus sudah terakreditasi untuk menjamin pelayanan kesehatan yang bermutu untuk masyarakat, kecuali ada ketentuan lain,” jelas Iqbal.

Dia juga mengingatkan agar fasilitas kesehatan swasta yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib memperbaharui kontraknya setiap tahun. ”Namun pada dasarnya kontrak sifatnya sukarela. Hakekat dari kontrak adalah semangat mutual benefit,” ucapnya.

Dalam proses memperbarui kontrak kerja sama, dilakukan rekredensialing atau peninjauan dan penyimpanan data-data fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) berkaitan dengan pelayanan profesinya. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan benefit yang diterima peserta berjalan dengan baik sesuai kontrak selama ini.

Dalam proses ini juga mempertimbangkan pendapat dinas kesehatan setempat. Baik BPJS Kesehatan maupun dinas kesehatan memastikan bahwa pemutusan kontrak tidak mengganggu pelayanan kepada masyarakat. ”Kami lakukan pemetaan analisis kebutuhan faskes di suatu daerah,” bebernya.

Iqbal menambahkan, adanya anggapan bahwa penghentian kontrak kerjasama dikaitkan dengan kondisi defisit BPJS Kesehatan adalah informasi yang tidak benar. ”Sampai saat ini pembayaran oleh  BPJS Kesehatan tetap berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” imbuhnya. (lyn/fik/d)