25 radar bogor

Saatnya Mencari Terobosan Pasar Alternatif

Sawit adalah salah satu komoditas andalan untuk ekspor.

JAKARTA-RADAR BOGOR, Harga komoditas yang menurun masih menjadi masalah kita saat ini. November lalu ekspor ke India turun paling tajam. Disusul penurunan ekspor ke Swiss dan Tiongkok.

Untuk India, itu berkaitan dengan produk ekspor andalan kita, yakni batu bara dan kelapa sawit.

India itu kan importer minyak kelapa sawit terbesar kita. Satu, ini ada pengaruh dari faktor kebijakan impor minyak kelapa sawit yang diterapkan pemerintah India. Yang kedua, ada faktor jatuhnya harga komoditas ekspor kita.

Prediksi saya, tahun depan harga sawit kita lebih rendah. Batu bara juga saya prediksi turun, walaupun pelan-pelan. Hanya, bagaimana kita mencari terobosan di pasar-pasar alternatif. Memang kalau dilihat, selain India, kecenderungan pasar ekspor sawit kita ke Eropa itu kan terus menurun. Maka, kita harus mencari alternatif lain. Sebab, untuk sawit, kita termasuk yang punya daya saing paling bagus di dunia. Sebetulnya, kalau kita lebih giat mencari konektivitas dengan negara-negara tujuan ekspor yang nontradisional, itu bisa saja meningkatkan ekspor. Walaupun, harga komoditasnya diprediksi akan sedikit menurun tahun depan.

Selain itu, peluang kita untuk maju itu ada, sepanjang kita bisa memanfaatkan perang dagang yang terjadi sekarang ini. Sejauh ini saya melihat gelagat investasi di sektor manufaktur yang tadinya banyak berkumpul di Tiongkok sudah mulai menyebar ke negara-negara di luar Tiongkok. Termasuk ke Asia Tenggara. Tapi, yang lebih banyak memanfaatkan, yang banyak dapat “durian runtuh” itu malah Vietnam. Kenapa? Ya karena Vietnam lebih dekat (dari Tiongkok), biaya produksinya lebih efisien, tenaga kerjanya lebih murah, dan sebagainya.

Di luar itu juga banyak investasi yang lari ke Thailand dan Malaysia. Di Indonesia kan investasi yang baru mau masuk itu Pegatron, ke Batam. Pabrik manufaktur untuk perangkat ponsel. Itu bagus. Kalau hal-hal seperti itu bisa kita dapatkan lebih banyak, kita akan mendapatkan manfaat dari trade war ini. Jadi, tidak melulu dampak negatif. Sehingga, ekspor hasil manufaktur kita bisa meningkat dan bisa menolong defisit transaksi berjalan.

Tetapi, ini kan tidak mudah juga. Sebab, kita masih harus bersaing dengan Vietnam, Thailand, dan negara-negara lain. Kalau investasi yang lari tersebut lebih banyak diambil Vietnam, otomatis ekspor hasil manufaktur kita tidak akan banyak tumbuhnya. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan-kebijakan terobosan. Dan yang jelas, hal-hal yang menjadi keluhan investor harus benar-benar menjadi concern pemerintah. Yang paling utama adalah konsistensi kebijakan di industri manufaktur. Sebab, seperti yang saya bilang, kita ini kalah bersaing dari sisi investasi di sektor manufaktur. Kalau investasi di sektor jasa, kita sudah tumbuh lebih tinggi sekarang. Di manufaktur, kita masih lemah. Padahal, manufaktur itulah yang bisa mendorong kinerja ekspor kita.

Kecenderungannya, setiap pilpres, seperti pada 2009, 2014, investasi kita itu tumbuh melambat. Tahun 2019, India dan Indonesia masih akan dipengaruhi faktor wait and see dari calon investor. India kan juga mau ada election.

Sekarang bergantung bagaimana cara kita meminimalkan faktor politik tersebut. Sepanjang penyelenggaraan election itu aman, akan lebih ada kepastian dari pemerintah untuk aktivitas ekonomi. Kita harus bisa mencontoh Thailand. Walaupun politiknya gonjang-ganjing, industri pariwisatanya jalan terus. Bisnisnya jalan terus. Jadi, ini tentang bagaimana kita bisa membuat situasi seperti itu. Bahwa apa pun yang terjadi dengan politik tidak berpengaruh buruk ke iklim investasi. Itulah yang perlu diupayakan pemerintah.

*) Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia

(rin/c10/oni)