25 radar bogor

Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Masih Terjadi di Kota Bogor, KPAI : Ada 1.885 Kasus

Ilustrasi Perundungan
Ilustrasi Siswa SD di Cileungsi jadi korban perundungan

BOGOR-RADAR BOGOR, Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, masih kerap terjadi bahkan di Kota Bogor. Masalah tersebut menjadi perhatian berbagai pihak terutama pemerintah pusat maupun daerah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, tahun ini ada 1.885 kasus pengaduan kekerasan terhadap anak. Angka yang cukup mengkhawatirkan ini membuat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) terus berupaya menurunkan angka kekerasan tersebut.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perlindungan Perempuan dan Anak (DPMPPA) Kota Bogor, Artiana Yanar Anggraini mengatakan, sejak 2016 KPPPA mengenalkan program terobosan dalam upaya mengakhiri kekerasan pada anak dan perempuan.

Program tersebut, kata dia, diberi nama Three Ends yakni akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan manusia dan akhiri kesenjangan ekonomi bagi perempuan.

Menurutnya, program tersebut merangkul semua elemen dan bertujuan untuk mengatasi masalah yang setiap tahun angkanya kian mengkhawatirkan.

“Sesuai namanya, Three Ends ada sebagai upaya solutif untuk mengakhiri tiga masalah yang selama ini seolah jadi pekerjaan rumah bersama yang belum terselesaikan,” ujarnya saat menghadiri Diskusi Tematik di Bogor Valley Hotel, Kamis (06/12)

Tak hanya KPPPA, kata dia, Pemkot Bogor juga terus berupaya untuk mencegah, mengurangi bahkan menghilangkan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Bogor.

Upaya tersebut dilakukan dengan melakukan penguatan jaringan dan sinergitas kelembagaan yang di dalamnya ada DPMPPA Kota Bogor, P2TP2A Kota Bogor dan pihak kepolisian.

Tak ayal, jika terjadi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Bogor bisa langsung ditangani dengan cepat. “Jumlah kasusnya tidak terlalu banyak karena kami selalu sosialisasi ke masyarakat agar segera melapor jika teridentifikasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sehingga bisa langsung ditangani,” imbuhnya.

Anna menyebutkan, kekerasan pada anak terbagi dalam enam kategori kekerasan. Sebut saja, kata dia, kekerasan fisik seperti menampar, menginjak kaki, meludahi, memalak, dan lainnya.      Kekerasan secara psikis berupa memandang dengan sinis, mendiamkan, mengucilkan, meneror lewat sms, telepon atau email, memelototi dan lainnya.

Selain itu, ada pula kekerasan verbal yakni memaki, menghina, meneriaki, mempermalukan depan umum, memfitnah, menebar gosip dan masih banyak lagi lainnya.

Lebih lanjut Anna menerangkan, kategori keempat yakni kekerasan simbolik berupa gambar-gambar yang menyimbolkan kekerasan, gambar-gambar pornografi, gambar-gambar diskriminasi.     Kelima, kekerasan seksual. “Terakhir kekerasan cyber yaitu mempermalukan, merendahkan, menyebarkan gosip di jejaring sosial internet,” ungkapnya.

Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bogor, Ade Sarip Hidayat mengatakan, dalam hal menangani masalah kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak dibutuhkan gerakan semesta yang memungkinkan tercapainya kesepahaman semua pihak dan saling bergandengan tangan.

Mulai orang tua (keluarga), guru (sekolah), pemerintah pusat dan daerah, media massa dan juga masyarakat media sosial (netizen). Agar kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di negeri ini bisa dikurangi, dicegah dan diakhir.

“Kenapa harus ada satu pemahaman karena sering kali jika terjadi banyak kasus kekerasan akan disimpulkan pemerintah tidak peduli dengan perlindungan perempuan dan anak. Sementara jika angka kekerasannya sedikit pemerintah dianggap tidak berhasil karena dirasa tidak mewakili keadaan sebenarnya,” paparnya.

Di tempat berbeda, Sosiolog Nia Elvina menilai, persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak bermuara dari ranah struktural.

Dengan kata lain, kata dia, common will atau good will dari pemerintah masih sangat lemah. Ia meyakini, jika saja pemerintah menunjukan tekad yang kuat untuk memberikan perhatian terhadap anak dan perempuan, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak akan meningkat.

“Misalnya ekonomi kerakyatan diperkuat, sehingga kelas menengah semakin meluas, dan orang tua akan semakin terdidik dan semakin punya banyak waktu untuk memperhatikan atau lebih tepatnya mendidik anak mereka dengan afeksi yang kuat,” ujarnya. (rp2/c)