BOGOR–RADAR BOGOR,Pembangunan di Kota Bogor berjalan lambat. Buktinya, realisasi anggaran berdasar SPJ-Fungsional Belanja Kota Bogor hingga Oktober baru mencapai 54,80 persen.
Artinya, dari pagu Rp2,6 triliun baru terserap Rp1,4 triliun. Angka tersebut, didapati setelah proses anggaran perubahan. Bagian Administrasi Pembangunan dan Pengadaan Barang dan Jasa (Kabag Adbang PBJ) Pemkot Bogor mencatat, dari 49 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kota Bogor, realisasi terendah Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR).
Sebab dari pagu anggaran Rp276.947.117.120 baru Rp101.875.516.271 yang terealisasi. Artinya, serapan baru mencapai 36,79 persen.
”Kalau Dinas PUPR itu rendah karena beberapa pekerjaan belum 100 persen dan belum dibayarkan terminnya, kalau semua sudah selesai pasti langsung tinggi serapannya,” kilah Kepala Bagian Administrasi Pembangunan dan Pengadaan Barang dan Jasa (Kabag Adbang PBJ) Rahmat Hidayat kepada Radar Bogor, kemarin (15/11).
Realisasi tertinggi, kata Rahmat, ada pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) yakni 78,95 persen. Dari pagu Rp11,4 miliar sudah terealisasi sebesar Rp9 miliar.
”Kalau untuk progres fisik tingkat kota hingga Oktober mencapai 64,28 persen, memang biasanya lebih tinggi progres fisik daripada serapan,” ungkapnya.
Rahmat memaparkan, rekapitulasi paket pekerjaan di bagian pengadaan barang dan jasa tahun 2018 pagunya mencapai Rp189 miliar dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Rp150 miliar dan nilai kontrak Rp84 miliar.
Angka tersebut terdiri dari 161 paket yang dilelangkan. Namun, empat di antaranya masih dalam proses pelelangan.
”Empat proses lelang yakni pengadaan mobil patwal, pengadaan mobil pikap sedot tinja, pengadaan mobil tangga hidrolik ketinggian minimal 8 meter serta pemeliharaan berkala Jalan Ksatrian Brimob KS Tubun,” katanya.
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Yusfitriadi menilai, momentum politik pada Pilkada 2018 mengganggu kinerja pemerintah daerah. Sebab, tahapannya yang panjang menguras energi dan pikiran stakeholder.
Kedua, lemahnya kontrol DPRD. Seharusnya, kata dia, dewan ikut mengawasinya bahkan menanyakan progresnya. Ketiga, sangat dipengaruhi oleh faktor kinerja SKPD. “Misal, beberapa bulan pimpinan daerah dipegang oleh Plt. sehingga tidak memiliki daya gedor yang tinggi seperti wali kota, kondisi ini diakibatkan oleh pilkada,” terangnya.
Di waktu yang tersisa sekitar sebulan lagi, pria yang juga Direktur Democracy Electoral Empowerment Partnership (DEEP) itu menambahkan, wali kota harus siap menjelaskan dan terbuka kepada publik kenapa SiLPA cukup besar.
Menurutnya, Jangan sampai ada fakta-fakta yang disembunyikan.
“Jelaskan saja program apa yang berjalan dan tidak karena yang dirugikan publik dengan berbagai macam pelayanan yang diakibatkan oleh infrastruktur,” pungkasnya. (gal/c)