25 radar bogor

Miris, Korban Pelecehan Seksual ini Tetap Dipenjara dan Didenda Rp500 Juta

HUKUM:

JAKARTA-RADAR BOGOR, Sudah jatuh, tertimpa tangga. Itulah peribahasa yang tepat untuk Baiq Nuril Maknun. Mahkamah Agung (MA) menghukum Nuril enam bulan penjara dan denda Rp500 juta. Padahal, mantan honorer tata usaha (TU) bagian keuangan SMAN 7 Mataram, NTB, itu merupakan korban pelecehan seksual oleh atasannya.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan banyak kejanggalan dari putusan MA tersebut. Lembaga yang mengadvokasi Nuril sejak awal persidangan itu yakin Nuril hanya korban yang berusaha melindungi diri. “Saya sempat menjadi saksi ahli. Saat itu sempat duduk berdampingan dengan Nuril,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan Nurherwati kemarin (14/11).

Nurherwati mengaku mendapat informasi bahwa langkah Nuril merekam pembicaraan dengan Muslim, atasannya, merupakan upaya pembelaan. Nuril sempat dituduh memiliki hubungan dengan Muslim yang saat itu menjadi kepala SMAN 7. “Hanya ingin menyatakan bahwa Nuril tidak menggoda Muslim,” ucapnya saat ditemui di kantornya kemarin.

Apa yang dilakukan Nuril dengan merekam percakapan dinilai tepat oleh Nurherwati. Sebab, untuk membawa kasus tersebut ke kepolisian, rekaman adalah salah satu alat bukti petunjuk. Pelecehan seksual, menurut dia, adalah tindak pidana yang tidak bisa dibuktikan sekadar melalui visum maupun saksi. “Dia tidak sakit secara fisik. Pelecehan biasanya dilakukan di tempat tertutup,” ujarnya.

Namun, dengan hadirnya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Nuril terjerat. Risiko serupa, lanjut Nurherwati, juga menghantui perempuan lain yang akan berbicara ketika dilecehkan. “Sebelumnya dikatakan ‘direkam kalau ada pelecehan’. Peraturan di Indonesia memang tidak berpihak kepada korban,” ucapnya.

Kejanggalan lain bisa dilihat dari dua fakta hukum berbeda. Pertama, niat Nuril untuk merekam bukan untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak menggoda Muslim. Namun, hakim kasasi justru memutus kasus Nuril dengan fakta perempuan 36 tahun itu menyebarkan atau mentransmisikan rekaman tersebut. “Seharusnya, kalau dengan fakta itu, teman yang memberikan rekaman ke kepala dinas yang harus diseret. Namun, Muslim mungkin sudah dendam dengan Nuril,” ungkapnya.

Nurherwati menegaskan, negara tidak hadir dalam kasus Nuril. Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang masih menjadi polemik di DPR merupakan salah satu contohnya.

“Dalam UU ITE tidak dijelaskan pasti bagaimana posisi korban. Yang dilihat hanya berdasar norma,” ungkapnya. Jika RUU PKS tersebut disahkan, harapannya posisi korban dan bagaimana penanganan korban bisa jelas dilakukan.

Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Situasi Darurat dan Kondisi Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nyimas Aliah juga prihatin atas kasus Nuril. Dia telah berkoordinasi dengan pemda setempat untuk penanganan kasus Nuril.

Sementara itu, Kemenkominfo menegaskan bahwa Nuril tidak melanggar UU ITE sebagaimana yang divoniskan MA pada 9 November lalu. Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo Ferdinandus Setu mengungkapkan bahwa kementeriannya telah mengirimkan tim ahli UU ITE yang dipimpin Teguh Arifiyadi.

Tim tersebut, kata Nando -sapaan akrab Ferdinandus- telah memberikan keterangan ahli di sidang terakhir Nuril. “Dalam keterangan ahli itu, kami sampaikan bahwa Bu Nuril tidak memenuhi kriteria yang ada di pasal 27 ayat (1) UU ITE,” kata Nando kemarin.

Meski demikian, Nando mengaku tidak tahu apa pertimbangan hakim kasasi memutus Nuril bersalah. Menurut dia, bantuan Kemenkominfo sudah mentok, tidak bisa lebih jauh lagi. Sebatas memberikan kesaksian ahli. Kini satu-satunya kesempatan membebaskan Nuril ada dalam sidang peninjauan kembali (PK).

Sementara itu, Juru Bicara MA Suhadi menegaskan bahwa putusan terhadap Nuril sudah final. “Putus pada September lalu,” ucap dia. Meski demikian, instansinya mempersilakan apabila Nuril hendak mengajukan PK.

Pengacara Nuril, Yan Mangandar, mengatakan bahwa kliennya akan mengajukan PK. “Upaya PK sudah pasti kami tempuh.”

Upaya PK, lanjut Yan, tak terlepas dari putusan kasasi yang dikeluarkan hakim MA. Tim penasihat hukum dari BKBH Fakultas Hukum Unram berkeberatan dengan putusan kasasi bersalah terhadap Nuril. “Sambil menyiapkan PK, kami tunggu juga salinan putusan. Nanti (salinan putusan) akan dieksaminasi beberapa dosen hukum yang berkompeten,” ujarnya.

Sementara itu, Baiq Nuril mengatakan kaget dan kecewa atas putusan kasasi. Sebab, sejak awal pihaknya berharap hakim kasasi bisa menjatuhkan putusan serupa dengan hakim PN Mataram, yakni putusan bebas.

Nuril menegaskan, dirinya siap menjalani hukuman. Tetapi, dia meminta JPU untuk menunda rencana eksekusi. Nuril masih membutuhkan waktu untuk memberikan penjelasan kepada anak-anaknya mengenai apa yang menimpanya. Selain itu, dia berharap bisa menuntaskan amanahnya sebagai anggota panitia pemilihan kepala desa.

Sebelumnya, dalam putusan perkara di PN Mataram pada 26 Juli 2017, majelis hakim yang diketuai Albertus Usada membebaskan Nuril. Salah satu pertimbangan hakim adalah tidak adanya unsur pidana dalam proses tersebarnya rekaman pembicaraan Nuril dengan Muslim. Hasil pemeriksaan Tim Digital Forensik Subdit IT Cyber Crime Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri mematahkan tuduhan JPU.

Dalam pemeriksaan, tidak ditemukan data terkait dugaan kesengajaan dan tanpa hak dari Nuril dalam mendistribusikan informasi bermuatan asusila. Sebaliknya, yang mendistribusikan rekaman tersebut adalah Imam Mudawin, rekan kerja Nuril saat di SMAN 7 Mataram. Dengan pertimbangan itu, hakim menyatakan Nuril tidak bersalah melanggar pasal 27 ayat 1 jo pasal 45 ayat 1 UU ITE.(syn/lyn/jun/tau/tyo/c9/c7/c5/agm)