25 radar bogor

Tak Mampu Bayar Persalinan, Bayi Ibu Asal Tasik Ini Disandera Rumah Sakit

Ilustrasi membakar bayi
Ilustrasi ibu di Madiun membakar bayi.

JAKARTA-RADAR BOGOR,Nasib malang menimpa Inggrid Fernandes, warga Tasikmalaya, Jawa Barat, yang harus mengalami tindakan represif dari RSUD Tarakan, Jakarta Pusat, karena tak mampu membayar biaya persalinan sebesar Rp 5 juta.

Inggrid harus pasrah karena bayinya disandera pihak RSUD Tarakan, dengan disertai ancaman kalau tidak bayar biaya persalinan maka bayinya akan dikirim pihak rumah sakit ke Panti Sosial.

Demikian disampaikan Ketua Nasional Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia), Agung Nugroho melalui keterangan elektroniknya, Senin (12/11).

Agung mengatakan, awalnya Rekan Indonesia menerima laporan dari anggota LMK Kalibata bahwa ada penyanderaan bayi di RSUD Tarakan.

Setelah mendapatkan laporan, Tim Rekan Indonesia kemudian segara melakukan penelusuran dan didapat data bayi yang disandera tersebut.

Selanjutnya, Tim Rekan Indonesia segera berkomunikasi dengan tim Gubernur DKI yang direspons dengan cepat dan langsung mengambil tindakan menyelesaikan masalah yang dialami oleh Inggrid Fernandes.

Menurut Agung, tindakan RSUD Tarakan yang menyandera bayi sudah acap kali dilakukan. Selama bulan Oktober ini saja Rekan Indonesia sudah mendapat dua laporan warga yang bayinya disandera karena tidak mampu membayar biaya persalinan.

“Ironisnya ini terjadi di era kepemimpinan Gubernur DKI, Anies Baswedan yang dalam program-program pemerintahannya selalu mendahulukan kemudahan untuk rakyat,” kata Agung.

Menurut Agung, kasus penyanderaan bayi oleh RSUD ini termasuk tindak pidana selain juga melanggar UU Rumah Sakit.

Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) huruf f UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit, Rumah Sakit sebenarnya memiliki fungsi sosial, yaitu antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulans gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.

Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut bisa berakibat dijatuhkannya sanksi kepada rumah sakit tersebut, termasuk sanksi pencabutan izin.

Selain itu, dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 44/2009, pemerintah dan pemerintah daerah juga bertanggung jawab untuk menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di rumah sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, penyanderaan juga termasuk tindak pidana menahan (merampas kemerdekaan) orang yang diatur dalam Pasal 333 ayat (1) KUHP.

“Kami sangat prihatin sejak RSUD Tarakan dipimpin oleh Dirut yang baru justru malah pelayanan RSUD Tarakan menurun. Dimana pelayanannya tidak ramah lagi dengan warga,” tegas Agung.

Terpisah, Wakil Ketua DPD Partai Gerindra DKI, Ahmad Sulhy mengaku kecewa atas insiden penyanderaan bayi tersebut. Dia meminta kasus tersebut segera dicarikan solusi terbaik.

“Kejadian penahanan bayi tidak boleh terjadi di era Gubernur Anies Baswedan. Selain alasan kemanusiaan juga karena DKI Jakarta sangat mampu menggratiskan warga negara yang karena tidak mampu atau miskin asalkan kondisinya sebenar-benarnya,” ujar Sulhy.

Sulhy juga meminta Dirut RS Tarakan tidak bersikap arogan, karena bayi adalah insan golden age yang harus menerima ASI dan kasih sayang seutuhnya dari ibu kandungnya.

“Saya rasa Dirut RS harus lentur dalam pelayanan kesehatan, kan bisa diurus secara administrasi, misalnya orang tuanya bisa dengan cara mencicil atau gratiskan sama sekali bagi yang tidak mampu,” demikian Sulhy. (lov/rmol)