25 radar bogor

Mengenang Perjuangan Hj Andi Depu, yang Baru Dinobatkan Sebagai Pahlawan Nasional

PAHLAWAN NASIONAL:

JAKARTA-RADAR BOGOR, Perjuangan almarhumah Agung Hj Andi Depu di masa penjajahan Jepang, diganjar gelar Pahlawan Nasional oleh negara melalui Keputusan Presiden RI Nomor 123/TK/2018. Ahli warisnya menerima tanda gelar itu dari Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Kamis (8/11).

Dalam buku “Profil Penerima Gelar Pahlawan Nasional Dalam Rangka Acara Hari Pahlawan Tahun 2018” yang dirangkum Kementerian Sosial RI, dikupas riwayat perjuangan Andi Depu yang merupakan Permaisuri Arajang Balanipa ke-51 dan 52, serta Ketua Swapraja.

Wanita kelahiran Tinambung Poliwali Mandar, 19 Agustus 1908, itu disebutkan aktif di JIB (Jong Islamiten Bond), sebuah organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan. Di mana pada 1940 dia penyokong utama perkumpulan JIB di daerah Mandar, dan mewarnai cara pandang kebangsaan pemuda di daerahnya masa itu.

Enam Tokoh Jadi Pahlawan Nasional, Salah Satunya Kakak Gubernur DKI Jakarta

Untuk menarik simpati rakyat, saat Jepang pertama kali masuk ke Indonesia, pengibaran merah putih diperbolehkan. Hj Andi Depu sebagai tokoh bangsawan memperkenalkan bendera nasional merah putih di wilayah Mandar tahun 1942 pada saat diadakan rapat Raksasa peringatan Hari Sumpah Pemuda di Tinambung.

Pada saat rakyat hanya mengerti bendera kerajaan setempat, Hj Andi Depu menjelaskan kaitannya Merah Putih dengan Sumpah Pemuda.

Jepang kemudian melarang pengibaran bendera kebangsaan RI tersebut karena dikhawatirkan menjadi bibit perlawanan yang membahayakan pendudukan Jepang.

Namun ketika Jepang terdesak oleh sekutu di Pasifik Selatan, Jepang membolehkan kembali pengibaran merah putih untuk menarik dukungan rakyat menghadapi pasukan sekutu.

Saat persediaan makan bagi tentara Jepang menipis, Jepang memaksa rakyat untuk memberi sumbangan berupa hasil panen serta harta benda secara paksa.

“Di sinilah Hj Andi Depu mulai menentang perlakuan Jepang yang sewenang-wenang. Karena besarnya pengaruh Hj Andi Depu, semangat dan kesadaran rakyat semakin meningkat,” dikutip dari buku tersebut.

Pada 1944, Hj Andi Depu mendirikan organisasi Fujinkai, satu wadah gerakan yang melibatkan wanita, sebagai tempat pelatihan dan penggodokan semangat juang wanita Mandar untuk ikut berperan dalam merebut kemerdekaan dari pendudukan militer Jepang.

Wanita yang wafat pada 18 Juni 1985 ini juga ikut mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI yang diproklamirkan Soekarno-Hatta.

Berita itu baru diterimanya 19 Agustus 1945 dan disambut dengan suka cita. Kabar itu kemudian disebar Hj Andi Depu ke seluruh wilayah Mandar dan sejak saat itu banyak bendera merah putih dikibarkan masyarakat Mandar.

Para pemuda dan rakyat secara spontan menyambut proklamasi dan berusaha untuk merebut kekuasaan serta merebut senjata tentara Jepang.

Di beberapa daerah termasuk Mandar, terjadi pertempuran dan bentrokam antara pemuda melawan pasukan Jepang yang telah kalah tapi masih bersenjata lengkap.

Perampasan senjata Jepang terjadi di Matangnga dan Tompotora, Mamuju. Sementara di Pambusuang terjadi peristiwa pembunuhan tentara Jepang yang tidak mau menyerahkan senjatanya.

Setelahnya Hj Andi Depu juga menjadi pemimpin tertinggi berdirinya badan kelaskaran yang diberi nama KRIS MUDA (Kebaktian Rahasia Islam Muda) di Balanipa Mandarpada 21 Agustus 1945.

Organisasi ini merupakan kelanjutan dari Laskar Muda yang berdiri di Campalagian menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia.

Disebutkan juga bahwa untuk pertama kalinya bendera Merah Putih dikibarkan di Tinambung, di depan Istana Kerajaan Balanipa, dengan tiang yang berukuran 9 meter.

Bendera Merah Putih dikibarkan sejak Kamis 19 September 1945 dengan sangat sederhana ranpa iringan lagi Indonesia Raya.

Pengibaran bendera Merah Putiih dilakukan Hj Andi Depu, dihadiri para pimpinan KRIS MUDA Mandar, sejumlah pejuang, serta beberapa komando pasukan dari Pare-pare.

Momen itu dihadiri sekitar 300 orang, sekaligus menjadi bukti sejarah di Mandar, yakni satu-satunya bendera di Sulawesi yang tidak tumbang oleh keganasan Pasukan Westerling.

Sejarah juga mencatat peristiwa Merah Putih di Mandar pada 28 Oktober 1946. Ketika itu sejumlah tentara Belanda dengan kendaraan militer berhenti di depan Istana Raja Balanipa dan memaksa menurunkan bendera Merah Putih di halaman Istana kerajaan itu.

Untungnya sebelum prajurit Belanda menyentuh tiangnya, para pengawal istana dan masyarakat bersenjata keris dan tombak menghalangi sekuat tenaga.

Pengawal istana telah mendapat pesan dari Hj Andi Depu bahwa tidak seorang pun yang dapat menurunkan bendera itu.

Hj Andi Depu yang saat itu baru selesai melaksanakan salat duha beranjak dari tempatnya dan berlari ke tiang bendera sambil mendekapnya sembari berseru.

“Biarlah saya gugur, mayatku terlangkahi baru bendera kau tumbangkan,” serunya. Singkat cerita, merah putih tetap berkibar, sedangkan Belanda meninggalkan tempat itu.

Dalam buku itu juga disebutkan bahwa Hj Andi Depu bersama pimpinan dan anggota laskar Kris Muda berjuang denga cara bergerilya di hutan.

Markas besarnya ketika itu dipindahkan ke Timbu. Demi melawan kaum penjajah, dia rela meninggalkan suami dan istananya demi perjuangan dan cita-citanya.

Pada 10 Maret 1946 di distrik Tapango, tepatnya di Buttu Gamba Salurebong, pengibaran bendera Merah Putih dalam suatu upacara diiringi lagu Indonesia Raya merupakan yang pertama kali di Mandar.

Pada saat itu Hj Andi Depu adalah ketua Swapraja (seperti kabupaten) dan pimpinan tertinggi di Mandar.

Dalam perjuangannya, Hj Andi Depu tertangkap dalam satu pertempuran di Campalagian pada 26 November 1946, setelah kembali dari pertemuan di Barombong, sekitar 6 km dari Makassar.

Dia ditangkap Belanda bersama 16 orang pimpinan dan anggota Laskar Kris Muda, kemudian dibawa dan dijebloskan ke penjara Layang Makassar.

Selama dipenjara, dia 13 kali dipindah dari satu penjara ke penjara lain. Setelah tiga tahun berlalu dia baru dibebaskan, tepatnya 28 Desember 1949 bersamaan dengan pengakuan Belanda atas kedaulatan RIS.

Karena alasan kesehatan pada 1953, bersama keluarganya Hj Andi Depu pindah ke Makassar.

Dia menetap di sana cukup lama, hingga pada 18 Juni 1985 mengembuskan nafas terakhir di RS Pelamonia. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Penaikan Makassar.(fat/jpnn)