25 radar bogor

Lantaran Harga Nasi Ayam di Singapura, Karding Sebut Sandi Mirip Trump

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Abdul Kadir Karding membantah jika harga sepiring nasi ayam di Indonesia mencapai Rp 50 ribu. Dari pengalamannya makanan seperti itu hanya berkisar Rp 20 ribu, bahkan bisa lebih murah. (Dery Ridwansyah/JawaPos.com)

JAKARTA-RADAR BOGOR Pernyataan Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 02, Sandiaga Salahuddin Uno terkait harga makan siang di Singapura lebih mahal daripada di Indonesia masih menjadi perdebatan. Sejumlah pihak menuding statement itu tidak sesuai dengan faktanya.

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Abdul Kadir Karding membantah jika harga sepiring nasi ayam di Indonesia mencapai Rp 50 ribu. Dari pengalamannya, makanan seperti itu hanya berkisar Rp 20 ribu, bahkan bisa lebih murah di beberapa daerah tertentu.

“Saya paham betul harga nasi ayam. Contoh saja di Semarang, nasi ayam komplet itu hanya sekitar Rp 22 ribu, itu termasuk kategori komplet kelas menengah ke atas. Untuk di daerah lebih rendah lagi harganya,” ujar Karding saat dihubungi wartawan, Selasa (9/10).

“Di Jakarta di beberapa titik juga tidak sebesar sampai Rp 50 ribu per piring, kecuali nasi ayam di hotel bisa jadi. Tapi kalau di warung-warung biasa itu saya kira enggak sebesar itu,” imbuhnya.

Mantan Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu lantas meminta Sandi agar tidak sembarangan mengeluarkan pernyataan. Apalagi dengan posisinya saat ini dia sebagai cawapres, menjadi contoh dan pusat perhatian rakyat luas.

“Oleh karena itu dalam menyampaikan data ke publik sebaiknya berhati-hati, sebaiknya informasi diverifikasi secara betul atau sebaiknya lebih teliti,” sambungnya.

Sementara itu Karding melihat bahwa sejak penetapan capres-cawapres, Sandi memang terlihat sering menyampaikan pernyataan yang mengundang banyak perhatian luas.

Menurut Karding, itu sebenarnya tidak melanggar aturan. Namun terkesan meniru cara Donald Trump saat mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika. Dan hal itu disebutnya tidak cocok diterapkan di Indonesia.

“Menurut saya itu baik saja, tapi datanya harus benar kalau nggak benar nanti mirip-mirip strategi Trump waktu mencalonkan menjadi presiden,” pungkasnya.

(ce1/sat/JPC)