25 radar bogor

Narkoba Pengaruhi Gangguan Seksual

SIDANG TERBUKA UI: Bona Simanungkalit saat memberikan pemaparan di Sidang Terbuka Universitas Indonesia untuk menjadi Doktor dalam Ilmu Epidemologi di Ruang Promosi Doktor, Gedung G Lt.1 Kampus FKM UI Depok, Senin (16/7). (AHMAD FACHRY/RADAR DEPOK )
DEPOK – RADAR BOGOR,Selain persoalan fisik, ada banyak bahaya yang mengintai bagi para pengguna narkoba. Salah satunya adalah kadar testosteron yang lebih kecil 43 persen.
Kadar testosteron yang rendah ini berpotensi menimbulkan masalah psikis, sosial hingga kepada gangguan seksual.
Hal tersebut diungkapkan dalam disertasi program Doktoral Epidemologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Bona Simanungkalit yang kemarin sah bergelar doktor dengan nilai memuaskan.
Dalam disertasi yang berjudul Efek Program Rehabilitasi Medis Terhadap Kadar Hormon Testosteron Studi Pada Penyalahgunaan Narkotika Laki-Laki di Balai Besar Rehabilitasi Narkotika Badan Narkotika Nasional Indonesia, Lido-Bogor 2017, mengungkapkan, kadar testosteron yang rendah pada pria, berhubungan dengan berkurangnya fungsi seksual, kekurangan energi, gangguan kualitas hidup dan kepadatan mineral tulang.
“Gangguan fungsi seksual terutama disfungsi ereksi merupakan masalah signifikan dan umum pada laki-laki  pecandu narkoba,” ungkap pria jebolan Internasional Diploma in Healt Services Management, Edith Cowan  University Australia tahun 1999 tersebut.
Menurut Pangkahila 2006, jelas Bona, disfungsi seksual pada laki-laki dapat menimbulkan gangguan atau hambatan dalam hubungan seksual, akibatnya, kehidupan seksual tidak harmonis.
“Salah satu akibat yang mungkin terjadi adalah perceraian. Angka perceraian di Indonesia  beberapa tahun terakhir sangat memprihatinkan,” ungkapnya.
Meningkatnya angka perceraian, berbanding lurus dengan penyalahgunaan narkotika  yang meningkat dari tahun ke tahun, sehingga dapat diprediksi  penurunan kadar testosteron  akan semakin banyak ditemui.
“Pemerintah telah membuat regulasi UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebutkan pengguna dan pecandu narkotika wajib direhabilitasi,” jelasnya.
Namun, dari penelitian yang dilakukan oleh dokter bertugas di Puslitbang Gizi Bogor tersebut, rehabilitasi medis tidak mampu meningkatkan kadar testosteron pada pria penyalahgunaan  narkotika. “Penelitian ini perlu penelitian lanjutan dengan waktu yang lebih lama,” jelasnya.
Ia menyarankan, hasil penelitian ini menjadi bahan membuat kebijakan dan program penanganan narkotika pada pusat rehabilitasi narkotika tanpa substitusi narkotika.
“Rehabilitasi membuat program pada aktivitas fisik atau kegiatan yang menyenangkan sesuai hobi. Misal, olahraga, bermain musik atau melukis,” pungkasnya.(san)