JAKARTA–RADAR BOGOR,Indonesia cukup waswas bila Amerika Serikat (AS) mencabut fasilitas generalized system of preferences (GSP) untuk sejumlah produk ekspor.
Sebab, jika GSP dicabut, neraca dagang RI-AS yang empat tahun terakhir selalu surplus terancam tertekan. Karena itu, pemerintah Indonesia serius melakukan pendekatan persuasif agar AS tidak mencabut fasilitas tersebut.
Menko Perekonomian Darmin Nasution memanggil sejumlah tim ekonomi, termasuk Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Salah satu yang dibahas adalah persiapan pertemuan antara delegasi Indonesia dengan Perwakilan Perdagangan AS atau United State Trade Representative (USTR) di Amerika akhir Juli nanti.
’’Kami bakal duduk bersama USTR membahas fasilitas GSP yang diberikan kepada kita,’’ ungkap Enggar. Menurut dia, pihak AS juga meminta dipastikan bahwa tidak ada hambatan tarif maupun nontarif bagi produk ekspor dari AS ke Indonesia. Itulah salah satu pertimbangan jika fasilitas tarif preferensial GSP bagi Indonesia ingin dipertahankan.
’’Jadi, Indonesia sudah surplus besar. AS tidak mau ada hambatan ekspor mereka ke sini,’’ jelasnya.
Selama ini GSP itulah yang membuat Indonesia menikmati surplus neraca perdagangan hingga USD 14 miliar.
Jika GSP akhirnya dicabut, neraca perdagangan Indonesia berpotensi tertekan. AS sedang mengevaluasi GSP 124 produk ekspor yang meliputi tekstil, kapas, serta beberapa hasil perikanan seperti udang dan kepiting.
Beberapa hal yang menjadi perhatian AS adalah hambatan untuk ekspor produk hortikultura ke Indonesia dan kacang kedelai.
Proses evaluasi kebijakan GSP oleh AS dijadwalkan berlangsung sampai akhir 2018.
Jika review memberikan rekomendasi bahwa Indonesia tidak layak lagi menerima GSP, bea masuk beberapa produk ekspor Indonesia tidak lagi ’’disubsidi’’ alias dikenai tarif normal.
Darmin menuturkan, AS menganggap defisit perdagangan dengan Indonesia makin besar. Selain Indonesia, dalam daftar AS ada Brasil dan Kazakhstan. ’’Kita meyakinkan mereka. Tapi, tentu saja yang putuskan mereka. Kita hanya akan lakukan negosiasi,’’ ujarnya.
Sesuai dengan ketentuan World Trade Organization (WTO), GSP merupakan kebijakan perdagangan sepihak (unilateral) yang umumnya dimiliki negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang. Namun, kebijakan itu tidak bersifat mengikat.(agf/ken/c14/oki)