25 radar bogor

Melihat Kehidupan Kampung Albino atau Sunda Walanda di Garut (2-Habis)

 KORBAN PERUNDUNGAN: Keluarga Isur Suryana. Istri dan dua anaknya normal. (Jawapos)

Anak-anak albino di Kampung Ciburuy, Garut, Jawa Barat, tidak hanya bermasalah dengan penglihatannya. Tetapi juga tertekan oleh perundungan (bullying) dan ejekan teman-temannya di sekolah. Karena itu, anak-anak ’’bule’’ Sunda itu umumnya minderan dan pemalu.

ANISATUL UMAH, Garut

Dewi Resmana, 13, salah seorang anak albino di Kampung Ciburuy, nyaris mogok sekolah. Gara-garanya, siswi kelas II SMP Persada Ciburuy itu sering diejek teman-temannya sebagai anak bule. Dia pun sempat beberapa hari tidak masuk sekolah sebelum guru-gurunya membujuknya untuk kembali bersekolah.

Dewi akhirnya mau bersekolah lagi setelah gurunya menjamin tidak akan ada temannya yang mem-bully lagi.

’’Anak itu (Dewi Resmana, red) memang cenderung pendiam dan kurang bergaul. Mungkin dia minder dengan kondisi kulitnya yang berbeda dengan teman-temannya,’’ terang Indra Tejamukti, guru Dewi, saat ditemui Jawa Pos di SMP Persada beberapa waktu lalu.

Dewi Resmana adalah anak sulung Nana Suryana, juru kunci Kabuyutan Ciburuy (semacam rumah adat di Kampung Ciburuy). Nana memiliki dua anak albino. Selain Dewi, adiknya, Jajang Gunawan, yang masih 2,5 tahun, juga memiliki kelainan genetik itu. Padahal, Nana dan istrinya, Siti Rohmah, normal.

Sebagaimana diberitakan kemarin (12/7), Kampung Ciburuy dikenal sebagai kampung albino atau kampung bule. Orang Garut menyebutnya Sunda Walanda, orang Sunda yang mempunyai warna kulit mirip orang Belanda. Yakni, putih pucat. Albino merupakan kelainan bawaan hipopigmentasi yang dikarakterisasikan oleh kurangnya
pigmen melanin pada mata, kulit, dan rambut.

Di Ciburuy saat ini terdapat sembilan warga albino. Konon, kelainan itu ada sejak zaman nenek moyang mereka berabad lalu. Angka preferensi albino di Ciburuy termasuk tertinggi di Indonesia. Preferensinya 1:178 orang, dengan jumlah penduduk Ciburuy sekitar 1.600 jiwa.

Indra menjelaskan, Dewi Resmana memang satu-satunya siswa albino di sekolah. Mungkin karena merasa berbeda sendiri, dia kemudian menarik diri dari pergaulan.
Dia juga cenderung pendiam.

’’Mungkin karena sering diejek sehingga dia tidak mau bermain dengan teman-temannya,’’ ungkap Indra.

Ibunda Dewi, Siti Rohmah, membenarkan bahwa anaknya pernah tidak mau bersekolah karena sering diejek teman-temannya. Karena kesal, Rohmah sempat mencegat anak-anak yang suka mengejek Dewi saat pulang dari sekolah. ’’Saya marahi dia. Kita kan sama-sama makhluk Allah. Sejak itu teman Dewi tidak mengejek lagi,’’ tutur Rohmah dengan nada kesal.

Dalam pembelajaran di kelas, Dewi sering mengalami kendala dengan penglihatan. Matanya sering silau dan seperti kelilipan. Kadang matanya sampai merah. Untuk membaca buku, dia membutuhkan jarak yang sangat dekat dengan buku bacaannya.

Begitu pula saat membaca tulisan di papan, Dewi harus dekat dengan papan tulis. ’’Para guru memaklumi kondisinya itu. Sehingga membiarkan Dewi tidak menulis di kelas, melainkan menyalin buku temannya di rumah,’’ jelas Indra.

Nasib yang sama dialami Heri Agustin, 15. Sosok albino remaja itu juga pendiam dan pemalu. Saat ini Heri duduk di bangku kelas 2 MA Miftahul Anwar Ciburuy. Dia juga menjadi satu-satunya albino di sekolah dan di rumahnya.

Meski tak banyak bicara, Heri termasuk aktif dalam belajar mengaji di pesantren yang lokasinya tak jauh dari rumahnya.

’’Kadang saya tidur di pesantren,” ungkap siswa kelahiran 2 Agustus 2002 itu.

Di sekolah, Heri mengaku sering diejek teman-temannya karena kondisinya yang albino. Tapi, ia tak pernah menanggapi serius ejekan teman-teman itu. ’’Saya biarkan saja. Saya juga nggak bilang ke guru. Saya anggap angin yang berlalu. Ini kan takdir, ya jalani saja,” ungkapnya.

Pengalaman Isur Suryana lain lagi. Albino 41 tahun tersebut pernah ’’dikutuk’’ oleh teman-temannya tidak akan mendapat jodoh.

’’Saya dibilang, mana ada cewek sini yang mau dengan bule seperti kamu,’’ cerita dia.

Tapi, Isur tidak patah semangat dengan ejekan dan ’’kutukan’’ teman-temannya saat masih remaja itu. Buktinya, ketika dia dewasa, ada perempuan normal (tidak albino) yang mau menerima dirinya apa adanya. Perempuan yang kemudian menjadi istrinya itu bernama Awang. Pasangan suami istri tersebut kemudian dianugerahi dua anak normal.

’’Ini bukti nyata bahwa albino juga bisa mendapatkan jodoh yang normal. Anak-anak saya juga normal,’’ paparnya mengenang.

Menurut dr Stefani Rachel Soraya Djuanda SpKK, tingginya preferensi albino di Ciburuy bisa dipicu warga albino yang memilih untuk menetap di kampung dan menikah dengan orang yang berasal di kampung yang sama.

’’Bisa jadi warga albino di Ciburuy kawin dengan orang di kampungnya. Sehingga gen albinonya terus terbawa hingga turun-temurun di kampung itu,’’ kata dokter spesialis kulit dan kelamin di RSU Bunda Jakarta tersebut.

Penyebab banyaknya warga albino di suatu kampung, kata Stefani, adalah terjadinya perkawinan orang-orang yang masih mempunyai hubungan keluarga sehingga gennya mirip-mirip. Perkawinan seperti itu semestinya dihindari untuk menjauhkan dari kelainan genetik pada keturunannya kelak.

’’Banyaknya albino di Ciburuy itu bisa jadi karena perkawinan antara orang-orang yang masih mempunyai hubungan genetika,” tandasnya.

Orang yang mengalami albino, menurut Stefani, rata-rata memiliki permasalahan pada mata. Karena masalah genetik, diperkirakan hal tersebut sulit disembuhkan. Yang bisa dilakukan, bagaimana upaya pencegahannya agar tidak muncul albino lagi.

’’Orang-orang albino harus kita lindungi. Mudah-mudahan pemerintah lebih peduli kepada mereka. Karena mereka butuh support agar bisa hidup seperti yang lain,” harapnya.

Terkait warna kulit, orang yang tidak memiliki pigmen (albino) seharusnya tak boleh terkena sinar matahari. Sebab, orang tanpa pigmen tidak memiliki proteksi sama sekali dan memiliki risiko tinggi pada kanker kulit.

’’Kulit orang albino yang menjadi merah itu berarti luka bakar. Itu risiko kanker kulitnya tinggi. Karena itu, orang albino jangan sering terpapar matahari. Ini kelainan genetik, tidak bisa diapa-apain,” tutur Stefani. (*/c5/c10/ari)