25 radar bogor

Sekali Klik, Pinjaman Cair

llustrasi pinjaman online (pexels.com)

BOGOR–RADAR BOGOR,Di era yang serba digital saat ini, segala jenis penawaran jasa secara online sangat menggiurkan. Termasuk pinjaman uang yang bisa dicairkan tanpa jaminan. Apalagi saat seseorang membutuhkan uang secara cepat dengan cara praktis. Namanya pinjaman online.

Perusahaan fintech penyalur utang online menjamur. Satu per satu mereka mengeluarkan aplikasi yang mudah diunduh para pengguna Android maupun iOs. Puluhan aplikasi bisa dipilih sesuai rekomendasi.

Ada Tunai Kita, Rupiah Plus, Pinjaman Go, Kredit Pintar, Uang Teman dan masih banyak lainnya. Bahkan, aplikasi belanja online, seperti Tokopedia pun telah menyediakan opsi pinjaman dana online dengan berbagai cara dan syarat. Mudah dan cepatnya proses pencairan membuat banyak orang lebih tertarik dengan jasa pinjaman online tersebut.

Salah satunya, Deanita (23). Tak punya uang dan ada keperluan mendadak mem­buatnya nekat menggunakan aplikasi pinjaman. Dari sekian banyak aplikasi, dia menjatuhkan pilihan pada Go Rupiah.

Dia menceritakan, awalnya mendapat rekomendasi dari temannya yang juga pernah meminjam uang di aplikasi yang sama. “Ya sudah karena kepepet saya unduh aplikasinya,” katanya kepada Radar Bogor.

Menurut pegawai swasta di Kota Bogor itu, prosesnya cukup cepat. Ia hanya memfoto kartu tanda penduduk (KTP) ke aplikasi lalu diterima dan dana cair ke rekening yang sudah ia cantumkan dalam aplikasi.

Dea saat itu meminjan uang sebesar Rp1 juta. Ia pun memilih opsi dengan jangka pembayaran selama 30 hari. Dan uang yang harus dikembalikan Rp1,2 juta.

“Jadi, saya ambil pilihan yang langsung bayar dalam jangka sebulan, kena bunganya 20 persen. Ada juga yang cicilan per hari atau per minggu kalau gak salah, yang pasti sih yang saya tahu, lama pembayaran maksimal 30 hari,” bebernya.

Ditanya mengenai masalah data yang bisa di-hack pihak perusahaan fintech yang mengeluarkan aplikasi, Dea mengaku belum mengalaminya. “Kalau butuh lagi juga saya mungkin pinjam online, tapi kalau tidak butuh-butuh banget juga gak bakal, bunganya gede,” tutupnya.

Pengalaman berbeda dialami Meta. Wanita 30 tahun itu mengaku pernah mencoba akan meminjam uang di salah satu aplikasi pinjaman online yang ia dengar beberapa kali iklannya di salah satu radio ternama.

Mengunduh aplikasi, Meta mengisi berbagai pendataan yang diberikan dan muncul pada layar. “Kaya nama lengkap, nomor identitas KTP, SIM, terus e-mail, nomor telepon dan sebagainya,” kata dia.

Hingga terakhir, persyaratannya adalah merekam aktivitas pengguna atau yang akan meminjam dana. Namun, Meta memilih membatalkan niatnya meminjam uang.

“Merekam secara langsung aktivitas saya selama beberapa menit. Saya langsung kaget, syaratnya terlalu berlebihan, padahal segala data sudah saya kasih, langsung saya cancel dan hapus aplikasi,” jelasnya.

Sejak saat itu dirinya enggan meminjam secara online. Meskipun, aplikasi yang sudah mendata e-mail-nya hampir setiap hari membujuknya melalui kotak masuk di
e-mail-nya.

“Karena e-mail sudah terdata mereka kirim e-mail terus, isinya intinya, kenapa gak jadi, padahal tahapannya sudah mau finish,” akunya.

Ternyata, langkahnya berujung syukur dengan banyaknya masalah mengenai privacy seseorang yang bisa direkam oleh aplikasi tersebut.

“Ya walaupun sudah memberikan data, setidaknya saya belum sampai memberikan video secara live aktivitas saya,” ujarnya.

Menanggapi aplikasi tersebut, Pengamat Ekonomi STIE Kesatuan Syaifuddin Zuhdi mengatakan, pinjaman via aplikasi itu bisa dibilang seperti dua sisi mata pisau.

Di satu sisi berpotensi meningkatkan perkembangan ekonomi, tetapi di sisi lainnya rentan membuat masyarakat menjadi konsumtif.

“Sebetulnya kalau dari sisi ekonomi bisa membantu bagi mereka yang berinvestasi, misalnya untuk usaha. Tapi kalau untuk konsumtif, itu bahaya. Karena dari sisi
peruntukannya harus dipertimbangkan,” jelasnya kepada Radar Bogor.

Namun, dengan sistem verifikasi yang terbilang simpel, masyarakat akan cenderung seenaknya mengajukan pinjaman. Terlebih, ketika mengajukan pinjaman tidak dimintai keterangan untuk apa dana tersebut digunakan.

”Di Bogor, kayaknya lebih cenderung untuk konsumtif. Pertama, software tidak mengarahkan untuk investasi. Ini yang harus hati-hati,” terangnya.

Berbeda dengan ketika mengajukan pinjaman si bank. Nasabah terlebih dulu diverifikasi berdasarkan data diri dan tujuan peminjaman. Hal ini rentan membuat siapa pun kena imbasnya. Seperti halnya jika aplikasi yang kesulitan menagih orang yang berutang, akan menghubungi orang-orang di sekitarnya.

“Gejolak di masyarakat juga bisa terjadi karena terjerat dengan hutang. Kalau ke bank persyaratannya juga jelas untuk usaha. Dampak negatifnya itu, akhirnya terjadi bumerang untuk temannya,” kata Zuhdi.

Di sisi lain, aplikasi tersebut bisa bermanfaat jika digunakan mayoritas masyarakat untuk berinvestasi. Artinya, memberikan pinjaman kepada masyarakat yang hendak membuka usaha.

“Tapi kalau mayoritas untuk investasi, ini akan menimbulkan pertumbuhan ekonomi di daerah maupun nasional,” tuturnya.

Dampak positifnya pun, kata Saefudi,n bisa dibayangkan. Mulai dari mengurangi jumlah pengangguran, serta meningkatkan daya beli masyarakat.

Di tempat terpisah, Humas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jawa Barat, Iswahyudi menganggap jasa keuangan berupa aplikasi dengan sistem online itu rentan bermasalah. Untuk itu, pihaknya siap menindak perusahaan manapun yang memang tidak sesuai mekanisme keuangan yang berlaku.

“Kalau misalnya dia terdaftar dan diawasi oleh OJK ada mekanisme penagihan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tentunya OJK akan menindak,” jelasnya ketika dihubungi Radar Bogor, kemarin.

Ia mengatakan bahwa OJK siap melakukan tindakan jika ada jasa keuangan yang berlaku di luar ketentuan sesuai standar operasional prosedur (SOP). Hanya saja, menurutnya hingga sekarang aduan tersebut belum ada di wilayah Jawa Barat.

Meski begitu, tidak setiap permasalahan dengan jasa keuangan bisa langsung dilaporkan ke OJK. Menurutnya, debitur ataupun nasabah perlu terlebih dahulu konfirmasi dengan jasa keuangan terkait mengenai permasalahan yang dialami.

“Ada pasal yang jika ada aduan, misalkan nasabah merasa dirugikan atau tidak sesuai prosesnya. Maka OJK yang turun. Untuk aduannya yang bisa dimediasi oleh OJK, mereka harus mengadukan pada tenaga jasa keuangan itu sendiri,” terangnya.

Seperti kasus yang kini tengah marak dialami para debitur di aplikasi Rupiah Plus. Jika memang para debitur merasa keberatan ditelepon oleh debt collector maka tak lantas bisa mengadukannya ke OJK. Ia perlu lebih dulu mengadu ke perusahaan aplikasi Rupiah Plus.

“Kalau diajukan keberatan kemudian tidak ada respons, baru mengadu ke OJK. Jadi syarat utamanya harus konfirmasi dulu,” tukasnya.(ran/fik/d)