CIBINONG–Kebutuhan hunian di Kabupaten Bogor terus meningkat. Tarik-menarik kepentingan terjadi antara untuk memenuhi kebutuhan tinggal atau mempertahankan areal sawah dari alih fungsi.
Kepada Bidang Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan Pentaan Ruang (PUPR) Kabupaten Bogor, Suryanto Putra mengatakan, pembangunan hunian baru kini justru bergeser ke wilayah pinggir. “Di perkotaan semisal di Cibinong, susah. Apalagi untuk hunian bersubsidi. Karena harga tanahnya sudah tinggi,” kata Suryanto.
Menurut dia, lantaran bergeser ke pinggiran, yang notabene persawahan, seperti Kecamatan Cibungbulang maupun Ciampea, perkembangannya menjadi tidak cepat. ”Karena rumah bersubsidi juga harus didukung akses transportasi,” kata dia.
Lebih lanjut Suryanto mengatakan, di wilayah lain seperti Kecamatan Cileungsi, Gunungputri maupun Klapanunggal, yang menjadi pusat produksi beras di Bumi Tegar Beriman, pun rentan beralih fungsi menjadi hunian.
Di sisi lain, Peraturan Daerah (Perda) tentang Lahan Pertanian Berkelanjutan pun menuntut dinas terkait mampu memastikan sawah-sawah yang dilindungi, memiliki produksi yang baik setiap tahunnya. “Karena tekanan kebutuhan hunian di pinggiran itu cukup tinggi. Dinas Pertanian pun harus realistis sawah-sawah yang dilindungi nantinya bisa berproduksi dengan baik,” kata dia.
Dalam tata ruang, kata dia, meski ada perizinan masuk dengan eksisting sawah, bisa saja diberi izin. “Tapi kita lihat letak geografisnya. Kalau secara ruang boleh tapi eksisting di lapangan tidak memungkinkan jadi hunian, ya tidak akan keluar izinnya,” bebernya.
Sementara itu, kebutuhan hunian di Kabupaten Bogor diprediksi mencapai 400 ribu unit pada 2030 mendatang. Untuk mencegahnya, Pemkab Bogor pun terus mencari cara agar masyarakat bisa lebih mudah untuk memiliki tempat tinggal yang layak.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah menyiapkan perda untuk ‘memaksa’ pengembang perumahan menyiapkan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Hingga akhir 2017, kebutuhan hunian di Bumi Tegar Beriman berkisar 100 ribu hingga 150 ribu unit. Dikhawatirkan, jika pemkab tidak melakukan upaya dan hanya berharap masyarakat membeli rumah nonsubsidi, maka warga pribumi akan tersingkir dengan sendirinya dari tanah kelahiran mereka.
“Kalau tidak ditangani dari sekarang, tahun 2030 itu kekurangan rumah bisa sampai 400 ribu. Seperti warga Jakarta nanti, yang pada akhirnya memilih tinggal di luar daerah dengan harapan mendapat hunian dengan harga terjangkau,” timpal Kepala Seksi Pengembangan Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor, Suparno.
Opsi lain, kata dia, ke depannya lahan-lahan tidak produktif akan dibangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa), seperti yang ada di wilayah Kecamatan Cileungsi. Pemkab Bogor mengasumsikan, warga yang berpenghasilan di bawah UMR bisa memiliki tempat tinggal yang memadai.
“Rata-rata sewa satu unitnya itu Rp300 ribu per bulan dengan tipe 24. Rusunawa itu kan bisa sewa selama 6 tahun. Asumsinya, dalam enam tahun itu, mereka bisa mengumpulkan uang untuk beli rumah sendiri. Tapi, kalau masih belum bisa beli juga, selama dia warga Kabupaten Bogor, tetap diizinkan tinggal. Tidak akan diusir,” tegas Suparno.
Pemkab Bogor kini memiliki payung hukum untuk memaksa pengembang perumahan menyediakan rumah bagi MBR, minimal 20 persen dari jumlah rumah yang dibangun.
Perda Kabupaten Bogor tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman telah disahkan dalam Sidang Paripurna di gedung DPRD Kabupaten Bogor, Cibinong, Selasa (3/7).
Perda itu ditelurkan sebagai implementasi dari Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 55 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Perizinan dan non-Perizinan Pembangunan Perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.(wil/c)