25 radar bogor

Hidup 24 Tahun di Tengah Hutan

Menengok Kampung Babakan Banten yang Hanya Dihuni Satu Keluarga
Menengok Kampung Babakan Banten yang Hanya Dihuni Satu Keluarga

Di era teknologi informasi seperti sekarang, ternyata masih ada warga Kabupaten Bogor yang hidup terasing. Setidaknya ada satu kepala keluarga (KK) di Kampung Babakan Banten yang tinggal di tengah hutan Pakuan milik Perhutani di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, tanpa listrik.

Seorang pria tua terlihat sibuk memotong bambu di halaman rumahnya. Jarum jam menunjukkan pukul 17.00 Kamis (5/7) kemarin, tetapi aktivitas di deretan rumah yang ada di tengah hutan Pakuan, Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, itu belum selesai.

Termasuk yang dilakukan Hendrik Sanjaya. Bersama Neneng sang istri, pria 58 tahun itu terlihat sibuk memotong dan membelah bambu. Tak mau berpangku tangan, Neneng (46) langsung membersihkan bambu yang baru dipotong dan dibelah oleh suaminya. Bambu yang telah terpotong dan dibelah lantas disisihkan setelah dibersihkan.

“Bambu ini untuk menangkap ikan di kolam,” kata Hendrik saat ditanya tentang peruntukan bambu yang dipotongnya.

Berbeda dengan wilayah lain yang ramai, tempat tinggal Hendrik sangat sepi. Hanya suara jangkrik yang beberapa kali berhasil memecah kesunyian sore itu. Maklum, rumah yang terletak di tengah hutan Desa Sukamulya itu tidak ada listrik dan jauh dari keramaian.

Maka, jangan harap Anda akan mendengar suara radio atau televisi yang biasanya bersahutan dari satu rumah dengan rumah lainnya. Pun suara ponsel yang biasanya asyik jadi mainan anak-anak hingga orang dewasa.

Dalam kesehariannya, di tengah hutan Hendrik dan keluarganya asyik dengan pekerjaannya masing-masing. Hendrik yang memiliki kebun kopi rajin keluar masuk hutan untuk memanen kopi.

Buah yang sedang tinggi-tinggi hype-nya ini pula yang menjadi tumpuan hidup Hendrik dan istrinya.

Kepada wartawan koran ini, Hendrik menuturkan, bagai­­mana ia bisa tinggal sendirian di tengah belantara hutan Pakuan. Semuanya dimulai pada 1994. Dari Banten, ia mencari lahan untuk bertani. “Awalnya saya mau ke Sumatera jadi transmigran, tapi ada sesuatu yang mengajak saya (bisikan) untuk ke Bogor,” tuturnya mengawali cerita.

Hendrik pun mengurungkan niatnya ke Sumatera dan pergi menuju Sukamakmur Bogor. Untuk sampai ke lokasi rumahnya yang di tengah hutan, Hendrik hanya mengandalkan insting dan bertanya kepada warga. “Seperti ada yang nuntun. Saya tidak tahu tempat ini. Namun, saya berpapasan seseorang untuk terus jalan keatas. Sampai pada akhirnya saya tiba di sini,” tuturnya.

Pertama datang, kondisi tempat tingal Hendrik hanyalah semak belukar. Untuk membuka lahan, ia membutuhkan waktu lima tahun. Di awal-awal tinggal, dia tidur hanya beralaskan tanah dan beratapkan langit dengan gubuk seadanya. Namun yang paling membuat dia waswas adalah ancaman hewan liar. “Selama tiga tahun pertama itu sering ada babi hutan setiap malam. Bahkan sampai sekarang. Kalau macan, sering ke gubuk waktu awal-awal,” ungkapnya.

Sebagai gambaran, Kampung Babakan Banten, tempat tinggal Hendrik dan keluarganya masih dalam daerah administrasi Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur. Untuk tiba di sana hanya bisa dilalui kendaraan roda dua. Itu pun hanya sampai di Kampung Mulyasari yang berpenduduk 61 kepala keluarga. Kampung ini merupakan satu-satunya akses ke Kampung Babakan Banten. Jarak antara kedua kampung sekitar delapan kilometer atau dua jam jalan kaki.

Berada di daerah yang terisolasi dari keramaian bagi Hendrik bukan masalah. Dia yang sudah 24 tahun hidup di tengan hutan Pakuan itu pun tak berharap yang muluk-muluk. Sudah bisa makan dan menghidupi keluarganya, baginya sudah cukup. Ditemani sang istri, Hendrik kini mempunyai dua anak dan satu cucu. “Karena mata pencaharian utama kami dari tanaman kopi, kami berharap ini bisa dikembangkan lagi,” bebernya. (all/d)