25 radar bogor

Tokoh-Tokoh yang Berusaha Merekatkan Hubungan Indonesia dan Rusia

Ainur Rohman/Jawa Pos PAHAM INDONESIA: Duta Besar Indonesia untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus M. Wahid Supriyadi (kiri) menyimak pidato Vladimir Plotnikov di KBRI Moskow akhir Juni lalu.
Ainur Rohman/Jawa Pos
PAHAM INDONESIA: Duta Besar Indonesia untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus M. Wahid Supriyadi (kiri) menyimak pidato Vladimir Plotnikov di KBRI Moskow akhir Juni lalu.

Vladimir Plotnikov menjadi penghubung Indonesia dengan Rusia dalam pembelian pesawat Sukhoi. Meski telah pensiun sebagai diplomat, dia siap membantu jika kedua negara hendak lebih mengeratkan hubungan.

AINUR ROHMAN, Moskow

SIANG itu, 1 September 2003, Vladi­mir Plotnikov benar-benar tidak bisa menahan perasaan. Sangat terharu, juga amat bangga ketika menyaksikan pesawat Sukhoi Su-27 untuk kali pertama terbang di langit Indonesia.

”Saya senang karena Angkatan Udara Indonesia bertambah kuat,” tutur Plotnikov saat ditemui Jawa Pos (Grup Radar Bogor) di Moskow akhir Juni lalu.
Pada 2003, Plotnikov adalah duta besar Federasi Rusia untuk Indonesia. Dia adalah salah satu tokoh terpenting yang menjadi jembatan antara dua negara sehingga pembelian Sukhoi terealisasi.

”Dengan pesawat terbang yang cang­gih, Indonesia bisa mem­pertahankan kedaulatan bangsa. Itu penting sekali,” lanjutnya.

Benar kata Plotnikov. Sukhoi Su-27 memang pesawat jet yang sangat canggih dan menjadi kebanggaan besar bangsa Rusia. Pesawat single seater itu memiliki daya jelajah yang sangat jauh dan bisa bermanuver dengan lincah.

Jenis tersebut dianggap sebagai salah satu alat tempur paling mengesankan yang pernah dibuat pada generasinya. Saat Su-27 diluncurkan untuk kali per­tama pada Desember 1984, ke­kuatan udara Uni Soviet lang­sung seimbang saat melawan seteru utamanya dalam perang dingin, yakni Amerika Serikat.

Indonesia pernah hendak membeli sebelas unit pesawat Sukhoi pada 1996. Tapi, rencana tersebut batal karena terjangan badai krisis ekonomi.

Namun, rencana tersebut tidak pernah benar-benar terkubur. Sebab, tujuh tahun kemudian Amerika Serikat belum mencabut embargo militernya kepada Indonesia.

Pada 5 Juli tahun ini, usia Plotnikov sudah mencapai 75 tahun. Dengan kondisi fisik yang terlihat sangat bugar tersebut, ingatannya soal lapisan proses kedatangan Sukhoi ke Indonesia pun belum retak. Pria kelahiran Istanbul, Turki, tersebut menga­takan bahwa peristiwa bersejarah itu berawal pada 5 Oktober 2002.

Pada rangkaian perayaan hari ulang tahun TNI tersebut, panglima TNI kala itu, Jenderal Endriartono Sutarto, mengajak bicara Plotnikov di salah satu sudut Balai Sudirman, Jakarta. Panglima menegaskan bahwa pihaknya ingin memiliki Sukhoi.

”Ketika itu panglima mengatakan kepada saya bahwa dia ingin pesawat buatan Soviet. Dia tidak menyebut Rusia,” kata pria yang pernah menjadi Dubes Laos tersebut.

Pria yang menjadi duta besar Rusia untuk Indonesia pada 1999 sampai 2004 itu menjawab dengan gamblang bahwa dirinya pun sangat ingin Sukhoi meng­udara di langit Indonesia. Bebe­rapa hari kemudian Plot­nikov mendapatkan undangan dari Markas Besar TNI Angkatan Udara untuk berbicara lebih mendalam soal itu.

Plotnikov menangkap kesan bahwa pemerintah sangat serius untuk mendatangkan Sukhoi.

Setelah pembicaraan tersebut, Plotnikov terbang ke Rusia dan mengunjungi markas Sukhoi di Begovoy District, Moskow. Dia juga bertemu dengan pe­ran­­cang utama pesawat Sukhoi di Siberia.

Karena tidak paham perihal teknis, Plotnikov bertugas sebagai penghubung utama kedua negara. ”Saya berfungsi sebagai penarik perhatian pemerintah Rusia. Dan, saya memang berhasil,” katanya.

Pemerintah Rusia, lanjut dia, kemudian bertemu beberapa kali dengan pemerintah Indo­­nesia di Jakarta. ”Kami mulai menyusun kontrak untuk pem­belian Sukhoi,” papar dia.

Momentum terpenting datang pada April 2003, saat presiden Indonesia ketika itu, Megawati Soekarnoputri, mengunjungi Rusia dan bertemu dengan Presiden Vladimir
Putin. Plot­nikov juga berada dalam rombongan untuk mendampingi Megawati selama lawatan kenegaraan tersebut.

Plotnikov mengingat, kunjungan itu sangat cair. Pada awal pembicaraan, Mega mengatakan kepada Putin bahwa itu bukan pertemuan pertama mereka. Sejatinya, dua pemimpin negara itu sudah pernah berjumpa.

Begitu mendengar pernyataan Mega tersebut, Putin tampak sangat terkejut. ”Di mana? Kapan?” kata Plotnikov, me­nirukan Putin.

Mega lantas menjawab bahwa mereka sempat berjumpa ketika Putin masih menjabat kepala Komite Perdagangan dan Investasi Asing di Saint Petersburg pada pertengahan 1990-an. Pertemuan yang berlangsung gayeng tersebut berakhir dengan penandatanganan beberapa kerja sama perdagangan. Termasuk, pembelian 2 unit
Sukhoi Su-27 dan 2 helikopter Mi-35. Kontraknya, empat alat tempur tersebut dibarter dengan 30 jenis komoditas, termasuk minyak sawit seharga total USD 192
juta.

Empat bulan setelah pertemuan, satu pesawat Sukhoi datang ke Indonesia dan dirakit di Lanud Iswahjudi, Madiun, Jawa Timur. Setelah penerbangan pertama pada 1 September itu, dua Sukhoi terbang dalam peringatan HUT TNI 5 Oktober 2003 di Surabaya.

Hal yang luar biasa, menurut Plotnikov, Sukhoi tersebut diterbangkan oleh orang Indonesia. Sebelumnya, mereka berlatih di Rusia selama tiga bulan. Hanya dalam tempo singkat, pilot-pilot itu sudah bisa mengendalikan Sukhoi yang terkenal sangat canggih. ”Orang Indonesia itu sangat pandai. Dan secara alamiah, mereka adalah penerbang yang sangat bagus,” kata Plotnikov.

Bagi dia, penerbang Indonesia adalah yang nomor satu. ”Saya tidak bilang di dunia. Tetapi, di Asia Tenggara, sudah pasti nomor satu,” imbuhnya.

Setelah momen tersebut, pembelian Sukhoi terus ber­lanjut. Dari dua, lantas datang lagi enam, dan pada awal tahun ini pemerintah menebus 11 unit Sukhoi Su-35. Itu adalah jenis terbaru dan tercanggih dari keluarga pesawat Sukhoi. Harga totalnya menembus Rp16 triliun.

Total, Plotnikov bertugas sebagai diplomat di Indonesia selama 20 tahun. Dia kali pertama menginjakkan kaki di tanah air pada Agustus 1966. Saat itu kondisi negara amburadul. Peristiwa berdarah 1965 belum lama berlalu. Ekonomi bobrok. Kondisi paling parah terjadi di luar Jawa.

Sebagai diplomat muda, Plotnikov menjalani tugas praktik bahasa Indonesia di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ketika itu hampir semua orang asing dilarang masuk ke Indonesia. Hanya warga negara Uni Soviet yang boleh datang karena relasi negeri tersebut dengan Indonesia masih sangat erat.

Hubungan rekat Soviet dan Indonesia ditandai dengan kunjungan Presiden Pertama RI Soekarno pada 1956 ke Moskow. Dia bertemu dengan Perdana Menteri Nikita Khrushchev. Setelah itu, berbagai macam proyek dilakukan ber­sama. Antara lain, pembangunan Kra­­katau Steel, pendirian per­­usahaan pupuk di Cilacap, pendirian universitas dan asrama di Banjarmasin, serta pem­bangunan jalan-jalan di Kalimantan. Namun, yang paling fenomenal adalah pendirian kompleks Gelora
Bung Karno, Jakarta.

Menurut Plotnikov, Gelora Bung Karno sangat terinspirasi Stadion Luzhniki, Moskow, salah satu venue Piala Dunia 2018. Khrushchev meme­rintahkan tenaga dari Uni Soviet untuk membangun ”Luzhniki lain” di Jakarta.(bersambung/c11/ttg)