25 radar bogor

Menyaksikan Pilkada Pertama di Luar Wilayah yang Dijalani Pengungsi Syiah

Boy Slamet/Jawa Pos Memilih DUA Kepala Daerah: Pengungsi Syiah asal Sampang di Penampungan Rusun Puspa Agro Sidoarjo melakukan pemilihan dua kepala daerah sekaligus (27/6).

Dengan masih diakui sebagai warga Sampang lewat hak pilih, para pengungsi Syiah di Sidoarjo berharap bisa pulang ke kampung halaman. Tapi, masih khawatir hasil pilihan akan dijadikan alat untuk ”menembak” balik.

MIFTAKHUL F.S., Sidoarjo

JAM di dinding memperlihatkan pukul 06.45 WIB. Sesuai aturan, masih 15 menit lagi sebelum waktu mencoblos dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dimulai. Dan, akan berakhir pada pukul 13.00.

Meski begitu, puluhan orang sudah merapat ke tempat pemungutan suara (TPS) di Flat Puspa Agro, Taman, Sidoarjo, Jawa Timur, kemarin (27/6). Beberapa di antaranya sudah berusia lanjut. Kakek-kakek dan nenek-nenek. Juga, beberapa perempuan yang sedang menggendong bayi.
Begitu antusias. Padahal, yang akan mereka pilih adalah bupati dan wakil bupati Sampang, kabupaten yang letaknya nun di Pulau Madura sana. Ratusan kilometer
dari Sidoarjo.

”Walau kondisi kami seperti ini, kami tetap memutuskan memilih sebagai bentuk tanggung jawab menjadi warga Sampang,” sambung Iklil Al Milal, salah seorang pemilih.

Iklil dan orang-orang di TPS itu merupakan bagian dari pengungsi Syiah di Flat Puspa Agro. Bukan satu dua hari mereka dipaksa mengungsi ratusan kilometer dari kampung halamannya di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, dan Desa Blu’uran, Kecamatan Karangpenang, Sampang. Bukan pula dalam hitungan dua tiga bulan.

Mereka sudah enam tahun terusir dari kampung halaman. Mulai Agustus 2012. Dan, tepat 20 Juni lalu, sudah lima tahun dipaksa menghuni Flat Puspa Agro. Sebelum dipindah ke Sidoarjo, mereka diungsikan di GOR Sampang.

Meski demikian, mereka masih dicatat sebagai warga Sampang. Dan, dalam pemilihan bupati dan wakil bupati Sampang 2018, nama mereka juga tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Hak pilih mereka diakui. Namun, mereka tak diizinkan memilih di kampung halamannya.

”Kami ini disuruh memilih, tapi syarat tidak dipenuhi. Kami juga tidak boleh memilih di Sampang,” ujar Tajul Muluk, pimpinan Syiah Sampang. Padahal, para pengungsi Syiah sangat tidak keberatan menggunakan hak pilih. Mereka pun siap memilih di kampung halamannya.

Tapi, KPU memutuskan lain. KPU menerbitkan surat bernomor 553/2018 yang mengizinkan pengungsi Syiah memilih di tempat pengungsian. ”Secara prinsip, kebijakan ini dilakukan karena faktor keamanan,” terang Ketua KPU Arief Budiman.

Untuk detail teknisnya, Arief menyerahkan ke KPU Jawa Timur dan Sampang. Akhirnya, jadilah pemilihan bupati Sampang di Flat Puspa Agro kemarin (27/6) coblosan pilkada pertama di Indonesia yang dilakukan di luar wilayah. Selama ini memang ada proses coblosan pemilihan presiden dan legislatif yang dilakukan di negara lain. Tapi, untuk pilkada, baru kali ini ada coblosan yang dilakukan di luar daerah.

Ada dua TPS untuk pengungsi Syiah di Flat Puspa Agro. TPS 9 Desa Karang Gayam, Omben, dan TPS 25 Desa Blu’uran, Karangpenang. Di TPS 9 Karang Gayam ada 113 pemilih. Perinciannya, 56 laki-laki dan 57 perempuan. Di TPS itu pula Tajul Muluk memilih. Namun, nama yang tercantum di DPT bukan Tajul Muluk. Melainkan Ali Murtadha.

Di TPS 25 Desa Blu’uran terdaftar 123 pemilih. Sebanyak 62 laki-laki dan 61 lainnya perempuan. Iklil memilih di TPS tersebut. ”Kami ini memilih dalam posisi serbasalah. Sebab, kerahasiaan pilihan kami tidak terjaga,” ujar Iklil yang termasuk dituakan para pengungsi Syiah di Flat Puspa Agro.

Tidak berarti saat mencoblos mereka didampingi sehingga yang dipilih diketahui orang lain. Kerahasiaan yang tidak terjaga yang dimaksud Iklil itu adalah proses
penghitungan suara yang dilakukan di Flat Puspa Agro. Tidak dijadikan satu di kampung halaman mereka.

”Ini sama artinya kami tidak bebas memilih. Sebab, perolehan suara di sini bisa diketahui banyak orang dan itu berarti kerahasiaan pilihan kami tidak terjaga,” ungkap Tajul Muluk.

Tajul Muluk memang tak menyebut siapa. Tapi, dengan terbukanya angka-angka pilihan mereka, itu dikhawatirkan bisa dijadikan senjata untuk ”menembak” para pengungsi Syiah. Juga, bisa dijadikan alat menyerang calon yang dominan dipilih pengungsi Syiah.

Itulah yang benar-benar mengganjal di hati Tajul Muluk, Iklil, dan para pengungsi Syiah. ”Api permusuhan seharusnya tidak terus dipelihara,” kata Tajul Muluk.

Padahal, ketika mereka mendapat hak pilih dalam pemilihan bupati Sampang kali ini, terbit harapan mereka bakal pulang. Bakal kembali menjejak tanah dan
menghirup udara kampung halaman. Sebab, mereka masih merasa diakui sebagai warga Sampang.

”Ketika kami masih diakui sebagai warga Sampang, harapan kami untuk mendapatkan hak tinggal kembali di kampung halaman, di tanah milik kami, semakin menyala,” tutur Tajul Muluk.

Dengan begitu, mereka pun bisa terus menyuarakan pengembalian hak tersebut. ”Sebab, sudah seharusnya mereka tidak sepotong-sepotong memberikan hak kami. Hak
kami harus diberikan sepenuhnya,” tegas dia.

Salah satu jalan untuk menyuarakannya adalah tetap antusias mengikuti pemilu. Seperti antusiasme yang mereka tunjukkan kemarin. Kendati harus menunggu lebih
lama dari jadwal. Sampai pukul 08.00 yang kemudian digunakan panitia untuk mengecek logistik pemilihan. Plus menata segala kebutuhan untuk pemilihan. Seperti
bilik suara.

”Namanya warga negara Indonesia, bagaimanapun kami juga ingin ikut memilih pemimpin,” kata Mat Nasir, satu di antara puluhan orang yang sudah datang ke TPS sepagi itu.

Memasuki pukul 09.00, mereka yang mendapatkan hak memilih telah menjalankan kewajibannya. Memilih bupati dan wakil bupati Sampang. Juga, memilih gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur. Kini para pengungsi yang telah enam tahun terusir itu tinggal menunggu apa yang akan dilakukan para pemimpin terpilih untuk mereka. (*/c10/ttg)