JAKARTA–Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) memiliki sejumlah data terkait pelanggaran tahapan Pilkada serentak 2018. Data yang dirangkum dari Januari hingga Mei 2018 tersebut, disampaikan ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) kemarin (23/6). Selama lima bulan itu, terjadi setidaknya 387 pelanggaran.
Lima aktivis Kontras kemarin mendatangi kantor Bawaslu. Mereka menyampaikan peta pelanggaran Pilkada serentak 2018. Rivan Lee, salah seorang aktivis Kontras, menyampaikan bahwa kajian dilakukan Kontras di 10 provinsi yang dianggap rentan atau rawan.
Yakni, Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua. Pemetaan tersebut meliputi kontestasi pilgub maupun pilkada kabupaten/kota di 10 provinsi itu.
”Kami memetakan 10 daerah yang basisnya adalah pelanggaran HAM. Ada irisan jelas antara pelanggaran HAM dan peristiwa politik,” kata Rivan. Dia memaparkan, pelanggaran nonadministrasi mendominasi 10 provinsi itu.
Sebagai contoh, di Sumatera Utara, isu intimidasi agama kerap muncul dalam kontestasi pasangan calon nomor urut 1 dengan nomor urut 2. Gesekan antara TNI dan Polri juga terlihat.
Ada pembelahan dukungan terhadap masing-masing paslon. ”Polarisasi keberpihakan tersebut berpotensi menimbulkan gesekan berupa intimidasi dan teror di Sumatera Utara,” kata Rivan.
Sementara itu, di tiga pilgub wilayah Jawa, kampanye hitam mendominasi. Di Jawa Timur misalnya.
Kontras mencatat, di wilayah dengan 38 kabupaten/kota itu relatif sedikit terjadinya pelanggaran. Namun, terdapat kampanye hitam yang ditujukan kepada salah satu pasangan calon. Di Jateng, jaringan Kontras mencatat ada 7.000 alat peraga kampanye (APK) ilegal yang sudah ditertibkan Bawaslu. ”Kalau di Jabar, perusakan alat kampanye paling sering dilakukan,” kata Rivan.
Kontras juga menemukan bahwa pelanggaran nonadministrasi cenderung meningkat sejak Januari hingga Mei 2018. Pada Januari, terdapat 21 kasus, kemudian naik signifikan pada Maret hingga Mei di kisaran 68 kasus.
Kenaikan tersebut dimulai ketika memasuki masa kampanye pilkada. Pelanggaran diduga terjadi karena lemahnya pengawasan.(bay/c6/oni)